Chereads / Drop Blood: Amai Akai / Chapter 313 - Chapter 313 Not a Faded

Chapter 313 - Chapter 313 Not a Faded

Sesampainya di rumah, Felix melepas sepatunya dan menghela napas panjang. Hari itu terasa melelahkan, tetapi melihat rumah yang hangat dan tenang memberikan rasa nyaman yang sulit dijelaskan. Dari ruang tamu, ia bisa mencium aroma teh hangat yang mungkin baru saja diseduh, bercampur dengan keheningan yang menyelimuti. Matanya menangkap bayangan Neko di meja dapur.

Neko tampak duduk dengan tenang, tetapi ada keasyikan yang jelas terpancar darinya. Ia menatap layar ponsel dengan intens, alisnya sedikit mengernyit, dan jemarinya kadang bergerak, mungkin menggulir layar. Felix mendekat tanpa suara dan duduk di seberangnya. Namun, Neko terlalu tenggelam dalam dunianya untuk menyadari kehadiran Felix.

Felix tersenyum kecil, merasa geli melihat Neko yang begitu fokus. Ia membuka bungkus camilan stik manis yang ia bawa tadi. Dengan hati-hati, ia menodongkan stik itu ke mulut Neko, sengaja melakukannya perlahan seperti memberi makan hewan peliharaan yang jinak.

Tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya, Neko membuka mulut dan menggigit stik tersebut. Cara makannya sedikit berbeda dari yang Felix bayangkan. Bukannya pelan seperti kelinci, Neko melahapnya dengan cepat, bahkan stik itu hampir tidak sempat tetap berada di tangan Felix. Felix terdiam sejenak, sedikit terkejut, tetapi senyuman lembut tetap menghiasi wajahnya. Ada sesuatu yang menyenangkan dari interaksi sederhana ini.

Ia mengambil stik lain dan kembali menodongkannya ke arah Neko. Namun, kali ini, Neko tersadar. Ia menengadah dan mendapati Felix tengah duduk di depannya. Matanya membulat, dan ia tampak terkejut.

"Sejak kapan?" tanyanya, suaranya sedikit meninggi karena rasa tak percaya.

"Dari tadi. Kau tampak terkejut karena terus saja menatap ponselmu itu," jawab Felix santai, dengan nada menggoda.

Neko mengerutkan alis, lalu memalingkan wajah. "Aku hanya menunggumu sambil menatap ponsel. Apa itu salah untuk dilakukan?"

"Tidak, selama kau tidak sampai lalai pada sekitarmu seperti tadi. Itu sudah dianggap salah," balas Felix, sambil memiringkan kepala sedikit seperti tengah memberi peringatan ringan.

Neko hanya bisa menghela napas panjang dan melipat tangannya. "Haiz, terserah," ujarnya cuek. Ia kembali menatap ponselnya, kali ini dengan sedikit kesal.

Namun, suasana berubah ketika sebuah video tiba-tiba muncul di layar ponselnya. Neko membeku. Video tersebut memperlihatkan permainan Pocky Kiss. Ia merasakan wajahnya memanas, pipinya berubah merah padam. Tanpa sadar, ia melirik Felix yang tengah menikmati stik pocky-nya sendiri. Felix duduk bersandar, pandangannya mengarah ke dinding, tetapi dari sudut matanya, ia sempat melirik Neko yang terlihat aneh.

"Kau mau?" tanya Felix dengan nada santai, seolah tak menyadari kecanggungan yang meliputi ruangan. "Kupikir permainan tadi sudah selesai."

Neko mengerutkan kening, berusaha memulihkan dirinya. "Permainan apa?"

"Aku menyuapimu tadi," jawab Felix sambil mengangkat bahu.

"Oh... (Kupikir yang di ponsel,)" gumam Neko dengan suara kecil. Ia menarik napas lega, tetapi kegelisahan kembali menghampirinya ketika Felix melirik layar ponselnya.

"Apa yang kau lihat?!" seru Neko panik. Dengan cepat, ia menutup ponselnya, menyembunyikan layar itu dari pandangan Felix.

Felix tertawa kecil, merasa situasi ini cukup menghibur. "Haha, aku tahu kenapa tadi kau menatapku dengan terkejut. Kau ingin bermain Pocky Kis—"

"Ahhh! Aku tidak mau! Pergilah dari hadapanku!" teriak Neko, memotong ucapan Felix. Ia berdiri dengan cepat, wajahnya masih memerah, lalu pergi meninggalkan meja dapur. Felix hanya terdiam, menatap kotak pocky di tangannya sambil tersenyum kecil.

