Chereads / Bloody Line: Under The Drop of Blood / Chapter 322 - Chapter 322 Bloody Line

Chapter 322 - Chapter 322 Bloody Line

"Hwa, keputusan Ayah sudah bulat. Ibumu menyerahkan tanggung jawabmu padaku. Aku berhak mengatur kehidupanmu demi memastikan kau bisa tumbuh dan mengendalikan rasa hausmu... Sekarang, tergantung padamu," tatap Felix.

"(Aku tidak yakin dia akan menjadi garis darah pertama... Bukankah bisa saja Luna atau Caleb? Hwa belum tentu menjadi garis darah pertama)" Felix tampak bimbang. Dia takut Hwa akan membulatkan tekadnya untuk tidak masuk ke militer, tempat dia bisa belajar mengendalikan rasa liarnya jika suatu saat nanti muncul.

Namun, detik berikutnya, suara Hwa terdengar. "Baiklah, aku akan melakukannya," ujarnya dengan tatapan serius.

Hal itu membuat Felix tersenyum kecil. "Itu baru putraku. Ngomong-ngomong, baru-baru ini ada yang menguntit dua adikmu," kata Felix. Seketika, Hwa terkejut tak percaya.

"Mereka bisa saja mengambil kedua adikmu. Aku sudah melacak tempatnya. Kau bisa melakukan apa yang harus dilakukan, bukan?"

"Aku tidak yakin," jawab Hwa dengan ragu.

"Kau penuh keraguan. Sifatmu terlalu lembut, Hwa. Bersikaplah keras seperti lelaki. Itu yang diinginkan semua orang. Jika kau berhasil membangkitkan mata merah dalam garis darah, maka kau bisa dipastikan menjadi kuat, tak peduli seperti apa kau terlihat nantinya. Tapi jangan heran jika hatimu kosong," tatap Felix.

Hwa hanya terdiam, dia juga sepertinya kecewa pada dirinya sendiri. "Mungkin ayah benar, aku terlalu lembut dan tidak akan pernah bisa tegas seperti Ayah.... Tapi aku akan mencoba sekuat mungkin untuk melindungi keluargaku sebelum aku pergi..." tatapnya dengan penuh tekad membuat Felix kembali tersenyum kecil melihatnya.

Sorenya, dia berjalan pulang menyusuri jalan setapak yang mulai gelap. Sinar matahari yang tersisa perlahan memudar di balik pepohonan, meninggalkan warna jingga yang hangat di langit. Angin sore berembus pelan, menggoyangkan dedaunan kering di sepanjang trotoar.

"(Dalam kehidupan ini, Ayah memang selalu perhatian sejak aku kecil, tapi semakin umurku bertambah, dia menginginkanku menjadi lelaki yang keras...)" pikirnya sambil terus melangkah. Langkah kakinya terasa berat, sesuai dengan beban pikiran yang memenuhi kepalanya.

"(Dia pernah bilang padaku, jadi pahlawan saja. Tapi yang lemah itu bukan pahlawan, melainkan orang yang akan ditolong oleh pahlawan. Aku tak mau fokus pada hal itu lagi...)" gumamnya dalam hati, sambil sesekali menatap ke jalan dengan pandangan kosong.

Suasana cemas yang melingkupinya tiba-tiba pecah oleh bunyi ponsel yang menggetarkan sakunya. Ia merogoh cepat, lalu melirik layar sambil berjalan.

Di jalannya, sambil bermain ponsel, Hwa menoleh ke jalanan. Pandangannya terhenti. Ia terdiam, mematung. Tepat di tengah jalan, empat ekor anak kucing berbulu abu-abu dan hitam berkumpul, tampak kebingungan. Jalan itu cukup ramai, dan suara deru mesin mobil yang mendekat semakin jelas terdengar.

Saat sebuah mobil melaju ke arah mereka, Hwa terkejut.

"Awas!" serunya dalam hati, namun tubuhnya terpaku, hanya mampu menyaksikan dari tempatnya berdiri. Untungnya, mobil itu melambat dan berbelok sedikit, tidak mengenai mereka. Hwa menarik napas lega, tetapi belum sempat ia merasa benar-benar tenang, suara mesin lain terdengar semakin mendekat.

Tanpa berpikir panjang, Hwa berlari ke tengah jalan. Udara dingin menampar wajahnya saat ia mengangkat tangannya, menghentikan mobil yang mendekat. Sopir mobil, seorang pria paruh baya, tampak bingung, namun berhenti tepat waktu.

Hwa menunduk melihat ke kucing-kucing itu yang kini hanya mengeong pelan, tampak ketakutan. Ia mengusap dahinya yang sedikit berkeringat, mencoba mengatur napas.

"Ada apa, anak muda?" Sopir mobil itu keluar, suaranya tegas namun penuh penasaran.

