"...Tak banyak, hanya saja aku juga sudah bercerita padamu, bahwa kau bukan perempuan pertama." Felix mengakui dengan nada yang pelan, ada keraguan dalam kata-katanya.
"Yah... Itu benar," Neko mengingat wanita sialan saat itu. Ingatannya kembali melayang pada kejadian-kejadian yang menyakitkan, meskipun ia berusaha untuk tidak terlalu menganggapnya serius. Tapi ia juga sudah terbiasa dengan rumor seperti itu, suara-suara negatif yang selalu ada di sekelilingnya.
"Sebagai pelacur sepertinya, dia pasti akan menganggap seks biasa akan terlalu lemah, jadi aku selalu... melakukan hal kasar padanya ketika berhubungan." Felix mengucapkan kata-kata itu dengan perlahan, seolah takut Neko akan marah atau bahkan membencinya.
"Sepertinya aku cukup mendengarnya," Neko langsung menyela, suaranya tinggi, tak ingin mendengar lebih lanjut. Ia merasa ada rasa tidak nyaman yang mulai menguasainya.
"Hei, kenapa? Bukankah kau yang meminta aku menceritakan ini? Jangan salahkan aku untuk kemarahanmu nanti dan mungkin kecemburuanmu." Felix mengangkat bahu dengan nada ringan, meskipun ada sedikit kebingungannya.
"Aku tidak cemburu, jalan-jalan saja sana bersama wanita lain," Neko mulai kesal, suaranya terdengar lebih tajam. Sepertinya ia sedang cemburu, namun tidak ingin mengakuinya. Felix mulai membahas masa lalunya dan itu membuatnya merasa terancam, meskipun ia tak ingin mengakuinya.
"...Baiklah... Kau gadis yang banyak maunya," kata Felix, senyuman kecil terlukis di wajahnya. Seketika ia memeluk pinggang Neko, menariknya lebih dekat, dan mendekat untuk mencium bibir Neko lagi.
"Felix.... Hentikan..." panggil Neko tiba-tiba, suaranya terdengar lebih rendah, seolah memberi isyarat untuk berhenti. Felix terkejut melihatnya, apalagi mendengar panggilan itu. Sejenak, semuanya terhenti, hanya ada suara detak jantung mereka yang terdengar di udara yang sunyi.
"Hei, kenapa kau begitu terkejut? Aku hanya memanggil namamu," tatap Neko, mencoba menyembunyikan rasa cemas yang mulai menguasainya.
"Ya... Tidak, maksudku... hanya saja rasanya aneh jika kau memanggil namaku, tapi aku menyukainya." Felix tersenyum malu, ada kehangatan yang muncul di matanya.
"Kalau begitu, aku akan bertanya... Apa aku benar adalah cinta pertama mu?" tatap Neko, matanya berkilau dengan rasa ingin tahu yang mendalam.
Lalu Felix tersenyum dan mendekat. "Tentu saja, aku sudah mengatakan itu padamu juga saat itu." Suaranya penuh keyakinan, meskipun ada keraguan kecil di dalam hatinya.
"Yah.... Itu tadi sangatlah bagus, aku tak bisa berhenti menahan rasa malu ku saat semua orang melihat kita, lain kali aku tidak akan ikut denganmu," kata Neko, suaranya ringan meskipun ada rasa canggung yang tersisa.
"Baiklah, jika kau tak mau ikut aku berbisnis, kalau begitu ikutlah aku saat aku mengajak jalan-jalan," tatap Felix yang akan kembali mencium Neko, tetapi tiba-tiba ponsel Neko berbunyi, memecah keheningan dan mengalihkan perhatian mereka. Neko buru-buru mendorong wajah Felix untuk tidak mendekat lebih jauh.
"Kita harus segera pulang, anak-anak menunggu," kata Neko, matanya terlihat sedikit lelah, meskipun ada rasa cemas yang kembali muncul. Seketika wajah Felix menjadi datar, ekspresinya berubah seketika, menunjukkan bahwa ia menyadari pentingnya keputusan itu.
