Felix sudah semakin dekat dengan Neko hingga ia benar-benar meletakkan kedua tangannya di meja keramik tempat Neko memotong sayuran. Sentuhan tangannya yang kokoh dan hangat terasa menguasai ruang kecil itu. Kedua tangannya menyegel Neko di sana, menciptakan suasana yang intens. Neko, yang sedang fokus pada irisan sayuran di depannya, melihat dengan sudut matanya. Pandangannya sempat melebar, namun segera kembali normal setelah ia menyadari siapa yang berdiri di belakangnya. Ia menghela napas panjang, seolah berusaha menenangkan detak jantungnya yang sedikit meningkat.
"Berhentilah mengganggu..." katanya datar, namun dengan nada yang menunjukkan ia sebenarnya tidak sepenuhnya terganggu, lebih seperti pura-pura tegas.
Felix, dengan senyuman tipis yang tak pernah lepas dari wajahnya, mendekatkan wajahnya sedikit ke arah Neko dan berbisik dengan suara rendah yang lembut namun penuh otoritas, "Kenapa kau selalu turun tangan untuk memasak? Bukankah yang harus kau lakukan hanyalah duduk dan bersantai? Aku sudah meminta orang lain untuk memasak, bahkan untuk membersihkan rumah. Kau selalu melakukan itu setiap saat..."
Neko berhenti sejenak, pisau yang ia genggam terhenti di atas wortel yang hampir selesai ia potong. Ia menoleh sedikit ke belakang, cukup untuk melihat sudut wajah Felix. "Yaaa... Itu karena aku bosan. Jadi, aku melakukan hal ini saja," balasnya dengan santai. Suaranya terdengar ringan, seolah mencoba membuang suasana canggung yang mulai membayang di antara mereka.
Felix hanya mengangkat satu alis, senyuman liciknya kembali menghiasi wajahnya. "Jika bosan, kenapa tidak mampir ke kantorku? Bersenang-senanglah di sana, temani aku, dan hilangkan kebosananku juga," ucapnya dengan nada menggoda.
Neko menjadi menatap tajam. "Kau pikir aku tidak mengurus bayi-bayinya? Aku harus memberikan mereka ASI," jawabnya sambil melanjutkan pekerjaannya memotong wortel.
Felix tertawa pelan, suaranya bergema di dapur yang terang benderang. Ia menatap Neko dengan tatapan penuh rasa ingin tahu, seperti seorang anak kecil yang menemukan sesuatu yang menarik. "Kalau begitu, aku juga mau," katanya sambil menatap lekat-lekat, senyumnya berubah menjadi senyuman jahil.
Seketika, Neko membelalakkan matanya. Ia terkejut, tapi segera memalingkan wajahnya ke arah lain, berusaha mengabaikan rasa panas yang merambat ke pipinya. "Hei, tidak sekarang. Mandilah terlebih dahulu. Setelah itu makan malam dan tidur, oke?" katanya mencoba mengalihkan perhatian Felix, suaranya terdengar tegas namun sedikit tergesa.
Felix hanya mendekatkan wajahnya, membuat jarak di antara mereka semakin tipis. "Kalau begitu, sebelum aku mandi, aku ingin ciuman dulu," bisiknya.
Neko menghela napas panjang, seolah-olah ia menyerah pada desakan Felix. Ia meletakkan pisau yang digenggamnya dan perlahan memutar tubuhnya, hingga mereka saling berhadapan. Tatapannya bertemu dengan mata Felix yang penuh harap, namun juga dipenuhi dengan kilatan jahil yang khas. "Asalkan kau janji setelah ini mandi..." Ia mengangkat tangannya, memegang pipi Felix dengan lembut. Sentuhan itu membuat suasana di antara mereka menjadi lebih hangat, lebih intim.
Ia mendekatkan wajahnya perlahan, menutup mata hingga bibir mereka bertemu dalam ciuman singkat. Namun, secepat ia mendekat, secepat itu pula ia menjauh. "Kau! Merokok!!" Neko menatap Felix dengan wajah penuh kemarahan yang bercampur jijik. Ia mendorong dada Felix dengan kedua tangannya. "Pergilah mandi!! Sikat gigi terlebih dahulu!!"
Felix, meskipun dimarahi, hanya tertawa kecil. Ia merasa kurang puas, hingga tiba-tiba ia merunduk dan mengangkat tubuh Neko ke atas bahunya. Gerakan mendadaknya membuat Neko terkejut.
"Akh!! Apa yang kau lakukan?!" Suaranya terdengar melengking, namun lebih ke arah panik daripada benar-benar marah.
Felix melangkah keluar dari dapur, langkahnya yang mantap bergema di lantai keramik. Ia memanggil dengan suara lantang ke arah ruangan lain, "Hei!! Lanjutkan memasak!!"