"Oh, halo, Tuan. Maafkan aku menghentikan kendaraan Anda. Mereka sepertinya butuh pertolongan," jawab Hwa, menunjuk ke arah kucing-kucing itu.

"Hm... Kalau begitu, bagaimana kalau kita pinggirkan saja mereka," kata pria itu, sambil melirik ke arah jalan yang mulai dipenuhi kendaraan lain.

"Baiklah. Terima kasih," ujar Hwa sambil menunduk sopan.

Setelah pria itu kembali ke mobilnya dan pergi, Hwa jongkok di pinggir jalan, menatap ke bawah, tepat di tempat kucing-kucing itu berada. Anak-anak kucing itu masih mengeong pelan, bulu mereka yang halus tampak bersih meski sedikit berdebu.

"Hei, kalian... sangat manis... Anak kucing, apa yang kalian lakukan di sini?" katanya dengan suara lembut, seolah mencoba menenangkan mereka. Ia mengulurkan tangan perlahan, tetapi kucing-kucing itu hanya menatapnya dengan mata polos, bingung dengan situasi yang baru saja terjadi.

"(Bulu mereka sangat halus jika dilihat... Aku tak tahu harus apa dengan mereka...)" pikirnya, merasa sedikit panik, namun tetap berusaha tenang.

Suasana yang hening di jalan tiba-tiba terganggu oleh suara langkah kaki yang mendekat. Hwa mendongak, matanya bertemu dengan sepasang sepatu hak tinggi. Di hadapannya berdiri seorang wanita dengan postur anggun, rambutnya tergerai rapi. Saat Hwa menyadari siapa itu, ia berdiri dengan cepat.

"Nona Sheo." Ia menundukkan badan sopan.

"Oh, ya ampun, kau masih sopan seperti 10 tahun yang lalu. Kau masih ingat aku, ya?" jawab Sheo Jin, dengan tatapan lembut yang diiringi senyum kecil.

"Tentu. Siapa yang akan lupa pada wajah cantik Nona Sheo?" kata Hwa ramah, mencoba mengimbangi suasana.

"Ah, ya ampun... Kau membuatku malu," ujar Sheo Jin, menyembunyikan senyumnya di balik tangan.

"Nona Sheo Jin, ada perlu apa berhenti di sini?" tanya Hwa, sambil sesekali melirik kucing-kucing di dekat kakinya.

"Aku akan berjalan menemui kamu, tapi sepertinya kita sudah bertemu di sini, ya. Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Sheo Jin sambil mengalihkan pandangan ke arah anak-anak kucing itu.

"Oh, aku menemukan mereka di tengah jalan. Aku berniat menitipkan mereka ke suatu tempat."

"Kau tidak memelihara mereka?" tanyanya, alisnya sedikit terangkat.

"Aku tidak tahu. Yang aku tahu, memelihara kucing akan terlihat lemah, bukan? Hehe."

"Apa maksudmu?" tanya Sheo Jin sambil menatapnya tajam, ekspresinya berubah serius.

"Ti... Tidak ada. Hanya saja, ada seseorang yang ingin aku terlihat kuat," jawab Hwa dengan suara pelan, hampir seperti berbisik.

"(Felix?!... Sudah kuduga, lelaki ini akan menjadi seperti ayahnya nanti...)" pikir Sheo Jin. Tatapan matanya berubah lembut, tetapi di dalam hatinya, ia sudah memutuskan sesuatu.

"Pangeran tampan, aku bisa membantumu," katanya dengan suara pelan namun penuh tekad.

"Membantu apa?" tanya Hwa, bingung namun penasaran.

"Aku tebak ayahmu menginginkanmu masuk ke dalam militer, bukan?" kata Sheo Jin dengan nada yang agak mendalam, matanya menatap jauh ke luar jendela mobil yang melaju cepat. Udara malam yang dingin membelai wajahnya, menciptakan rasa hening yang berat. "Jangan heran jika dia memintamu masuk karena menurutnya kau kuat. Tapi, kekuatan itu berasal dari pendidikan seseorang, bukan dari pendidikan diri sendiri. Jika kau hanya belajar sendiri, maka kau akan menjadi seperti ayahmu—dikenal sebagai gangster, penagih utang, dan sebagainya. Itu karena dia membangun kekuatannya sendiri, dan menurutnya itu tidak baik untuk ditiru olehmu."

Sheo Jin berhenti sejenak, menarik napas panjang, seakan memberi ruang untuk kata-katanya meresap ke dalam pikiran Hwa yang mendengarkan dengan serius. Suara mesin mobil yang bergetar di jalanan yang sepi seperti menjadi latar belakang bagi perbincangan mereka. "Tapi aku yakin, kau lelaki yang baik dan bisa mengubah hal itu. Meskipun kau nantinya melakukan hal yang sama sepertinya, aku yakin wajah baikmu masih akan terlihat meskipun hatimu sudah tidak lagi baik," lanjut Sheo Jin dengan tatapan yang penuh keyakinan.