Sementara itu, suara tawa kecil Hwa dan bayi-bayi terdengar riang di ruangan luas yang dihiasi warna-warna lembut. Ruangan itu dipenuhi dengan cahaya matahari yang menyelinap melalui jendela besar, menciptakan suasana yang hangat dan penuh keceriaan. Di pojok ruangan, kedua bayi yang lucu sedang bermain dengan mainan berwarna cerah, sementara Hwa, dengan senyuman lebar, ikut tertawa bersama mereka. Suara tawa mereka yang jernih bergema memenuhi udara, menyatu dengan suara lembut kipas angin yang berputar perlahan, menciptakan sensasi kedamaian yang menenangkan. Di sana juga ada tawa Syung Ha, yang duduk tak jauh dari Hwa. Wajahnya terlihat cerah, meskipun matanya sesekali melirik Hwa, seolah memastikan bahwa semuanya baik-baik saja. Sudah jelas mereka ada di sana, terhubung dalam kebahagiaan yang sederhana.
"Haha... Mereka menyukai mu, Tuan Kecil..." kata Syung Ha, suaranya lembut namun penuh kehangatan, seperti ibu yang menyaksikan anaknya bermain dengan penuh sukacita.
"Mereka sangat lucu... Menurut Syung Ha, apakah aku punya adik lagi?" tatap Hwa dengan penuh rasa ingin tahu. Matanya yang besar dan penuh harapan menyiratkan sebuah keinginan yang tulus, seolah memikirkan masa depan dengan serius.
Seketika, Syung Ha terdiam dari tawa kecilnya. Suasana yang tadinya ceria berubah sedikit lebih hening. Dia bahkan langsung membuang pandangannya dengan ragu, seolah mencari-cari kata yang tepat. "Um... Itu, itu tergantung mereka berdua... Haha... Hehe..." suaranya sedikit gugup, namun tetap berusaha menjaga suasana tetap ringan.
Hwa menjadi bingung, namun wajahnya tetap menunjukkan ketulusan. "Aku yakin aku akan punya adik lagi, karena aku ingin menjaga mereka!" tatapnya penuh tekad. Ada semangat yang terpancar dari wajah Hwa yang polos, seolah dia siap menghadapai tantangan apapun demi menjaga adik-adiknya nanti.
"Wah, itu hebat... Sepertinya Tuan Kecil akan tumbuh lebih besar ya..." tatap Syung Ha dengan senyum lebar, sedikit kagum. Matanya bersinar, mencerminkan rasa bangga yang mendalam. Kata-katanya terdengar seperti doa yang tulus, berharap agar Hwa bisa tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan bijaksana.
"Ya, pasti... Aku akan menjalani kehidupanku mulai dari sekarang. Aku akan bersekolah, aku juga akan bermain, dan aku akan merancang cita-citaku... Apakah aku sudah terdengar meyakinkan?" tatap Hwa dengan antusias, suaranya penuh semangat. Dia seakan-akan tengah merencanakan langkah-langkah besar untuk masa depannya yang cerah. Matanya berkilau dengan impian yang membara, dan gerakan tubuhnya yang ceria seolah menggambarkan betapa besar harapannya untuk masa depan.
"Haha, tentu..." Syung Ha hanya asal mengangguk, meskipun jelas dia merasa sedikit terkesan dengan antusiasme Hwa. Namun ada keraguan kecil di dalam hati Syung Ha. Mungkin, seperti kebanyakan orang dewasa, dia tahu bahwa masa depan penuh dengan ketidakpastian. Namun, dia memilih untuk mendukung penuh semangat Hwa.
Tiba-tiba, mereka dikejutkan oleh suara langkah kaki yang mendekat. Mereka menoleh, dan rupanya itu adalah Kikiyo, yang datang dengan wajah serius namun tetap ada kesan lembut di matanya. "Oh, aku mengganggu rupanya..." kata Kikiyo, suaranya terdengar sedikit terkejut, tetapi ada rasa khawatir yang samar.
"Dokter, kenapa?" Syung Ha menatap bingung. Suasana yang tadinya penuh tawa kini berubah menjadi sedikit tegang, meskipun tidak ada yang berniat menciptakan ketegangan.
"Dimana atasanmu?" Kikiyo bertanya pada Syung Ha yang langsung membalas, "Ah, mereka tengah melakukan sesuatu yang penting, apa ada masalah?"
"Tidak juga, ini sudah waktunya untuk mengecek kondisi Hwa... Kebetulan kau di sini kan..." tatap Kikiyo pada Hwa yang masih menatap polos, tidak sepenuhnya menyadari perubahan suasana di sekitarnya.
"Biarkan aku mengecek bekas lukamu..." Kikiyo berkata dengan lembut, sambil berlutut di dekat Hwa. Suaranya penuh perhatian, seperti seorang dokter yang benar-benar peduli dengan pasiennya.