Terdengar suara langkah-langkah pelayan yang tergesa-gesa memasuki dapur. Mereka, yang sudah terbiasa dengan kelakuan majikannya, hanya bertukar pandang sejenak sebelum mengambil alih pekerjaan Neko.
"Apa yang kau lakukan! Aku ingin memasak! Hanya aku yang harus memasak!" Suara Neko terdengar menggema di dalam ruangan, dipenuhi nada kemarahan yang bercampur frustasi. Dia mencoba memberontak, tubuhnya bergeliat untuk lepas dari cengkeraman, tapi pandangannya sudah berubah menjadi kamar mandi yang begitu luas dengan dinding marmer mengilap, pencahayaan lembut dari lampu gantung yang terpantul sempurna di atas permukaan wastafel. Aroma sabun wangi dan uap air hangat mengisi udara.
"Tak perlu memasak lagi. Tugasmu hanya melayaniku..." ujar Felix dengan suara rendah namun penuh kendali, tatapan matanya tajam seperti sedang menikmati permainan yang dia kuasai sepenuhnya. Dengan gerakan yang tenang, dia meletakkan Neko di atas wastafel yang terbuat dari marmer kokoh. Neko duduk di sana, dengan tangan melipat di dada, wajahnya menunjukkan ekspresi kesal.
"Apa yang ingin kau lakukan?" tanya Neko dengan nada tajam, matanya menyipit penuh kemarahan. Napasnya sedikit terengah, baik karena emosi maupun karena keberadaan Felix yang begitu dekat.
Namun, di mata Felix, Neko tampak seperti seekor harimau kecil yang lucu saat marah. Bibirnya sedikit terangkat membentuk senyum tipis, senyum yang membuat suasana semakin panas. "Lepaskan bajuku..." katanya, suaranya rendah namun memerintah, seperti pemangsa yang memberikan perintah terakhir pada mangsanya.
Perlahan, Neko mulai membuka kancing kemeja Felix satu per satu. Suara kecil kancing yang dilepaskan terdengar pelan, menyatu dengan suara tetesan air dari keran yang belum sepenuhnya tertutup. Di pertengahan proses, Felix tiba-tiba mendekat, dan sebelum Neko bisa bereaksi, bibirnya telah menyentuh leher Neko. Sentuhan itu membuat tubuh Neko membeku sejenak, matanya membesar karena terkejut, dan jantungnya berdebar kencang seperti genderang perang.
"Ahh, hentikan... Aku tak mau melakukannya denganmu! Kamu bau!" Neko memohon dengan suara tinggi, nada ketakutan dan frustrasi bercampur menjadi satu. Namun, meskipun mulutnya mengucapkan penolakan, tubuhnya terasa lemah, seperti tidak memiliki kekuatan untuk melawan. Dia bisa merasakan napas hangat Felix yang terus memburu lehernya, membuat bulu kuduknya berdiri.
"Hentikan... Uhh..." Suaranya melemah, wajahnya berpaling ke samping, berusaha menjauh sejauh mungkin dari Felix. Tapi ruangan itu terasa semakin kecil, dan keintiman di antara mereka tak terhindarkan.
Hingga ketika masakan sudah selesai, suasana berubah ke ruang makan yang besar. Hwa turun untuk makan malam, kakinya yang kecil melangkah di lantai yang dingin dan mengkilap. Lampu gantung kristal di ruang makan memancarkan cahaya lembut, menerangi meja makan panjang yang sudah tertata sempurna. Dia mengerutkan dahi melihat begitu banyak pelayan wanita yang sibuk di sana, bukannya Neko yang biasanya memasak. Aroma masakan hangat memenuhi ruangan, tetapi Hwa tidak bisa menghilangkan kebingungannya.
Ketika dia menatap ke arah para pelayan dengan pandangan bingung, mereka tersenyum sopan dan menuntunnya ke kursi di ujung meja. "Tuan Kecil, lewat sini..." suara mereka terdengar lembut namun penuh kewibawaan. Mereka membawanya dengan perlakuan bak pangeran kecil.
Hwa duduk di kursi empuk itu, piring porselen mewah dengan makanan lezat di depannya. Namun, ekspresi bingungnya tak hilang. Matanya terus bergerak ke sana kemari, mencari sosok Neko atau Felix. "Di mana ayah dan ibu?" tanyanya dengan suara kecil namun penuh keingintahuan.
Salah satu pelayan yang tampak lebih tua mendekatinya dan membalas dengan nada lembut, "Ah, mereka sedang melakukan sesuatu yang penting, jadi kenyangkan perutmu dan tidurlah dengan nyenyak." Meskipun kata-katanya sopan, ada sesuatu dalam nadanya yang membuat Hwa semakin curiga.
