Chereads / Bloody Line: Under The Drop of Blood / Chapter 315 - Chapter 315 Not a Faded

Chapter 315 - Chapter 315 Not a Faded

Hari selanjutnya, suasana pagi di kamar Neko terasa sejuk, ditemani cahaya matahari yang menembus tirai jendela. Hwa memasuki kamar dengan langkah kecil yang terdengar pelan di lantai mewah yang bersih mengkilap. Ia melihat ibunya yang sedang merapikan tempat tidur, tangannya bergerak lincah menghaluskan permukaan seprai. Aroma segar deterjen yang masih tertinggal di kain memenuhi ruangan.

Hwa mendekat perlahan, menarik perhatian ibunya dengan sentuhan lembut di bajunya. "Ibu, ayo jalan-jalan bersamaku," ucap Hwa dengan suara penuh antusias, wajahnya sedikit mendongak menatap ibunya yang lebih tinggi.

Neko menoleh, alisnya sedikit terangkat mendengar permintaan itu. "Jalan-jalan? Kenapa tidak bersama ayahmu?" tanyanya sambil melipat selimut dan meletakkannya rapi di tepi tempat tidur.

Hwa menggembungkan pipinya seolah kesal, lalu menjawab dengan nada sedikit manja. "Ayah sedang sibuk bicara di telepon... Ayo, Ibu..." Suaranya terdengar memelas, sementara matanya yang besar menatap penuh harap.

Neko berdiri tegak, menatap putranya dengan ekspresi sedikit ragu. "Jika Ibu pergi, bagaimana dengan adik-adikmu?" tanyanya, suaranya datar namun lembut.

"Ibu~ Ada yang mengurus mereka kok. Ayo, Ibu, cepat... Aku ingin jalan-jalan!" Hwa kini menarik lengan Neko dengan semangat, mengayunkannya pelan seperti anak kecil yang tak sabar.

Neko menatap Hwa sejenak, lalu menghela napas panjang. "Oh, baiklah," ucapnya akhirnya, suaranya terdengar menyerah.

Di jalan, angin sepoi-sepoi menggerakkan daun-daun pohon yang berjajar rapi di sepanjang trotoar. Langit cerah, dihiasi gumpalan awan putih yang bergerak lambat. Hwa dan Neko berjalan berdampingan, tangan mereka saling menggenggam erat. Langkah mereka ringan, meninggalkan jejak kecil di atas permukaan trotoar berdebu.

"Hwa, apa yang kau inginkan?" tanya Neko dengan suara lembut, menoleh pada putranya sambil sesekali melirik ke arah jalan yang sedikit ramai oleh orang-orang berlalu lalang.

"Aku ingin kue apel Ibu," balas Hwa singkat, matanya berbinar penuh harapan.

Namun, langkah mereka tiba-tiba terhenti. Di depan mereka, dua sosok wanita paruh baya berdiri dengan tubuh tegap, mengenakan pakaian formal yang membuat mereka tampak berwibawa. Meski usia mulai tampak dari kerutan halus di wajah mereka, sikap mereka mencerminkan kepercayaan diri.

Tatapan Neko berubah dingin, sementara Hwa terpaku. "Guru... taman kanak-kanak?" ucap Hwa pelan, suaranya bergetar tak percaya.

Raut wajah Neko tak berubah, matanya tetap tajam dan ekspresinya datar, seperti sedang menyembunyikan sesuatu di balik ketenangan itu. Anehnya, kedua wanita itu justru tersenyum ramah.

"Halo, Hwa. Lama tidak bertemu ya, hehe. Dan Ibu Hwa... Kami benar-benar terkesan Anda masih membimbing putra Anda ini," sapa mereka dengan nada sopan, meski ada sedikit nada yang terasa dibuat-buat.

Ekspresi wajah Neko berubah tegas. Dengan nada tajam, ia menanggapi, "Dia putraku. Putraku urusanku. Sebaiknya kalian tutup mulut busuk kalian."

Seketika senyum kedua wanita itu memudar. Salah satunya mengangkat dagu sedikit, mencoba membalas dengan nada sinis. "Putramu dulu sangat nakal. Dia benar-benar tak bisa disebut anak-anak... Kenapa bicaranya terlalu aneh? Apa kau mengajarkan hal-hal dewasa padanya?"

Hwa melangkah mundur setengah langkah, sedikit terkejut mendengar ucapan itu. Neko tetap diam, hanya memelototi mereka dengan tatapan tajam yang mampu membuat siapa pun merasa tidak nyaman.

Angin bertiup pelan, membawa suasana tegang di antara mereka. Tawa kecil dari beberapa anak yang bermain di kejauhan terdengar samar, seolah menjadi kontras dengan atmosfer berat yang kini melingkupi mereka.

