Ia kemudian meletakkan kepalanya di dada Felix, mendengarkan detak jantungnya yang sangat pelan. Udara malam itu terasa hening, hanya suara samar detak jam dinding yang mengisi keheningan di kamar mereka. Jendela di sudut ruangan sedikit terbuka, membiarkan angin lembut masuk dan mengibarkan tirai tipis yang hampir menyentuh lantai.
Di saat itu, pikirannya melayang ke masa lalu, ketika Matthew memberitahunya bahwa jantung nya selalu berdegup kencang saat melihatnya. Kenangan itu terasa begitu nyata, seperti baru kemarin ia mendengarnya. Perasaan hangat perlahan merayap di hatinya, seolah membasuh setiap luka dan kekosongan yang pernah ia rasakan.
"Aku ingin tahu, apakah saat kau bertemu denganku, jantungmu akan berdegup kencang?" tanya Neko tiba-tiba, suaranya nyaris berbisik. Ia tidak menatap wajah Felix, matanya tertuju pada dada tempat ia bersandar. Ia merasa nyaman, seperti menemukan tempat yang selama ini ia cari.
Felix terdiam. Tatapannya mengarah ke langit-langit kamar yang berwarna putih gelap karena ruangan tanpa lampu, pikirannya terlihat jauh, seakan mencari sesuatu di antara bayangan lampu yang tergantung di sana.
"Kenapa kau bertanya itu?" balas Felix akhirnya, dengan suara pelan dan hati-hati. Suaranya sedikit serak, seperti mencoba menyembunyikan sesuatu di balik nada tenangnya.
"...Aku hanya... penasaran. Dan sebaiknya kau menjawabnya dengan jujur," jawab Neko, masih dengan nada lirih. Jemarinya tanpa sadar bermain di ujung bajunya sendiri, menggambarkan rasa gugup yang ia sembunyikan.
"Tidak bisa dikatakan begitu. Aku cukup santai dan tenang... Hanya saja, ketika aku bertemu denganmu dan ketika aku membunuh orang terdekatmu saat itu, aku melihat sesuatu yang sangat baik untuk masa depanku. Aku bersikap seperti ini karena aku merasa tak peduli dengan mereka. Ayahku membuatku menekan semua perasaan yang tercampur aduk." Felix berbicara dengan mata yang tetap memandang ke atas, seakan tidak ingin melihat reaksinya sendiri di mata Neko.
"Itu penyakit mentalmu. Aku tahu perlakuanmu dengan orang tuamu sangat buruk, apalagi mereka denganmu. Dan sebelum bertemu denganku, apa kau tertarik melihat seseorang dari dalam?"
"Tidak, karena itulah aku melihatmu, seorang gadis yang manis... Dianggap tidak berguna oleh keluargamu. Kau ingat saat ibumu mengatakan langsung di depanmu bahwa kau akan dijual? Saat itu, ayahku ingin menjadikanmu sebagai orang yang harus aku jaga. Ayahku selalu bilang sebelum aku melihatmu, 'Seorang gadis manis pasti akan membuatmu belajar cara menjadi seseorang yang bisa dianggap pahlawan untuknya. Cara membunuhmu salah, cara kehidupanmu salah. Ketika gadis itu melihat semua kesalahanmu, dia akan langsung mengutarakan nasihatnya dengan marah maupun kesal. Itu adalah ujian yang harus kau terima.'"
"Apa itu ayahmu yang bilang? Bukankah kau bilang orang tuamu sangatlah keji? Tapi dia masih berkata baik pada putranya?"
"Mereka memiliki sifat yang berbeda-beda, tergantung mood mereka. Kau lebih tidak beruntung, karena aku meninggalkanmu saat aku membunuh orang tuamu. Jika mengingat itu lagi, rasanya aku ingin meminta maaf padamu berkali-kali," kata Felix. Kata-katanya menggantung di udara, membiarkan keheningan yang canggung menyelimuti ruangan. Neko yang mendengar itu menjadi terdiam, pikirannya seperti tenggelam dalam lautan emosi yang sulit diuraikan.
Neko menjadi mengerti sesuatu lagi. Dia tampak terdiam dan menghela napas panjang. "(Aku sudah sejauh ini, membangun hubungan dengan nya, tapi kenapa.... Rasanya setiap kali hal ini terjadi, ada sesuatu yang janggal, layaknya kehidupan kembali berbeda...)" Neko tampak khawatir.
Tapi Felix memanggil nama nya. "Amai..." Membuat Neko menatap.
