Sementara itu, Hwa berjalan masuk ke rumah dengan langkah pelan, suasana rumah yang tenang dan sunyi membuat langkahnya terdengar jelas di ruang tengah. Dengan suara pelan, ia berkata, "Aku pulang." Udara dingin malam yang masih terasa di luar membuai langkahnya. Ia melepaskan sepatu di dekat pintu, lalu melangkah lebih jauh ke dalam rumah, merasakan kelembutan karpet di bawah kakinya. Ruangan yang hening, hanya terdengar detak jam dinding yang menandakan waktu yang terus berjalan.
Hwa masuk dan melihat Felix sedang berbincang dengan dokter di kamar kedua adiknya, suara percakapan mereka terdengar samar-samar. Ia tak mau mengganggu, jadi ia memilih untuk melewati ruangan itu dengan hati-hati. Namun, saat ia hendak melangkah lebih jauh, dokter itu yang sedang berdiri di dekat pintu melihatnya dan langsung memanggilnya dengan suara lembut, "Tuan Hwa."
Hwa berbalik dengan pelan, merasakan ketegangan yang tiba-tiba muncul dalam suasana yang begitu tenang. Ia melangkah menuju ruang itu dengan ragu, meski suara dokter tadi terdengar tidak mengintimidasi. "Ya?" jawabnya, suaranya sedikit menggema di ruangan yang sepi.
"Bisa tolong kemari sebentar?" kata dokter itu dengan nada ramah namun tegas. Lalu Hwa berjalan mendekat, merasakan udara dingin yang datang dari jendela yang terbuka sedikit.
"Izinkan aku mengecek kondisi lukamu," tambah dokter itu. Hwa terdiam sejenak, matanya menatap Felix yang berdiri di dekatnya dengan ekspresi wajah yang tenang, namun ada sesuatu yang tidak bisa ia ungkapkan. Dalam heningnya ruang itu, Hwa merasa ada ketegangan yang sulit dijelaskan. Ia melepas kancing bajunya satu per satu dengan gerakan yang lambat, terasa berat seperti ada yang menahan dirinya untuk melakukannya.
Dokter itu segera mulai memeriksa bekas luka jahitan yang ada di tubuh Hwa. Ketika jari dokter itu menekan dengan perlahan, Hwa tanpa sadar mengubah ekspresinya. Rasa sakit itu datang kembali, tapi lebih dari itu, ada ketakutan yang merayap dalam dirinya—kenangan yang terasa seperti mimpi buruk.
"Apa ini sakit?" tanya dokter itu, matanya menilai reaksi Hwa.
"Tidak, itu tidak sakit," jawab Hwa dengan suara datar, namun ia tak bisa mengabaikan perasaan lain yang muncul, "Hanya saja saat aku mengingatnya kembali, aku agak merasa takut." Suasana ruangan menjadi semakin hening, seolah-olah kata-kata Hwa menggantung di udara, bercampur dengan keheningan yang mencekam.
Lalu dokter itu berdiri dan menatap Felix dengan pandangan yang serius. "Lukanya baik, tapi kondisi memorinya akan buruk, Tuan Felix," kata dokter itu dengan nada yang berat, mengisyaratkan bahwa masalah Hwa lebih dalam daripada yang terlihat. Felix hanya terdiam, matanya tak bisa menatap ke arah putranya itu. Semua yang terjadi begitu mendalam, seolah setiap kata membawa beban yang sulit diungkapkan.
"Kalau begitu, aku pergi. Terima kasih untuk harinya," kata dokter itu, lalu ia melangkah pergi, meninggalkan keheningan yang semakin menebal di ruang itu.
Setelah dokter itu pergi, suasana kembali sunyi. Hwa menatap Felix dengan mata yang penuh pertanyaan. "Ayah, apa yang dimaksud dokter itu? Apa aku baik-baik saja?" tanya Hwa dengan nada yang penuh kecemasan. Dalam cahaya lampu yang redup, wajah Felix terlihat lebih tua, lebih lelah daripada biasanya.
Felix menghela napas, lalu meletakkan tangan di kepala Hwa dengan lembut. "Kau baik-baik saja, kau bahkan akan baik-baik saja selamanya," jawabnya dengan suara yang menenangkan, namun di balik kata-katanya ada kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan. "Hwa, bisa ikut sebentar?" tanya Felix lagi, matanya memandangi Hwa dengan serius, seolah ada sesuatu yang ingin ia sampaikan.
Hwa mengangguk dengan lembut, mengikuti Felix yang berjalan menuju ruangan kantor Felix. Udara di dalam ruangan itu terasa lebih sejuk, dengan meja kayu yang penuh dengan kertas-kertas penting. Felix membuka laci di mejanya dan mengambil selembar kertas kecil, memberikannya pada Hwa dengan gerakan hati-hati. Hwa menerima kertas itu dengan bingung, matanya meneliti tulisan yang tertera di sana, sebuah alamat yang tidak dikenalnya.
