"Kami terkejut ketika melihat putramu yang sekarang terlihat sangat tampan. Kami dengar dari sekolah Hwa bahwa dia beberapa kali menjadi murid teladan dan terpintar di sana. Kami hanya ingin minta maaf atas apa yang terjadi di masa lalu," kata mereka sambil menundukkan badan pada Neko.
Di hadapan mereka, Neko berdiri dengan postur tubuh yang tegap, namun ekspresinya dingin seperti es. Tatapannya lurus, tidak menunjukkan sedikit pun emosi, seolah perasaan mereka tidak berarti baginya. Di sampingnya, Hwa berdiri terdiam, sedikit menunduk dengan mata yang tidak berani menatap siapa pun. Angin sore yang sepoi-sepoi menyapu rambut mereka, menambah suasana yang ganjil di tengah percakapan yang sarat dengan penyesalan.
Neko hanya menyilangkan tangan di depan dadanya, gerakannya tenang namun penuh otoritas. Wajahnya tetap datar, tak tergoyahkan oleh permintaan maaf mereka. Ia lalu melirik Hwa, yang masih membisu, seolah tenggelam dalam pikirannya sendiri. "Jangan minta maaf padaku. Mintalah maaf pada Hwa dengan sepantas-pantasnya," ucap Neko dengan nada tegas, seperti palu yang mengetuk dengan pasti.
Namun, sebelum kata-kata lebih jauh melayang, Hwa meraih ujung baju Neko dengan jari-jarinya yang gemetar. Tatapannya penuh dengan harap, seolah meminta ibunya untuk tidak melanjutkan pembicaraan. "Ibu, ayo kita pergi," ucapnya pelan, namun cukup untuk memecah keheningan yang mencekam.
"Ah, baiklah," jawab Neko singkat, suara tenangnya seolah menyembunyikan emosi yang rumit di baliknya. Ia meraih tangan Hwa dengan lembut namun mantap, menggandengnya melewati dua wanita itu tanpa sepatah kata lagi. Ketika mereka berlalu, langkah kaki mereka terdengar jelas di atas jalan berlapis kerikil, menciptakan ritme yang perlahan menghilang seiring jarak yang semakin jauh.
"Aku benar-benar menyesal telah menganggap Hwa gagal."
"Kau benar. Dia sekarang bahkan sangat tampan dan pintar. Kita terlalu menindasnya."
Percakapan itu terdengar samar-samar di belakang mereka, seperti bisikan angin yang terseret waktu. Penyesalan itu jelas, tapi tatapan Neko yang tidak lagi berbalik menyiratkan bahwa maaf itu telah terlambat. Siapa yang menyangka, di balik banyaknya bakat Hwa sekarang, ketika kecil sekali, dia selalu di perlakukan tidak baik.
---
"Hwa, apa kau baik-baik saja?" tanya Neko sambil melirik Hwa yang berjalan di sampingnya. Tangan mereka masih saling menggenggam, tetapi cengkeraman Hwa terasa lemah, seolah pikirannya melayang entah ke mana.
Hwa tetap diam. Matanya yang biasanya cerah kini redup, menatap ke bawah tanpa fokus pada apa pun. Langit senja di atas mereka memancarkan semburat jingga keemasan, tapi keindahan itu tak mampu mengusir bayangan kelabu yang menyelimuti pikiran Hwa. Dia tampak tenggelam dalam dunianya sendiri, hingga akhirnya menghela napas panjang, memberanikan diri untuk berbicara.
"Ibu, aku benar-benar minta maaf. Aku mempermalukan Ibu saat itu... Aku sangat takut pada apa yang terjadi saat itu, dan aku tak pernah berpikir itu akan terjadi begitu saja...." Hwa menatap ibunya dengan mata yang penuh rasa bersalah, suaranya hampir berbisik di tengah keheningan yang menyelimuti mereka.
Langkah Neko tiba-tiba terhenti. Ia berbalik dan menatap Hwa dengan penuh kelembutan yang jarang ia tunjukkan. Wajahnya berubah, bukan lagi datar seperti sebelumnya, melainkan menunjukkan campuran kesedihan dan rasa sayang. Dengan gerakan hati-hati, ia mengangkat tangan dan menyentuh pipi Hwa, membelainya dengan kehangatan yang menenangkan.
