Hari berikutnya, sinar matahari pagi yang lembut menembus tirai tipis di ruangan luas itu, udara pagi yang sejuk berpadu dengan aroma kayu tua yang menyatu dengan ruangan. Di sudut ruangan, terdengar suara ceria dari bayi-bayi kecil.
Salah satu bayi lelaki, dengan pipi bulat yang memerah, berusaha keras menggerakkan tubuhnya yang kecil. Meski ia belum mampu mengangkat badannya dengan sempurna, kakinya yang mungil terus mencoba mendorong, menampilkan semangat luar biasa dalam kesederhanaannya.
Suara lirihnya memenuhi ruangan, "Gu... U... Hu..."—gumaman bahasa bayi yang terdengar polos dan penuh semangat. Matanya yang besar, bersinar dengan keingintahuan, memandang sekitar seakan dunia di hadapannya adalah taman penuh misteri dan keajaiban yang menunggu untuk dijelajahi. Cahaya pagi memantul dari kulit lembutnya, memberikan kesan seolah-olah ia adalah malaikat kecil yang baru turun ke bumi.
Tidak jauh darinya, sebuah tangan besar yang kokoh tapi lembut mengangkat bayi perempuan. Bayi itu diletakkan perlahan di atas selimut empuk. Ia terbaring menatap langit-langit tapi sesekali ia tertawa kecil, memperlihatkan giginya yang baru tumbuh—seperti mutiara kecil yang berkilauan. Suaranya yang ceria, melodi khas bayi, mengisi ruangan dengan kehangatan. Gelak tawanya semakin terdengar saat matanya menangkap wajah orang yang meletakkannya, seorang sosok yang ia kenal sebagai sumber rasa aman dan nyaman.
Felix, dengan wajah tenangnya, duduk di lantai yang terasa hangat karena diterpa sinar matahari. Gerakannya sederhana namun penuh arti. Kemeja tipisnya yang sedikit tergulung di lengan memberikan kesan santai tapi tetap rapi. Mata birunya yang dalam memancarkan kelembutan yang jarang terlihat, terutama saat ia memperhatikan gerak-gerik bayi-bayi itu. Tangan besarnya menyentuh mereka dengan hati-hati.
"Kucing-kucing kecil yang lucu, bergeraklah lebih cepat...." ucapnya perlahan, suaranya berat namun dipenuhi kehangatan yang menenangkan. Sesekali, ia merapikan selimut atau menggeser mainan kayu kecil agar bayi-bayi itu bisa meraihnya.
Dia juga tampak tanpa ragu mengganti popok mereka satu per satu. Setiap gerakan Felix tampak seperti ritual yang dilakukan dengan hati-hati dan penuh penghormatan terhadap kehidupan kecil yang ada di hadapannya.
Tiba-tiba, suara langkah pelan terdengar dari balik pintu. Neko muncul, wajahnya sedikit terkejut melihat pemandangan yang tidak biasa. Pintu itu berderit pelan saat terbuka, memperlihatkan sosok Neko yang berdiri dengan anggun di ambang pintu. Sekilas, sorot matanya menunjukkan rasa kagum yang ia sembunyikan dengan baik. Ia berdiri sejenak, menatap Felix yang tampak sibuk namun penuh perhatian. Setelah beberapa detik, ia berjalan mendekat, langkahnya begitu ringan hingga hampir tidak terdengar di atas lantai kayu yang mengilap. Lututnya hampir menyentuh lantai hangat saat ia duduk di dekat Felix, sikapnya menunjukkan perpaduan antara penasaran dan santai.
"Kenapa kau melakukan itu?"
Felix menoleh padanya perlahan, senyum tipis tergambar di wajahnya yang teduh. "Mereka sangat lucu, ada baiknya jika aku membantu mereka," jawabnya sambil melirik bayi-bayi yang kini sibuk merangkak ke sana kemari. Nada suaranya yang tenang dan dalam seolah membawa kehangatan tersendiri, menciptakan suasana yang menenangkan seolah-olah semua hal buruk di dunia ini lenyap seketika.
Neko, yang biasanya menampilkan ekspresi dingin, kali ini tersenyum kecil—sebuah senyuman yang jarang terlihat. Tatapannya melembut saat ia memandang bayi-bayi itu, memperhatikan bagaimana tangan kecil mereka bergerak dan suara tawa mungil mereka memenuhi ruangan.
"Apa kau pikir kita bisa menambah lagi?" tanya Felix tiba-tiba, matanya memandang Neko dengan penuh arti.