"Ayah, ini...?" tanya Hwa, suaranya sedikit bergetar karena kebingungannya.
Felix menatapnya dengan tatapan yang dalam, seolah ingin memastikan Hwa memahami apa yang akan dikatakannya. "Hwa, dengarkan. Jika kau benar benar ingin masuk ke dalam militer, kau harus berlatih, mempertahankan kondisi kekuatan tubuhmu.... Alamat itu akan menuntun mu pada orang yang tahu...." kata Felix, setiap kata-katanya penuh dengan makna yang tersembunyi. Hwa terdiam, menatap tulisan itu dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Sebuah alamat yang seakan menjadi kunci bagi sesuatu yang belum ia pahami.
"Sebelumnya, ayah, aku ingin bertanya soal militer. Siapa yang paling atas tingkatan dalam militer?" tanya Hwa dengan rasa penasaran yang tak bisa dibendung. Ia merasa ada sesuatu yang lebih besar dari apa yang ia ketahui.
Felix terdiam sejenak, merenung sebelum akhirnya memberikan penjelasan. "Di tingkatan ini, ketua lah yang paling berkuasa dalam aliansi maupun markas besar dalam militer. Dialah yang mengurus semua keperluan dan tanggung jawab dalam militer. Lalu ada komandan, dia yang mengatur anggota dan yang lainnya. Kita bisa menjadi komandan jika kita bisa mengerjakan tanggung jawabnya," jelas Felix, suaranya penuh dengan kepercayaan diri, namun juga ada kesan berat di baliknya.
"Apa menjadi komandan itu hal yang sulit?" tanya Hwa dengan tatapan bingung, berusaha memahami apa yang dimaksud ayahnya.
"Itu akan sulit karena kemampuan komandan itu lebih besar daripada para anggota," jawab Felix dengan tenang. "Tapi itu bukan hal yang tak mungkin. Jika kau memiliki kemampuan dan keteguhan hati, segalanya akan mungkin."
"Sangat menakutkan, tapi jika menjadi ketua, apa kau akan diakui semua orang?" tanya Hwa, mencoba membayangkan diri mereka dalam posisi itu. Felix tersenyum kecil, namun senyumnya itu mengandung banyak arti, penuh dengan kebijaksanaan yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang benar-benar mengenal dunia ini.
"Tentu saja, Ketua itu sangat besar pangkatnya," jawab Felix dengan percaya diri, suaranya terdengar lebih ringan, meskipun tetap menyimpan kedalaman.
Lalu Hwa terdiam, tenggelam dalam pikirannya. Suasana di sekitar mereka semakin hening, hanya ada suara detak jam dinding yang terus berlanjut. Hwa merenung dalam hati, "(Jika aku menjadi orang besar ataupun jabatan besar, apa aku bisa melupakan hal yang aku takutkan?)" pikirnya, namun pertanyaan itu tetap menggantung tanpa jawaban yang pasti.
"Tunggulah sampai kondisimu sembuh, belajar lah terlebih dahulu di sekolah. Ketika kau sudah siap, kau hanya perlu tinggal bilang pada Ibumu..."
"Kenapa harus? Apakah Ibu masih tidak setuju?" tatap Hwa dengan polos.
"Seperti yang kau lihat... Dia masih terlalu khawatir padamu.... Hiburlah dia agar dia bisa tenang saat kau meraih apa yang kau inginkan untuk masa depan keluarga juga dirimu sendiri...." kata Felix. Lalu Hwa tersenyum dan mengangguk penuh tekad.
Malam itu, Felix duduk di tepi ranjang, tubuhnya telanjang dada, dan udara malam yang sejuk menyentuh kulitnya. Cahaya lampu di kamar yang redup memantulkan bayangan samar di dinding. Ia bersandar sedikit ke belakang, tatapan matanya terarah ke pintu kamar yang masih terbuka, pikirannya penuh dengan pertanyaan yang tak terjawab. Ia terlihat seperti menunggu sesuatu—atau seseorang. Nafasnya teratur, meskipun sesekali ia menarik napas panjang, seakan berusaha menenangkan kegelisahan yang tak kasatmata. "(Kenapa ia lama? Apakah Hwa tidak bisa tidur?)" pikirnya, memandang ke arah jendela di mana tirai bergoyang lembut oleh angin malam.