"Hwa, sayang, kau adalah satu-satunya yang terbaik di sini.... Ibu tak menuntutmu untuk tidak merasa takut... Kau boleh merasa takut. Ibu tahu apa yang kau rasakan...." ucap Neko perlahan, suaranya bergetar dengan kejujuran yang menyentuh. "Tak perlu memaksa lagi. Ibu juga minta maaf karena ibu tak bisa membela lebih dulu sebelum mereka melakukan sesuatu padamu.... Selama ini, kau terluka duluan dan ibu selalu terlambat datang menyelamatkanmu...."
Mata Neko berkabut, tapi ia menahan air matanya agar tidak jatuh. Hatinya pedih setiap kali ia mengingat masa-masa di mana ia tak mampu melindungi anaknya. Namun, ia berusaha menunjukkan ketegaran di depan Hwa, menguatkan dirinya demi anaknya.
"Ibu...." Hwa mengangkat tangannya, menyentuh jemari Neko yang masih berada di pipinya. "Ibu tidak salah.... Justru aku yang seharusnya bisa melindungi diriku sendiri. Aku tak butuh Ibu untuk menyelamatkanku.... Karena aku tahu, aku bisa melakukan semuanya... Jadi, jangan khawatir. Ibu sudah hebat membesarkanku...." katanya, sebelum memeluk Neko dengan erat.
Pelukan itu hangat, seperti jembatan yang menghubungkan hati mereka yang terluka. Neko sedikit terkejut, namun akhirnya membalas pelukan itu dengan lembut. Angin yang berhembus pelan di sekitar mereka seolah berhenti, memberikan momen hening yang hanya milik mereka berdua.
Sementara itu, Felix menatap kertas di tangannya. Jari-jarinya yang panjang menggenggam lembaran itu erat, sementara tangan lainnya memijat keningnya yang terasa berat, seolah ada ribuan beban bertumpuk di sana. Napas panjang berulang kali terdengar, menggema di ruangan kantornya yang luas namun terasa begitu sunyi. Sofa tempatnya duduk terbuat dari kulit hitam yang lembut, namun kenyamanan fisik itu tak mampu menghapus kekacauan yang memenuhi pikirannya. Dinding-dinding ruangan dihiasi dengan lukisan abstrak, tetapi keindahannya tampak tidak berfungsi untuk menghibur. Lampu gantung kristal di atas kepala Felix memancarkan cahaya lembut, menciptakan bayangan samar di wajahnya yang terlihat tegang.
Lalu pintu kayu besar di sudut ruangan terbuka perlahan, suara engselnya nyaris tak terdengar di tengah keheningan. Seseorang melangkah masuk. Siapa lagi jika bukan Kim. Dengan langkah teratur, Kim mendekati Felix. Rambutnya yang tersisir rapi memantulkan cahaya dari lampu ruangan, sementara ekspresinya tenang namun penuh tanda tanya.
"Tuan Felix, Anda memanggilku?" tanyanya dengan nada hormat namun sedikit ragu. Tatapannya mencoba menangkap emosi yang tersembunyi di balik wajah dingin Felix.
"Tidak..." jawab Felix singkat, suaranya datar, tanpa emosi.
Kim mengerutkan dahi, merasa ada yang aneh.
"Eh, tapi Acheline bilang, ada yang ingin Anda bahas... soal besok malam? Apa itu?" tanyanya, mencoba menggali informasi lebih jauh.
Felix menghela napas panjang, kali ini lebih berat dari sebelumnya.
"Soal itu, aku bahkan hampir lupa... Hanya rekan bisnis yang selalu ingin bekerja sama denganku. Dia ingin bertemu denganku besok malam. Aku akan membawa Amai juga. Apa pendapatmu tentang itu?" katanya, nada suaranya terdengar lebih lelah daripada marah.
Kim memiringkan kepala, matanya memancarkan rasa skeptis yang samar.
"Tidak yakin... Terakhir kali Anda membawa Nona Akai, dia hampir dijatuhkan oleh bajingan-bajingan yang buruk... Tapi jika Anda bisa melindunginya, buat apa peduli pada bahaya semacam itu?" katanya datar, nyaris tanpa emosi.
Felix menatapnya dengan dingin.
". . . Ha... Sepertinya aku tak perlu mendapatkan pendapatmu," katanya dengan nada penuh kekecewaan.
Kim terdiam sejenak, pandangannya jatuh ke lantai marmer ruangan itu. Namun, tiba-tiba sesuatu muncul di pikirannya, seperti kilasan cahaya dalam gelap.
"Ah, apakah aku bisa bicara soal Tuan Kecil? Aku dengar dari Acheline bahwa Tuan Kecil ingin sekali memilih banyak impian... Dia pasti sangat ingin meraih banyak hal," katanya pelan, nada suaranya berubah lebih lembut, seperti mencoba mencairkan ketegangan di ruangan itu.