"Apa?!" Neko langsung terkejut, hampir kehilangan keseimbangan duduknya. Suaranya menggema di ruangan itu, sementara wajahnya menunjukkan ekspresi yang bercampur antara bingung dan tidak percaya. Matanya terbuka lebar, dan tubuhnya sedikit berguncang, mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan Felix.
Tiba-tiba, seseorang masuk. Rupanya itu Hwa. "Ibu... Ayah... Kapan kita akan sarapan?" tanyanya polos. Matanya yang cerah memandang mereka, wajahnya tampak polos dan tidak tahu apa yang baru saja terjadi di antara Felix dan Neko. Hwa berdiri di ambang pintu, rambutnya yang terurai tergerai dengan ringan, mengingatkan Neko akan masa kecilnya yang penuh dengan kebahagiaan.
"Oh benar, aku kemari ingin memberitahumu, sarapan sudah siap..." Neko menatap ke arah Felix. Suaranya lembut, meski ada ketegangan yang masih tersisa di dalam dirinya. Mereka berdua saling bertukar pandang sejenak, mencoba untuk menyembunyikan perasaan mereka di tengah kekalutan pagi itu.
"Baiklah, ayo turun dan makan..." Felix berdiri, tubuhnya tinggi dan tegap, matanya tetap menatap Neko sejenak, memberi isyarat bahwa apapun yang terjadi, mereka harus tetap menjalani rutinitas ini. Mereka berdua berjalan pergi, langkah kaki mereka membelah kesunyian ruang tamu. Bayi-bayi kecil itu tertidur lelap, tidak tahu akan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Namun, ada seseorang yang mengawasi bayi-bayi itu, yaitu Syung Ha, yang masuk setelah mereka keluar. Suara langkahnya yang ringan tidak bisa terdengar, seolah dia sudah terbiasa bergerak dengan sangat hati-hati.
"Halo..." sapanya dengan suara ramah anak kecil. Wajahnya yang polos dan cerah seperti matahari pagi itu membuat suasana menjadi lebih tenang. Dia bertugas menjaga kedua bayi itu, memperhatikan dengan penuh perhatian, memastikan bahwa mereka baik-baik saja. Ruang tamu yang tadinya sunyi kini terasa lebih hidup dengan keberadaan Syung Ha yang selalu membawa keceriaan.
Sementara itu, mereka sudah berada di meja makan untuk sarapan. Lampu gantung yang menerangi meja makan memberikan sentuhan hangat pada ruangan, seolah-olah mengundang mereka untuk duduk dan menikmati makanan bersama. Udara pagi yang segar melintasi jendela, membawa aroma kopi yang baru diseduh dan aroma masakan yang menggoda selera.
Neko juga menyiapkan makanan untuk Hwa dan Felix. Dengan cermat, ia meletakkan piring-piring yang penuh dengan sarapan yang bergizi. Senyum tipis muncul di wajahnya, meskipun hatinya merasa sedikit lelah dengan semua yang terjadi sebelumnya.
Namun, Hwa tampak memasang wajah penasaran. "Aku selalu bertanya-tanya..." katanya sambil menatap Felix yang sedang memakan camilan sebelum sarapan. Mata Hwa yang besar dan cerah terlihat penuh rasa ingin tahu, mengarahkan perhatian Felix sepenuhnya padanya.
"... Bagaimana cara agar bisa kuat seperti Ayah... Memiliki tubuh yang kuat seperti Ayah?" lanjutnya. Suaranya penuh dengan kekaguman, seolah ia sedang berbicara tentang pahlawan besar dalam hidupnya. Setiap kata yang keluar dari bibirnya seakan membawa keinginan besar untuk menjadi seperti orang yang ia idolakan.
Felix terdiam mendengar itu, tapi kemudian ia tersenyum kecil. "Sepertinya kau selalu melewatkan saat Ayah memakan sesuatu, ya?" jawabnya. Senyum kecil yang muncul di wajahnya memberikan sedikit kenyamanan di tengah suasana yang sempat tegang sebelumnya.
"Melewatkan?" Hwa menatap polos. Matanya yang penuh rasa ingin tahu semakin terbuka lebar, berusaha mencari jawaban dari teka-teki yang belum sepenuhnya dimengerti.