---

Itu terjadi saat Hwa masih terlalu kecil. Tepatnya saat Neko berada di rumah, duduk di ruang tamu yang sederhana namun tertata rapi. Langit mulai memerah menandakan sore hari, dan cahaya matahari yang masuk melalui jendela memberikan sentuhan keemasan di lantai. Ia melirik ke jam dinding, menandai waktu yang terasa lambat berlalu. "(Kenapa Hwa belum pulang?)" pikirnya, raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang perlahan tumbuh.

Pintu ruangannya berderit pelan saat Syung Ha, asisten rumah tangga setia keluarga itu, masuk membawa kabar. "Nona Neko, Tuan Kecil dibawa oleh guru-guru di taman kanak-kanak itu ke pesta," ucapnya dengan nada sopan.

Sekilas, raut wajah Neko berubah. Ia meletakkan kain lap pembersih yang ada di tangannya ke atas meja, lalu tiba-tiba melemparkannya ke lantai. "Sialan!! Tanpa seizinku!!" teriaknya lantang, membuat Syung Ha spontan menundukkan kepala, tak berani menatap langsung.

Dengan langkah cepat, Neko meraih tas tangannya dan berjalan keluar rumah. "Ah, Nona Neko..." panggil Syung Ha lirih, nada suaranya penuh kekhawatiran, tapi Neko tak menggubrisnya.

Sesampainya di tempat, tepatnya di apartemen, Neko langsung membuka pintu dengan langkah tergesa-gesa. Udara di dalam ruangan terasa hangat, dipenuhi dengan suara tawa anak-anak dan obrolan ceria para orang tua yang menemani mereka. Pemandangan itu seharusnya menjadi sesuatu yang menyenangkan, tetapi mata Neko sibuk mencari satu wajah kecil yang sangat ia kenal, wajah putranya.

Namun, Neko tidak menemukan Hwa. Kepanikan mulai merayap di dadanya, menciptakan desakan untuk segera bertindak. Telinganya menangkap suara samar dari lorong pintu lain, suara yang memancing rasa curiga dan kecemasan.

Ia melangkah cepat menuju lorong itu. Sepatu haknya bergema di lantai yang licin, menciptakan irama yang tajam di tengah suasana yang semula riuh. Di ujung lorong, terlihat dua wanita, guru taman kanak-kanak, berdiri di depan sebuah pintu. Wajah mereka tampak biasa saja, seolah tidak terjadi apa-apa, tetapi dari balik pintu terdengar suara memohon yang memilukan hati.

"Tolong aku! Tolong keluarkan aku! Aku mohon!" Suara Hwa terdengar lemah sekaligus penuh ketakutan.

Neko menghentikan langkahnya, tubuhnya kaku seketika. Matanya terpaku pada kedua wanita itu yang tetap berdiri dengan tenang. Ada bara di tatapannya, tetapi ia menahan diri. "Buka pintunya," ujarnya dengan nada dingin dan tegas, mencoba menekan amarah yang mendidih di dadanya.

Namun, kedua wanita itu tidak menggubrisnya, tetap diam seolah-olah perintahnya hanyalah angin lalu.

"Buka pintunya, sialan!" Suaranya kini meninggi, tajam, seperti pisau yang menusuk langsung ke rasa bersalah mereka. Salah satu wanita itu, meski enggan, akhirnya membuka pintu dengan gerakan ragu.

Saat pintu terbuka, Neko tak lagi peduli pada norma atau tata krama. Ia mendorong wanita itu dengan keras dan menerobos masuk. Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya redup dari sela-sela jendela kecil. Di sudut ruangan, terlihat sosok kecil yang menggigil ketakutan, dengan mata sembab karena tangis.

"Ibu!" seru Hwa, suaranya pecah saat melihat Neko masuk.

Neko berlutut tanpa ragu, menyamakan tinggi tubuhnya dengan Hwa. Ia segera menarik putranya ke dalam pelukan erat. Kehangatan tubuh kecil itu, yang masih bergetar karena ketakutan, membuat Neko semakin marah sekaligus lega. Ia melirik tajam ke arah dua wanita yang masih berdiri di ambang pintu, wajah mereka datar tanpa rasa bersalah.

"Kenapa, sayang?" tanya Neko dengan lembut, mencoba menenangkan putranya meski hatinya bergemuruh.

"Ibu... Aku terus menggedor pintunya. Aku benar-benar ketakutan, tapi tidak ada yang membukanya," kata Hwa, suaranya bergetar di antara isak tangis.