"Tapi dokter, bukankah Nona Neko sudah memberitahu bahwa Hwa sudah sembuh? Lukanya sudah tidak basah..." tatap Syung Ha dengan sedikit kebingungan. Dia memandang Kikiyo dengan mata penuh tanya, tetapi juga sedikit khawatir jika ada sesuatu yang terlupakan.
"Ya sih, tapi aku hanya khawatir..." Kikiyo perlahan membuka baju Hwa yang terdiam. Saat itu, keduanya bisa melihat bekas luka jahitan yang masih membekas di kulit Hwa, meskipun sudah sembuh. Kikiyo menghela napas panjang, seolah merasakan beban yang ada pada dirinya. "Hwa, kau sudah bisa melakukan banyak aktivitas, tapi mungkin ini akan meninggalkan bekas luka yang tidak akan hilang... Apa kau baik-baik saja?" tatapnya, matanya penuh perhatian dan kekhawatiran.
"Aku... baik-baik saja..." Hwa mengangguk dengan polos, meskipun di dalam hatinya dia merasakan sedikit ketidaknyamanan. Namun, Hwa tidak ingin membuat orang-orang di sekitarnya khawatir, jadi dia menunjukkan senyuman yang tulus, meskipun di dalam dirinya ada sedikit keraguan.
"Baguslah, aku harap kau bisa tumbuh kuat..." Kikiyo menatapnya dengan penuh harapan. Meskipun ada rasa khawatir yang mendalam dalam dirinya, dia berusaha menunjukkan dukungan yang tulus. Syung Ha, yang berada di dekat mereka, mulai merasa tidak nyaman, seolah merasakan ada sesuatu yang tak terungkapkan di antara mereka.
"(Dia akan tumbuh besar... Pasti...)" Syung Ha berpikir dalam hati, berusaha menenangkan dirinya sendiri.
Di sisi lain, Neko tampak duduk di bangku taman. Dia melihat taman yang sepi dan juga pohon-pohon yang cantik di sana. Lalu terdengar suara Felix yang berjalan mendekat. "Kau suka?" tatapnya sambil memberikan botol minuman yang ia beli.
Neko mengambil minuman itu dan membalas, "Biasa saja... Aku terpaksa menuruti kemauanmu... Kau bilang ini jalan-jalan? Ini lebih seperti melihat sesuatu yang tidak berguna sama sekali..." tatapnya.
Felix lalu tersenyum kecil dan duduk di sampingnya, bersandar dan meluruskan tangannya untuk memeluk pundak Neko. "Kau harus melihat dengan baik. Di sana, tempat di mana bunga mawar tumbuh, dan di sana tempat di mana bunga tulip, dan yang lainnya tumbuh. Tapi di luar sana, bunga yang lebih cantik tumbuh sendiri, yakni bunga liar. Bunga mawar, tulip, ataupun itu, mereka tumbuh cantik karena dirawat. Tapi bunga di luar sana, mereka tetap tumbuh menjadi bunga meskipun mereka tidak dirawat... Apa kau sudah mengerti?" tatap Felix.
Neko terdiam sejenak, lalu dia teringat Hwa. "Apa kau mencoba menggambarkan Hwa, bahkan bayi-bayi kita?" tatapnya.
"Mungkin, kuncup bunga mawar tidak akan tumbuh menjadi tulip karena yang melahirkannya adalah mawar, begitu juga kuncup tulip yang tidak akan tumbuh seperti mawar karena yang merawatnya adalah tulip... Mereka memiliki nama yang cantik, tapi bunga liar, tidak sepenuhnya punya nama sendiri... Kita sebagai orang tua, harus bisa menilai, bahwa Hwa adalah sikap dari apa yang sudah kita jalani. Kita terlahir buruk, maka Hwa juga akan terlahir buruk. Kita hidup di tempat yang kejam, maka Hwa juga akan hidup di tempat yang kejam..."
"Tapi, sejauh ini, Hwa memiliki kehidupan yang sangat aku inginkan dulu... Dia memiliki kita... Dia juga memiliki keluarga. Aku tak mau dia menderita sama seperti aku..."
"Amai, kita tidak tahu apa yang akan mengisi kehidupan Hwa... Karena jika dia hidup, dia belajar, jadi, kita tak perlu sejauh apapun untuk mengkhawatirkannya... Nikmati waktumu, bersama aku, dia sudah besar..." tatapnya. Pembicaraan yang dewasa membuat Neko terlihat tenang, lalu dia menghela napas panjang. "Baiklah... sepertinya aku memang tak harus khawatir..."
END SEASON 3