Felix menoleh perlahan. Pandangannya tajam, seolah menusuk Kim.
". . . Kau pikir Hwa dilahirkan dalam kondisi suram? Aku sudah berusaha memberinya kebutuhan seorang anak kecil," balasnya, suaranya rendah namun penuh tekanan.
Kim menelan ludah, tetapi ia tidak menyerah.
"Ya, tapi... mengingat pekerjaan Anda... Apalagi masa lalu Nona Neko, dia tidak pantas mendapatkan hal yang baik di masa depan. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Anda harus memikirkan itu. Bisa jadi, meskipun Tuan Kecil sekarang terlihat polos dan masih kecil, tapi ketika dia besar... dia bisa lebih kejam dari kalian berdua. Ini patut dibicarakan lebih lanjut untuk masa depannya," katanya dengan nada serius, menatap Felix tanpa gentar.
Felix mengangkat bahu ringan, seolah perkataan Kim tak ada artinya baginya.
"Untuk apa khawatir? Aku senang jika dia bisa menjadi kuat... Apalagi untuk bayi-bayi kecil yang lain. Mereka pasti punya cerita sendiri-sendiri," balasnya santai, seolah tidak ingin memikirkan masalah itu lebih jauh.
Kim terdiam, bibirnya sedikit terbuka namun tak ada kata-kata yang keluar. Di dalam pikirannya, ia mencoba memahami sikap Felix.
"(Melihat sikapnya, dia terlihat sangat santai sekali... Tuan Felix memang suka santai karena dia bisa menyelesaikan masalah jika itu terjadi...)" pikir Kim dalam hati, sedikit frustrasi.
"Cukup bicaranya. Atur waktu untuk besok malam. Aku tak mau ada acara lain," kata Felix tegas, memutus pembicaraan.
Kim menundukkan badan dengan sopan sebelum melangkah keluar dari ruangan. Langkahnya terdengar jelas di lantai marmer, menggema hingga pintu menutup perlahan.
Felix kembali menatap kertas di tangannya. Setelah beberapa saat, ia meletakkannya di meja, lalu memasukkan tangannya ke saku jasnya, mengeluarkan rokok yang sudah hampir hancur di bungkusnya. Dengan gerakan lambat, ia menyalakannya menggunakan korek api kuno, lalu menghembuskan asap ke udara. Asap itu berputar-putar, melayang hingga menghilang di antara cahaya lampu kristal.
Pandangannya kosong, menatap ke langit-langit ruangan tanpa berkedip. Di balik mata itu, pikirannya berputar. Seakan sebuah layar besar memutar potongan-potongan ingatan penuh darah, pembunuhan, dan berbagai hal mengerikan. Bayangan itu terus menghantuinya, menguasai kesadaran Felix sepenuhnya.
Kemudian, di tengah kekacauan pikirannya, sosok Hwa muncul. Putra kecil itu seperti kilasan cahaya di dalam kegelapan.
"(Buah jatuh tak jauh dari pohonnya? Mungkin itu benar...)" pikir Felix, matanya kini berkabut oleh sesuatu yang tidak bisa ia ungkapkan.
Hingga kemudian dia kembali pulang pada malam hari. Dia melihat Neko yang sedang memasak makan malam dengan Syung Ha di sampingnya, membantu. Mereka memasak sambil membelakangi Felix, sehingga Felix bisa melihat punggung mereka berdua.
Dia bahkan bisa membandingkan, Syung Ha yang tinggi dengan Neko yang agak pendek di sana.
Felix memilih untuk diam karena dia menunggu Syung Ha menatapnya. Hingga akhirnya, Syung Ha kebetulan menoleh ke belakang dan terkejut. "A--" Dia hendak menyapa, tetapi Felix mengisyaratkan untuk tetap diam, membuat Syung Ha mengangguk.
Lalu Felix memintanya untuk pergi meninggalkan Neko. Syung Ha dengan cepat menatap Neko. "Nona, aku... aku sepertinya mendengar bayi menangis, jadi aku akan ke atas untuk mengecek..." katanya.
"Ya, baiklah..." Neko membalas sambil masih fokus memotong sayuran dengan hati-hati.
Lalu Syung Ha berbalik dan menatap Felix dengan senyum tipis. Dia menundukkan badan dan berjalan melewati Felix, yang kemudian pandangannya tertuju pada Neko. Senyum kecilnya tak bisa tertahankan, dan dia tak sabar untuk mendekati Neko.