Seoul, Korea Selatan.
[BLOODY LINE]
Hidup di bawah tetesan darah memanglah membuat Neko terpuruk dan trauma. Dia menjadi di kenal gadis menyedihkan setelah keluar dari apapun yang bersangkutan pada hal gelap. Tato di punggung nya perlahan mulai menghilang karena itu bukan hanya tato tapi sekedar luka yang berbekas.
Cinta Felix membuat nya percaya bahwa menjadi setia pada seseorang yang benar akan menjadikan nya seseorang yang Terima akan kehidupan.
Meskipun kehidupan gelap sudah ia lewati sudah sangat lama tapi ia khawatir akan putra nya yang pertama, Hwa.
Dia lelaki yang di kenal sopan dan baik hati. Memiliki wajah yang tak sama seperti kedua orang tua nya yang selalu memakai wajah dingin dan datar. Neko mengajarkan Hwa untuk selalu tersenyum karena itu yang di inginkan nya agar kehidupan Hwa tak sama dengan nya.
Tapi bagaimana jika Neko mewarisi garis darah pada Hwa. Garis darah adalah keturunan akan ciri ciri dari khas Neko. Dengan kata lain Hwa harus menjadi seperti nya. Yang lebih tahu hal ini adalah Kikiyo bahkan Sheo jin. "Garis darah Neko sangat lah penting... Jika Hwa tak bisa meminum darah sama seperti ibu nya maka dia bukan lelaki yang di pilihkan menjadi garis darah. Garis darah artinya pemimpin yang mengarahkan semua darah untuk masuk ke dalam mulut nya.
Mata yang bisa membuat orang sekali pandang langsung lumpuh. Tentunya sifat seperti ini memiliki sifat yang sangat datar, tapi Hwa benar benar berkebalikan. Aku juga tak tahu dia itu kuat atau tidak secara fisik maupun mental."
Tapi mata Hwa sama seperti Felix, bukan seperti Neko. Kisah Hwa menjadi sorotan dalam menghadapi ujian Garis Darah nya.
--
"Hwa, bisa kau ambilkan kertas di meja ibu," panggil Neko dari sofa. Ia tengah duduk anggun di atas sofa dengan ekspresi serius, meneliti satu per satu kertas yang berserakan di meja kecil di depannya. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela membuat bayangan kertas-kertas itu jatuh di atas lantai kayu yang mengilap.
"Baik, Ibu," jawab suara seorang lelaki dari dalam kamar. Suaranya tenang namun jelas. Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka, memperlihatkan seorang lelaki muda tinggi berusia 17 tahun. Wajahnya yang tampan memancarkan ketenangan, dengan mata biru kristal yang mengingatkan pada permukaan danau di pagi hari, dan rambut hitamnya yang berkilau di bawah sinar matahari. Ia melangkah keluar dengan membawa beberapa dokumen di tangannya.
Saat ia mendekat ke arah Neko, langkahnya terdengar lembut di lantai kayu. Neko menengadah, melihat putra sulungnya, lalu meraih dokumen itu dengan anggun.
"Terima kasih," katanya, dengan suara lembut namun tegas.
"Tak masalah, Ibu... Ngomong-ngomong, bolehkah aku keluar sebentar?" tanya Hwa, suaranya sedikit ragu, namun matanya tetap memandang lurus ke arah Neko. Ia berdiri tegap, memberi kesan sopan namun santai.
Neko mengangguk pelan sambil kembali memeriksa dokumen-dokumen di tangannya. "Ya, pulanglah cepat, dan jangan lupa jika kau mau jemput adik-adikmu," ucapnya tanpa mengalihkan perhatian dari tumpukan kertas di depannya.
"Baik, Ibu... Terima kasih," jawab Hwa. Ia membungkuk sedikit, tanda hormat, sebelum melangkah keluar dari ruangan itu.
Di luar rumah, langit terlihat cerah, dengan beberapa awan putih tipis yang melayang di angkasa. Angin sepoi-sepoi berhembus, menggoyangkan dedaunan di pohon-pohon sekitar. Hwa berjalan perlahan di jalan setapak yang membentang menuju jalan utama. Mata birunya memandang sekeliling, menangkap setiap detail di sekitarnya.