"Kau ini, anak ini kenapa asal masuk? Pintu itu tidak bisa ditutup. Begitu ditutup, pasti akan terkunci. Kenapa putramu begitu tidak sopan, asal masuk ruangan?" salah satu wanita itu angkat bicara dengan nada sinis, seolah mencoba membela diri.

"Benar. Dia juga tidak mau bermain dengan anak-anak lain. Suka sekali menyendiri... seperti punya penyakit autis saja," tambah yang lain dengan suara yang tak kalah menusuk.

Mendengar itu, Hwa semakin memeluk ibunya. Matanya yang basah menatap Neko penuh harap. "Ibu, aku tidak mau bermain dengan mereka lagi. Aku tidak mau ke taman kanak-kanak lagi," ucapnya dengan lirih.

"Jangan khawatir, Ibu akan membawamu pulang. Ayo," jawab Neko lembut, mengusap kepala Hwa sebelum kembali menggendongnya. Tubuh kecil itu terasa ringan, tetapi beban emosinya berat di hati Neko.

Saat mereka berjalan melewati kedua wanita itu, langkah Neko melambat. Ia berhenti, menurunkan Hwa perlahan, lalu berjongkok untuk menyamai tinggi putranya. "Hwa, tunggulah di sini, ya. Jangan melihat ke sana lagi," ujarnya dengan senyuman lembut, mencoba menenangkan Hwa yang masih tampak ketakutan. Hwa mengangguk pelan, mengikuti perintah ibunya tanpa bertanya.

Neko berdiri dan berjalan kembali ke arah kedua wanita itu. Setiap langkahnya penuh determinasi, seperti seorang pejuang yang siap menghadapi pertempuran. Ia melepaskan jam tangannya dengan gerakan teratur, lalu meletakkannya di rak kecil di dekat pintu. Setelah itu, ia melepas sepatu haknya, meletakkannya dengan hati-hati di samping rak.

"Apa yang mau kau lakukan?!" salah satu wanita itu bertanya dengan nada waspada, tetapi Neko tidak menjawab. Ia hanya menarik lengan wanita itu dengan paksa, menyeretnya masuk ke dalam ruangan. Tak hanya satu, tetapi kedua wanita itu kini berada di dalam ruangan bersama Neko.

Pintu tertutup, dan dari dalam terdengar suara gaduh. Suara jeritan bercampur dengan suara benda yang terbanting. "Akh! Apa yang kau lakukan?! Lepaskan! Kenapa kau memukulku!?"

"Sakit, sialan! Akh!"

Tak lama kemudian, pintu terbuka kembali. Neko keluar dengan langkah tenang, meskipun rambutnya sedikit berantakan dan napasnya terdengar berat. Ia mengambil jam tangannya, memakainya kembali, lalu mengenakan sepatu haknya dengan perlahan, seperti seseorang yang baru selesai dari sebuah ritual.

Di dalam ruangan, kedua wanita itu terkapar, wajah mereka babak belur, dengan darah mengalir dari hidung. "Aku akan lapor polisi... Biarkan aku lapor polisi... Aku mau kau keluar dari taman kanak-kanak ini beserta putramu yang nakal itu!" teriak salah satu dari mereka dengan suara serak.

Neko duduk di kursi depan ruangan itu sambil menyesuaikan tali sepatunya. "Aku yang akan lapor polisi. Kalian membawa putraku ke sini tanpa izin. Itu namanya penculikan. Dan yang harus keluar dari taman kanak-kanak ini adalah kalian," katanya dengan nada dingin.

"Atas dasar apa?" tatap wanita itu, meskipun wajahnya benar-benar sudah kelihatan berantakan.

"Jika tidak, aku akan menyebarkan semua hal jelekmu, seperti menerima potongan harga korupsi di dalam grup," kata Neko. Seketika, wanita-wanita itu terdiam, tak bisa berkata-kata.

Lalu Neko berjalan ke Hwa, yang masih menunggu. "Ayo, Hwa, kita pulang. Ibu akan mencarikanmu taman kanak-kanak yang lebih baik," kata Neko. Lalu Hwa mengangguk dan menggandeng tangan Neko. Mereka berjalan keluar dari sana bersama. Semua anak-anak yang ada di sana hanya bisa terdiam melihat suasana tadi.

"Ibu... aku tidak nakal... Percayalah padaku, Ibu. Aku hanya ingin berbicara dengan orang yang memiliki jiwa dewasa... Apa aku aneh?" kata Hwa kepada Neko saat mereka berjalan pulang.

Lalu Neko berhenti berjalan, berlutut, dan menatap putranya. "Sayang, kau tidak nakal. Kau dewasa, dan Ibu sangat menyukai itu. Jadi, jangan anggap dirimu gagal. Kau sempurna. Ibu tidak akan marah," kata Neko, lalu memeluk Hwa.