Waktu berlalu perlahan, dan rasa penasaran mulai tumbuh dalam pikirannya. Neko, yang seharusnya kembali ke kamar ini, masih belum menunjukkan tanda-tanda akan datang. Felix menghela napas pelan sebelum akhirnya berdiri, tubuhnya yang tegap bergerak tanpa suara menuju pintu. Kakinya menyentuh lantai yang dingin, langkah-langkahnya mantap namun ringan. Ia menuju kamar Hwa, rasa khawatir yang samar membuat langkahnya sedikit lebih cepat dari biasanya.
Ketika ia tiba di depan pintu kamar Hwa, Felix menghentikan langkahnya sejenak. Ia mendengarkan dengan seksama, berharap mendengar suara kecil atau tanda-tanda aktivitas di dalam. Namun, yang terdengar hanyalah suara napas yang pelan, hampir tak terdengar. Dengan lembut, ia membuka pintu, dan di saat itu juga ia terdiam. Matanya tertuju pada pemandangan di dalam: Neko, tertidur pulas di samping Hwa, tubuhnya yang mungil terlihat nyaman di sisi putranya.
Felix mendekat dengan hati-hati, langkahnya nyaris tanpa suara, takut membangunkan mereka. Ia menatap keduanya dengan tatapan lembut namun penuh arti. Sesaat, ia hanya berdiri di sana, memandang putranya yang terlelap. Wajah Hwa terlihat tenang, seolah beban-beban yang biasa mengintainya lenyap dalam tidur. Rambutnya yang sedikit berantakan menutupi sebagian wajahnya, dan selimut yang melorot hampir menyentuh lantai. Felix membungkuk, menarik selimut itu kembali hingga menutupi bahu Hwa, memastikan ia tetap hangat.
Setelah memastikan Hwa tertidur dengan nyaman, Felix mengalihkan perhatiannya pada Neko. Ia membungkuk lagi, menggendong tubuh Neko dengan lembut ke dadanya. Neko tampak tertidur begitu pulas, napasnya teratur, dan wajahnya memancarkan kedamaian. Felix merasakan kehangatan tubuh itu di dadanya saat ia melangkah pelan keluar dari kamar Hwa, menutup pintu dengan hati-hati.
Ketika sampai di kamarnya, Felix meletakkan Neko di atas ranjang dengan perlahan. Namun, seiring tubuhnya menyentuh kasur, Neko membuka matanya sedikit, pupil matanya memantulkan kilauan cahaya lampu yang redup. Ia menatap Felix yang sedang bersiap untuk berbaring di sampingnya. Ada keheningan sejenak sebelum Neko membuka suara.
"Apa kau berpikir, Hwa bisa menjadi apa yang dia mau?" tanyanya dengan nada pelan namun penuh makna. Suaranya mengalir seperti bisikan yang menghantam ketenangan malam itu.
Felix terdiam sebentar, matanya memandang lurus ke langit-langit kamar. Ia menarik napas panjang sebelum menjawab, "Mau bagaimana lagi. Hwa adalah putra kita. Kita telah membesarkannya seperti dunia orang yang sangat menjaga baik namanya. Hwa akan tumbuh dengan kesopanan tinggi, dan yang menjadi kekhawatiranku..." ia berhenti sebentar, mengumpulkan kata-kata yang tepat, "...dia tak bisa bertarung dan hanya bisa bermain mulut."
Neko mengerutkan alisnya, sedikit tidak puas dengan jawaban Felix. "Apa maksudmu?" tanyanya, suaranya sedikit lebih tajam.
Felix menoleh ke arah Neko, matanya yang tajam kini terlihat lebih lembut, tapi tetap ada ketegasan dalam suaranya. "Hwa akan lebih banyak menggunakan kata-kata yang menjatuhkan lawannya. Dengan kata lain... dia akan menjadi lebih kejam dari kita," balasnya, setiap kata mengandung peringatan yang samar.
Mendengar itu, Neko langsung duduk tegak, tubuhnya menatap Felix dengan tatapan penuh ketidakpercayaan. "Apa?! Tapi dia bersikap sangat baik dan tak menunjukkan hal buruk. Aku telah mengajarkannya untuk tersenyum sepanjang masa," protesnya. Suaranya yang lembut kini terdengar lebih emosional, seolah tak terima dengan gambaran yang disampaikan Felix.
Felix menghela napas panjang, ekspresinya tidak berubah. "Ya, tapi bagaimana jika senyumnya digunakan untuk menutupi keburukannya?" katanya. Nada suaranya tak mengandung cela, hanya kebenaran yang ia yakini.
Seketika, ruangan itu dipenuhi keheningan yang lebih dalam. Neko terdiam, seolah tak bisa berkata-kata lagi. Ia menunduk sedikit, matanya memandang seprai tempat tidurnya, sementara pikirannya dipenuhi oleh bayangan yang tak ingin ia percaya.
"Amai, dia memiliki kehidupan sendiri, jadi jangan terlalu banyak berpikir..."