Di tengah perjalanan, matanya tertuju pada sebuah kafe kecil yang tampak baru. Di jendela kaca kafe itu, terlihat gambar seekor kucing hitam yang duduk manis di atas bulan sabit. Di dalamnya, beberapa meja dan kursi kecil tertata rapi, serta beberapa pelanggan yang tampak asyik berbincang sambil ditemani kucing-kucing lucu yang berkeliaran di dalam.
"(Aku tak tahu ada tempat ini... Apakah baru? Mungkin lain kali saja,)" pikir Hwa sambil memperhatikan kafe itu dari kejauhan. Ia menghela napas pelan, lalu melanjutkan langkahnya.
"(Dari kecil aku sangat suka pada kucing... Mereka sangat imut dan manis. Terlebih lagi aku suka pada kucing hitam, sama seperti rambut Ibu... Jika diingat-ingat, aku pernah bilang pada Ayah ingin menemukan perempuan yang sama seperti Ibu... Tapi sekarang sudah tak ada lagi hal yang seperti itu...)" pikirnya sambil menunduk.
Suara riuh dari sebuah sekolah di kejauhan menarik perhatiannya. Di depan gerbang sekolah, terlihat dua anak kecil berdiri sambil bercakap-cakap. Satu anak lelaki berambut hitam dan satu anak perempuan berambut pirang panjang yang tergerai indah tertimpa sinar matahari.
"Caleb, Luna!" panggil Hwa sambil melambaikan tangan.
Mendengar namanya, dua anak kecil itu menoleh, wajah salah satu anak itu yakni gadis kecil itu langsung berubah cerah. "Hwa!!" teriaknya sambil berlari kecil mendekatinya di susul yang satunya.
Wajah Hwa melunak. "Maaf aku terlambat. Bisa kita pulang sekarang?" tanyanya lembut sambil menatap adik-adiknya dengan penuh perhatian.
"Aku ingin permen, belikan aku, Hwa," pinta Luna sambil menarik-narik ujung baju kakaknya, matanya berbinar penuh harap.
"Tentu... Bagaimana denganmu, Caleb?" tanya Hwa, pandangannya beralih ke adiknya yang lebih tenang.
"Tidak," jawab Caleb singkat, dengan ekspresi yang hampir tanpa emosi. Anak lelaki itu terlihat jauh lebih dewasa daripada usianya.
Mereka bertiga kemudian berjalan bersama di trotoar kota yang ramai. Suara kendaraan sesekali terdengar di kejauhan, namun langkah kaki mereka terasa damai. Luna terlihat senang dengan permen yang dibelikan Hwa, sementara Caleb hanya berjalan tenang di sisi lain. Hwa menggandeng tangan mereka berdua, memastikan mereka tidak terpisah di tengah keramaian.
"Hwa... Apa Ibu ada di rumah?" tanya Luna sambil melirik kakaknya.
"Ya, Ibu ada di rumah... Saat sudah sampai rumah, pulanglah duluan. Aku harus menemui Ayah," jawab Hwa dengan nada serius.
"Kenapa Hwa selalu menemui Ayah?" Luna bertanya polos, membuat Hwa tersenyum kecil.
"Dia penerus keluarga pertama, Luna," jawab Caleb sebelum Hwa sempat membuka mulut.
Luna memiringkan kepalanya, wajahnya penuh rasa ingin tahu. "Memangnya apa yang dilakukan penerus pertama? Apa membunuh? Apa memeras orang?" tanyanya polos, membuat Hwa terdiam sejenak.
"Ehem... Luna, sejak kapan kau tahu begituan? Aku hanya belajar memegang saham, sama seperti Ayah dan Ibu," jawab Hwa sambil tertawa kecil, mencoba mengalihkan perhatian adik perempuannya.
"Ih, begitu, ya... Caleb, kau salah."
"Yang salah itu kau," balas Caleb dingin sambil melirik adiknya dengan tatapan datar.
Setelah mengantar kedua adiknya, Hwa berjalan ke kantor Felix. Dia mengetuk dan membuka pintu.
Nampak Felix menatap ke laptop, mengerjakan sesuatu di mejanya. Dia menoleh pada Hwa yang melangkah mendekat.
"Hwa," panggilan Felix membuat langkah Hwa berhenti dan menatapnya.
Felix hanya menatap dengan lirikan yang tajam, wajahnya tak bisa mengelak dari hadapan laptop. "Jangan bilang kau kemari ingin membicarakan hal itu lagi?" tatap Felix.