Ketenangan itu tak berlangsung lama. Suara bel pintu mendadak memecah suasana. Felix menoleh, alisnya sedikit terangkat. Ia meletakkan kotak pocky, berdiri, dan berjalan menuju pintu.

Ketika pintu terbuka, seorang pria berdiri di sana. Ia mengenakan jas dokter rapi dengan ekspresi yang ramah tetapi sedikit serius. "Selamat siang, Tuan Felix," sapanya dengan nada sopan.

Felix terdiam, kebingungan meliputinya. "(Aku tidak memanggil dokter? Apa Amai yang melakukannya?)" pikirnya, mencoba mencari penjelasan.

"Tuan Felix?" Dokter itu menatapnya, sedikit bingung dengan sikap Felix yang terdiam terlalu lama.

"...Ada perlu apa?" tanya Felix akhirnya, suaranya terdengar ragu.

"Aku kemari ingin memeriksa kedua bayi Anda, kondisi Nona Neko, dan putra pertama Anda," jawab dokter itu dengan tenang.

"Apa?" Felix masih tidak mengerti.

"Sebenarnya aku tak sempat memberitahu Anda di ponsel, aku hanya ingin melihat kondisi kedua bayi Anda," jawab dokter dengan nada lembut, seolah tahu betul bahwa situasi ini cukup berat bagi pasangan muda itu.

Felix menatap dokter dengan ragu, lalu diam sejenak, berpikir tentang apa yang akan terjadi. Neko yang sejak tadi berdiri di samping Felix, merasakan kegelisahan suaminya. Ia menggenggam tangan Felix lebih erat, memberi sedikit kenyamanan meskipun hatinya juga penuh tanda tanya.

Felix awalnya terdiam, seolah mencerna kalimat dokter itu, lalu matanya teralihkan ketika Neko datang menghampiri mereka. "Ada apa?" dia muncul di belakang Felix.

"Ah, Nona Neko, bagaimana kondisi Anda?" tanya dokter itu, merasakan aura kecemasan di sekitar pasangan tersebut.

"Aku baik-baik saja, kenapa kemari?" jawab Neko, dengan suara yang terkesan mencoba menyembunyikan kekhawatiran yang menggelayuti hatinya. Di balik senyuman tipis yang muncul, ada ribuan pertanyaan yang berputar di kepalanya.

"Aku ingin melihat kondisi kedua bayi Anda," jawab dokter dengan tulus, seolah tidak ingin membuat mereka semakin cemas.

"Oh, baiklah, masuklah... Mereka ada di kamar," kata Neko, memberi jalan kepada dokter yang kini hendak memasuki ruangan. Dengan gerakan lembut, ia memimpin dokter itu ke arah pintu kamar bayi, sementara Felix mengikuti di belakang mereka dengan langkah yang sedikit ragu.

"Terima kasih," ucap dokter itu sambil melangkah masuk. Neko hanya tersenyum tipis, meski perasaan cemasnya semakin menggelayuti dirinya.

Saat Neko hendak masuk ke dalam kamar, Felix menarik bahunya untuk mendekat sebentar. Matanya yang penuh pertanyaan menatap dalam ke mata Neko. "Apa bayi kita sakit?" tanya Felix dengan nada yang sangat pelan, seolah takut suara hatinya bisa terdengar lebih keras daripada yang ia ucapkan.

"Tidak, dia dokter, percayalah saja pada dia..."

"Tapi, bukankah sudah ada Kikiyo? Kau pikir aku membayar Kikiyo untuk apa disini?"

"Hei, sudut pandang dokter itu berbeda.... Oh, jika kau ada waktu, jadilah ayah yang menjaga mereka. Aku harus ke dapur," kata Neko, berusaha menenangkan Felix, meskipun hatinya sendiri berdebar. Ia merasa cemas, tapi mencoba tetap tenang agar Felix bisa sedikit merasa lebih nyaman.

"Apa? Tunggu, kita dengarkan sama-sama apa yang dikatakannya," ujar Felix, mencoba mempertahankan keberanian yang semakin surut. Namun, Neko tetap teguh dengan pendiriannya.