Setelah selesai makan, Hwa berjalan kembali ke kamar. Koridor panjang yang dihiasi lukisan-lukisan keluarga terasa sunyi, hanya langkah kakinya yang terdengar. Pikiran Hwa masih dipenuhi pertanyaan. "Hm... Aneh, Ibu kan selalu ingin menidurkanku. Tapi kenapa malam ini tidak ada?" gumamnya pelan, bibirnya mengerucut kesal. Dia mendorong pintu kamarnya, masuk ke dalam, dan langsung melompat ke tempat tidur besar yang dipenuhi bantal-bantal empuk.
Hingga tengah malam, suara dari kamar mandi mulai terdengar samar-samar di ruangan besar itu. Suara erangan lemah Neko bercampur dengan suara Felix yang rendah tapi penuh tenaga. "Hentikan... Hentikan... Cukup!" suara Neko terdengar memohon.
Namun Felix tetap tak terhentikan. "Oh, ayolah. Kau bilang kau kuat, bukan?" Suaranya terdengar sedikit menggoda namun penuh tantangan, seakan dia sedang menikmati setiap detik yang berlalu.
"Kau sudah melakukannya sangat lama! Ini sudah beberapa jam. Aku tak punya tenaga lagi..." keluh Neko dengan suara lemah, tubuhnya gemetar karena kelelahan.
--
Hingga terlihat Neko duduk di sofa menatap televisi. Dia masih menggunakan jubah handuk yang menutupi tubuhnya tanpa pakaian. Dia tampak lemas, duduk dengan posisi tidak teratur, bahkan terlihat suram.
"(Aku benar-benar hampir mati...)"
Lalu Felix datang dengan jubah handuk yang sama. Dia menatap televisi, lalu menoleh ke arah Neko.
"Kenapa tidak langsung tidur?" tanyanya.
Namun, Neko menatapnya tajam.
"Punggungku masih sakit..." jawabnya.
Felix kemudian duduk di sampingnya, mengambil camilan yang ada di meja depan mereka. Dia juga menawari Neko dengan menyuapinya, tapi Neko membuang wajah.
"Aku tak mau..."
"Makanlah. Kita tidak makan malam tadi. Setidaknya isi perutmu," kata Felix.
"Kau pikir perutku tidak terisi tadi?!" Neko menatapnya tajam, mengingat sesuatu.
"Yaa... hmm... masuk akal. Tapi makanlah," jawab Felix sambil tetap menyuapinya.
Neko menghela napas panjang, lalu membuka mulut untuk meraih makanan yang ada di tangan Felix. Tapi siapa sangka, Felix mencuri kesempatan itu untuk menciumnya.
Hal itu membuat Neko terkejut, lalu dia menatap Felix dengan kesal.
"Ahhh... hentikan! Jika sampai aku mengandung lagi, aku akan keluar dari sini!" ancamnya.
Namun, Felix hanya tertawa kecil.
"Itu bagus jika kau mengandung lagi. Penuhilah rumah ini dengan bayi-bayi kucing yang lucu," balasnya sambil tersenyum.
Neko semakin kesal, tapi kemudian dia memikirkan sesuatu yang membuatnya tenang dan tersenyum kecil. Hal itu membuat Felix terdiam memperhatikannya.
Lalu Neko menatap Felix dengan licik.
"Jika aku mengandung, kau tidak akan bisa melakukannya denganku... dari usia kandungan enam bulan hingga seterusnya," ujarnya.
Seketika Felix terdiam. Dia teringat saat-saat ketika Neko dulu mengandung, dan dia tidak bisa melakukan apa yang diinginkannya karena perut Neko yang membesar.
Namun, Felix tidak kehabisan akal.
"Ini baik-baik saja. Toh aku bisa menahannya sampai sekarang," jawabnya sambil tersenyum.
Neko menjadi kesal. Dia menyerah untuk berbicara lebih lanjut dan memilih kembali bersandar dengan tidak nyaman.
"Ha... kupikir kau sudah menjadi orang tua. Kenapa pemikiranmu masih seperti itu," gumamnya.
Felix mendengar itu dan langsung membalas.
"Heh, tak peduli kita sudah menjadi orang tua sekarang. Tak peduli sudah berapa lama kita hidup sampai saat ini. Kehidupan adalah sesuatu yang harus dinikmati. Kau juga sudah sejauh ini menjalani kehidupan. Ke depannya... biarkan Hwa yang bercerita," katanya sambil menatap Neko.
Neko menghela napas panjang, lalu tersenyum kecil.
"Kau benar... kehidupan kita sekarang berbeda dengan bayi-bayi kita," ujarnya.
Mereka yang tadinya berdebat, kini berubah menjadi percakapan yang membuat Neko merasa lebih tenang.