Hwa yang mendengar itu diam diam mengepal tangan seperti ada yang ingin ia sembunyikan.
Lalu ia mendengar Felix berbicara lagi. "Katakan padaku, apa yang akan kau lakukan jika aku memberimu sebuah kesempatan, Hwa," tatap Felix dengan serius.
Hwa menundukkan badan. "Maaf, Ayah, aku menolak tawaran Ayah soal masuk ke dalam gang yang dimaksudkan... Aku juga menolak Ayah memasukkan aku ke dalam militer," kata Hwa.
Seketika Felix terkejut mendengar itu. Dia berdiri. "Kenapa kau tak mau aku masukkan? Apa kau tahu arti dari garis keluarga kita? Kau juga sudah tahu siapa Ayah dan Ibumu... Meskipun aku sudah sepakat akan membesarkanmu dengan cara yang berbeda dariku, tapi ini harus. Aku membentukmu agar sama seperti ibumu... Kuat sepertinya, dan kau sudah memiliki banyak kesempatan."
"Jadi aku harus langsung mengarah ke darah, kasus, dan yang lainnya... Tapi aku tidak bisa."
". . . Kau harus. Di umurmu yang ke-17 tahun, aku akan memasukkanmu ke militer. Teruskan apa yang menjadi tujuan, jangan sia-sia kan perjuangan ayahmu demi meyakinkan ibumu," kata Felix.
"Kenapa Ayah ingin memasukkan aku ke dalam militer?"
"Karena kau terlihat lemah... Jika gelarmu tinggi, orang-orang akan menganggapmu kuat secara fisik," balas Felix, membuat Hwa terdiam.
--
Sebelumnya, dia bertemu dengan Neko di dapur. Neko sedang memasak dan memotong sayur, sementara Felix duduk di meja makan.
"Aku harus lebih memperhatikan Hwa," kata Felix. Neko hanya terdiam mendengarkan.
"Kau harus setuju aku menjadikannya apa nanti," Felix menambahkan.
". . . Aku tak peduli kau akan menjadikannya apa. Hwa muncul sebelum kau menikahiku... Jangan salahkan aku jika dia berbeda dari anak-anak lainnya. Tubuhnya lemah, kau tak bisa memaksanya begitu saja. Meskipun dia akan ditakdirkan memiliki tubuh kuat, kau juga tak boleh memaksanya," balas Neko.
"Bukankah bagus jika dia membangun organisasinya sendiri nanti? Dia akan dikenal sebagai orang yang besar," tatap Felix.
Neko terdiam sebentar. Ia mengingat Hwa pernah mengatakan sesuatu padanya.
"(Ibu, apa hutan itu bagus? Aku ingin melihat isinya dan pemandangan yang indah. Aku ingin melihatnya. Bintang di langit juga pasti bisa menghiasi malam yang indah, dan aku tertarik dengan berburu, agar aku bisa mendapat kulit yang bagus untuk Ibu dan yang lainnya.)"
"Hwa memiliki pemikiran yang tidak sama dengan kita," kata Neko. Dia menoleh pada Felix yang juga menatapnya.
"Dia sudah memegang takdirnya sendiri. Biarkan semua terjadi perlahan. Jika kita memang tak bisa menemaninya, biarkan dia yang melindungi yang termuda... Dia bukan penerus pertama, tapi garis darah pertama," kata Neko. Hal itu membuat Felix terdiam.
Tapi Felix menghela napas panjang. "Aku sudah melatih Hwa sangat banyak dari dia kecil. Dia memiliki tubuh yang kuat, aku yakin itu--
"Felix!!" Neko mendadak menyela membuat Felix terkejut mendengar panggilan tegas itu yang bahkan membuatnya langsung menatap Neko.
"Aku tahu kau melatihnya dengan baik! Dia adalah lelaki yang kuat!! Tapi jika kita bicara soal kelemahan nya!! Dia tidak memiliki sikap psikologis yang cukup!! Dia lemah dalam mentalnya, dia terlalu takut jika suatu saat nanti dia gila... Aku mengizinkan mu untuk menjadikan nya sebagai apa, tapi kau juga harus memikirkan resiko, apakah dia akan menjadi lebih kejam dari kita, atau dia memiliki caranya sendiri... Dia sudah hampir remaja... Kau harus lebih memahami nya...." kata Neko yang perlahan mengecilkan suaranya membuat Felix kembali menghela napas panjang.