"Tidak bisa, aku akan membuat makan siang. Hwa sebentar lagi akan pulang," balas Neko dengan tegas, meskipun nada suaranya terdengar penuh keraguan. Ia tetap melangkah menuju dapur, membiarkan Felix berada di kamar bayi bersama dokter itu. Hujan di luar semakin deras, seolah ikut menyampaikan kegelisahan yang mereka rasakan.

Felix berdiri beberapa detik di tempatnya, melihat punggung Neko yang semakin menjauh, lalu kembali menatap kamar bayi yang sekarang tampak penuh dengan keheningan. Moodnya mulai turun, terombang-ambing antara perasaan cemas dan tak berdaya. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu berjalan pelan menuju dokter yang sedang memeriksa kedua bayi itu.

Di dalam kamar bayi, suasana terasa hangat, meskipun hujan di luar memberi kontras yang cukup tajam. Ranjang bayi itu terletak di sudut ruangan, dengan tirai yang perlahan bergerak ditiup angin, memberi sedikit kesegaran pada udara yang agak pengap. Kedua bayi itu, meskipun terpisah di ranjang yang berbeda, tampak begitu tenang. Tubuh mereka bergerak-gerak perlahan, seperti merespons aliran udara di sekitar mereka.

Dokter memeriksa satu per satu, dengan hati-hati, seolah takut mengganggu kenyamanan mereka. Ia menurunkan stetoskopnya dan menatap Felix yang berdiri di dekat pintu. "Tuan Felix, sudah aku duga dari awal soal hal ini," kata dokter itu dengan suara yang rendah namun tegas.

"Apa yang terjadi?" tanya Felix, wajahnya menunjukkan ketegasan dan kekhawatiran yang mendalam. Ia memerhatikan setiap gerakan dokter, menunggu penjelasan lebih lanjut.

"Kedua bayi Anda adalah bayi kembar, dan yang paling tertua adalah yang lelaki, tapi hanya beda waktu beberapa detik saja. Keunikan lainnya adalah mereka bisa merasakan apa yang dirasakan oleh salah satu dari saudara mereka," jelas dokter itu dengan hati-hati, seolah menjelaskan sesuatu yang tidak biasa.

"Apa maksudnya?" tanya Felix, suaranya sedikit bergetar. Ia merasa ada sesuatu yang lebih dalam tentang kondisi kedua bayi mereka.

"Baiklah, aku akan memberikan contoh. Sebelumnya maaf jika aku membuat mereka sakit," kata dokter itu, sambil menatap penuh perhatian pada bayi perempuan yang terlelap di ranjangnya. Ia dengan hati-hati mencubit pipi bayi itu, dan seketika bayi perempuan tersebut terbangun dan mulai menangis. Felix melihat dengan terkejut, tapi tidak lama kemudian, bayi laki-laki yang ada di ranjang sebelah juga mulai menangis, seolah merasakan apa yang dirasakan oleh saudarinya.

Felix terdiam sejenak, menatap kedua bayi itu dengan mata tak percaya. Keheningan itu terasa sangat dalam, hanya suara tangisan bayi yang memenuhi ruang kamar.

"Anda sudah mengerti. Jika salah satu dari mereka terluka, maka satunya lagi akan merasakan luka yang sama. Jiwa bayi kembar memang sangat terhubung. Jadi, mungkin kelak, bayi laki-laki akan terus melindungi bayi perempuan ini," kata dokter itu, suaranya penuh empati, meskipun ia tahu bahwa ini adalah kabar yang berat bagi orang tua mana pun.

Felix hanya bisa terdiam, merenungkan kata-kata dokter itu. Pikirannya penuh dengan berbagai macam pertanyaan, namun satu hal yang jelas, perasaan sayangnya terhadap kedua bayi itu semakin mendalam. Ia tahu, meskipun ada banyak tantangan di depan, mereka akan selalu saling melindungi, seperti yang diungkapkan dokter.

"Apa itu, benar benar tidak bisa terputus?" Felix menatap.

"Kebanyakan bayi kembar mengalami hal seperti ini. Mereka saling terhubung, tapi jangan khawatir. Jika salah satu di antaranya mati, satunya lagi tidak akan ikut mati, hanya saja dia akan merasakan kesepian..." kata Dokter itu.

Tapi mendengar itu membuat Felix menatap tajam. "Mereka tidak akan mati.... Kecuali kehidupan setelah kematian... (Aku sudah pastikan tidak akan ada yang mati....)" dia tampak menatap serius pada tekadnya menjadi seorang ayah.