"Nona Sheo Jin... bisakah kau mengajarkanku bertarung?" tanya Hwa, dengan nada serius yang menyiratkan harapan besar. Mata Hwa menatap Sheo Jin dengan penuh keteguhan, seolah ingin mengungkapkan suatu niat yang lebih dalam daripada sekadar permintaan biasa.

"Tentu, kau ingin senjata seperti apa? Tapi ingat, rahasiakan ini dari orang tuamu," jawab Sheo Jin, suaranya terdengar tenang namun tegas, menciptakan suasana yang semakin intens di dalam mobil yang terus melaju cepat itu.

"Aku mengerti. Aku ingin kau mengajariku bertarung jarak jauh dan jarak sangat dekat," kata Hwa, memilih dengan cermat apa yang diinginkannya. Hwa merasa ada sebuah kekosongan dalam dirinya yang hanya bisa diisi dengan kemampuan bertarung. Itu adalah jalan yang harus dia tempuh untuk bisa menghadapi apa pun yang akan datang.

Saat itu juga, sebuah mobil melaju cepat di depan mereka, menciptakan hembusan angin yang cukup kuat. Sheo Jin tersenyum seringai, wajahnya penuh perhitungan. "(Maaf ya, Felix. Hwa bagaikan robot berjalan yang bisa melakukan apa pun... Aku tidak akan membiarkanmu memberikan kehidupan manis untuk Hwa. Garis darah pertama adalah Hwa. Dia yang akan ditakdirkan memiliki kedua darah yang kuat,)" pikirnya, berusaha menanggalkan sejenak perasaan yang mengganjal di dalam dirinya.

Hari berikutnya, Sheo Jin berjalan di lorong gedung yang panjang, langkah kakinya berat namun penuh keyakinan. Asap rokok mengepul dari bibirnya, menghilang di udara, membaur dengan aroma dingin pagi yang menusuk. Gayanya yang elegan semakin mencolok di antara suasana gedung yang tenang dan sepi. Setiap langkahnya menyuarakan ketegasan yang tak terucapkan. Tiba-tiba, dia berpapasan dengan Felix yang sedang berjalan menuju ruangannya.

"Oh, Felix," sapa Sheo Jin dengan senang, suaranya seperti mengandung sesuatu yang lebih dari sekadar sapaan biasa. Senyumnya, meskipun penuh arti, tetap menunjukkan sedikit ketegangan.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Felix dengan tatapan serius, matanya langsung tertuju pada Sheo Jin, menilai setiap gerak-geriknya.

"Aku hanya ingin mengobrol sesuatu denganmu," jawab Sheo Jin sambil menatap balik Felix dengan penuh perhatian. Saat itu, Felix terdiam, seakan berpikir sejenak apakah ini pertemuan yang biasa atau ada sesuatu yang lebih dari itu.

Akhirnya, mereka berdua masuk ke dalam ruang bicara yang luas dan sepi, di mana hanya suara mereka berdua yang terdengar jelas. "Apa yang ingin kau bicarakan denganku?" tanya Felix, suaranya sedikit terdengar tegang, seolah merasakan sesuatu yang lebih besar sedang mengancam.

"Soal putra pertamamu... Hwa... bolehkah aku memegang kendali atasnya sebentar? Dia lelaki yang baik," kata Sheo Jin dengan suara yang rendah, namun dalam. Ada sesuatu yang begitu kuat dalam kata-katanya, sesuatu yang lebih dari sekadar permintaan biasa.

"Jika dia mau, ambillah saja. Kehendaknya sudah tak bisa ditolak lagi. Hwa memiliki semua yang diinginkan lelaki pada perempuan. Tapi meskipun dia terlihat sempurna, dia tidak bisa bersikap keras," balas Felix, suaranya terdengar sedikit kecewa, seolah sudah menerima kenyataan pahit tentang anaknya.

"Kau ingin putramu bersikap keras sepertimu terhadap orang-orang yang tidak kau sukai, Felix? Coba kau pikirkan lagi, temanku. Kau bersikap kasar karena kau membenci orang-orang yang tidak kau sukai. Tapi Hwa tidak begitu. Dia memiliki jiwa cinta yang baik. Dia sopan pada semua orang. Kau tahu, kesopanan akan menghasilkan ilmu. Melakukan kebaikan juga akan dihargai dengan ilmu. Biarkan dia memiliki kehendaknya sendiri, tapi tidak semuanya juga. Apa kau mau menjadikan Hwa loyal pada siapa pun? Ajarkan dia sikap menolak agar dia tidak menjadi seperti istrimu... seperti boneka yang dikendalikan oleh orang lain dengan mulut terbuka," kata Sheo Jin dengan penuh keyakinan, suaranya semakin berat dan penuh makna. Felix, yang mendengarkan dengan serius, terdiam, seakan kata-kata Sheo Jin telah menembus jauh ke dalam hati dan pikirannya.