Lalu Neko duduk di samping Felix, menatap Hwa yang ada di hadapan mereka. "Hwa, makan dulu sarapanmu..." ujarnya dengan lembut. Neko mencoba meredakan ketegangan yang masih tersisa, memberikan perhatian penuh pada Hwa yang terlihat kebingungan.
"Apa yang aku lewatkan?" Hwa masih bertanya-tanya hingga mereka selesai sarapan. Matanya yang tidak sabar ingin tahu membuat suasana semakin hidup, meskipun sarapan yang sederhana terasa begitu berat untuk dipahami.
"Setelah sarapan, kau selalu lebih dulu pergi melakukan sesuatu," ujar Felix dengan nada santai namun penuh makna.
"Em... Memang benar, memangnya Ayah akan melakukan apa?" Hwa menatap bingung. Suasana di meja makan mulai terasa lebih ringan, meski Hwa masih terjebak dalam kebingungannya sendiri.
Kemudian, ia melihat Neko membawa segelas besar, bahkan membawa kotak berisi telur mentah, lalu meletakkannya di meja di hadapan Felix, membuat Hwa terdiam melihat itu. Begitu banyak hal yang ia coba pahami, namun ini adalah sesuatu yang benar-benar baru baginya.
"Hwa... Jangan percaya padanya. Kau pasti juga akan gila melihatnya..." kata Neko sambil menyelesaikan kegiatannya di dapur dan meninggalkan mereka untuk mengurus hal lain. Neko menghela napas panjang, mencoba menyembunyikan rasa khawatir yang menggelayuti pikirannya.
Sementara itu, Hwa masih memperhatikan apa yang akan Felix lakukan. Ruangan itu semakin terasa hening, hanya suara detak jam yang terdengar jelas, mengiringi peristiwa yang akan terjadi. Felix mulai memecahkan telur-telur itu ke dalam gelas. Hwa terdiam bingung melihatnya, tidak tahu harus bereaksi bagaimana.
"Ayah? Apa yang Ayah lakukan?" tanyanya, masih tidak bisa mengerti.
Namun, Felix hanya tersenyum kecil menatapnya. Senyum itu seperti sebuah misteri yang menunggu untuk dipecahkan, sementara suasana semakin terasa penuh ketegangan. Setelah selesai, ia tanpa basa-basi meminum semua telur mentah itu sekaligus.
Hwa terkejut hingga pucat melihatnya, ekspresinya berubah menjadi penuh ketidakpercayaan. Ia menyesal telah melihat apa yang Felix lakukan. "Aaaa!!!" teriaknya histeris. "Ayah!! Itu masih mentah!!"
"Hei, ini rahasianya. Bukankah kau tadi bertanya?" ujar Felix sambil meletakkan gelas kosong itu. Suasana kembali hening, kecuali suara helaan napas dari Hwa yang tampak benar-benar terkejut. "Kau bahkan memasang ekspresi yang sama seperti ibumu ketika melihat ini untuk pertama kalinya."
"Ugh... Maafkan aku, tapi itu agak menjijikkan..." Hwa tampak geli. Ia bahkan langsung turun dari kursi dan berjalan pergi meninggalkan Felix yang tertawa kecil melihatnya. Kejadian ini sepertinya akan tetap membekas dalam ingatan Hwa untuk waktu yang lama.
Namun, ponselnya berbunyi. Suara notifikasi yang muncul tiba-tiba menghentikan tawa Felix. Ia segera melihatnya, dan seketika ekspresi wajahnya berubah menjadi sangat dingin, bahkan datar, diiringi helaan napas panjang.
Kemudian, ia berdiri. Tapi, saat ia berdiri, ia terkejut melihat Neko yang sudah ada di belakangnya. "Kenapa? Terkejut? Kau ingin mencariku?" ujar Neko datar. Ia melewati Felix sambil mengambil gelas bekas tadi dan mencucinya.
Felix terdiam. Ada campuran rasa ragu yang menghantui pikirannya sembari menatap ponselnya dan punggung Neko yang mulai menjauh. "Amai... Nanti malam... Bisa kau bersiap-siap? Aku ingin mengajakmu..." ucapnya, dengan nada yang sedikit lebih serius.
Neko terdiam mendengar itu, lalu mematikan keran dan menghela napas panjang. Suasana di dapur terasa semakin berat, dan seolah ada beban yang tak terlihat menggantung di atas kepala mereka. Ia memang tidak suka jika Felix memintanya seperti itu.
"Baiklah... Terserah..." Neko akhirnya menjawab, dengan suara yang tidak bisa disembunyikan penuh rasa cemas.