"Aku sudah bilang padamu, jangan terlalu banyak memikirkan sesuatu yang tidak berguna. Kau sudah sejauh ini berjuang untuk sebuah kehidupan baru dan aku masih berusaha untuk tetap melindungi mu.... Ini baik baik saja, kau hanya perlu tenang...." kata Felix. Suaranya terdengar serius tapi setiap kata yang dia ucapkan, Neko bisa mendengarnya dengan tenang.
Hari selanjutnya, di pagi hari tepatnya, Neko terdiam menatap Felix di depannya. Mereka duduk di meja sebuah restoran yang dihiasi lampu-lampu gantung kecil. Ruangan itu dipenuhi oleh suara gelak tawa dan percakapan para pasangan lain yang memenuhi meja-meja sekitarnya.
Felix dari tadi hanya tersenyum melihatnya, sementara Neko merasa tidak enak. Ia sesekali menggigit bibir bawahnya, mencoba menyembunyikan rasa canggung yang mulai membuncah.
"E... Ehem, kau membawa kita ke mana?" tanya Neko.
"Ini hanya restoran biasa. Hanya saja semua pasangan begitu menutupi pandangan. Atau kita pindah saja?" tanya Felix, suaranya tenang, namun tatapan matanya memancarkan keinginan untuk membuat Neko nyaman.
"Tidak perlu. Kita juga sudah memesan," balas Neko. Ia meraih gelas berisi air putih dan meneguknya pelan, berusaha menenangkan diri. Lalu mereka mulai memakan apa yang mereka pesan.
"Sayang... ahh..." tiba tiba ada suara tabu.
Felix mendengar seseorang di samping mejanya sambil minum tehnya. Ia menoleh perlahan dan melihat seorang perempuan menyuapi pacar laki-lakinya. Mereka berdua sangat mesra, senyum mereka seolah memenuhi ruangan dengan kehangatan yang manis.
"Kurasa itu terlalu umum untuk dilakukan," kata Felix sambil menoleh ke Neko yang ada di depannya. Tapi ia terdiam karena Neko sudah dari tadi akan menyuapinya. Ketika mendengar gumaman Felix tadi, Neko melunturkan senyumnya. "...Aku... akan makan sendiri saja," katanya, lalu memakan hal yang harusnya disuapkan ke Felix.
"Tidak, aku bisa... Aku sungguh bisa. Aku bahkan menciummu di depan mum. Aku tidak takut apa pun. Suapi aku... a," kata Felix sambil membuka mulut. Wajahnya yang biasanya dingin kini sedikit melunak, meski hanya sejenak.
"Kau yakin? Bukankah kau bilang itu tadi? Jadi mungkin ini adalah hal yang kurang dewasa kan," Neko menatap ragu.
"Tidak, tidak.... Aku salah bilang...." Felix menggeleng cepat, dia tak sabar memakan suapan Neko.
Lalu Neko tersenyum kecil dan menyuapinya.
"(Aku tidak akan mengkritik pasangan lagi,)" pikir Felix sambil mengunyah dengan perlahan.
"Kau ingin ke suatu tempat lagi?" tanya Felix, suaranya lembut, namun tatapan matanya penuh dengan kehangatan, mencoba membaca pikiran Neko.
Neko terdiam sambil berpikir. Ia menundukkan kepala sedikit, jemarinya mengetuk-ketuk permukaan meja. Keheningan terasa menggantung di antara mereka, hingga ponsel Felix tiba-tiba berbunyi, memecah suasana. Nada deringnya yang monoton terasa asing di tengah restoran yang dipenuhi percakapan hangat dari pasangan lain.
Felix meraih ponselnya dengan cepat, melirik layar sejenak sebelum menjawab panggilan itu. Wajahnya yang tadinya penuh perhatian pada Neko berubah serius, rahangnya mengencang, dan alisnya sedikit berkerut saat mendengar suara dari ujung telepon.
"...," ia menutup ponselnya setelah beberapa detik. Ia menghela napas panjang, membuang pandangannya ke luar jendela restoran sejenak, seolah mencari jawaban di sana.
"Ada apa?" tanya Neko, suaranya pelan namun penuh rasa ingin tahu. Ia tahu, setiap panggilan yang diterima Felix biasanya berkaitan dengan hal penting—dan sering kali, hal itu adalah pekerjaan.
"Aku harus kembali ke perusahaan," jawab Felix, nadanya datar, nyaris tanpa emosi.
"Pergilah, tak apa," balas Neko sambil tersenyum kecil, meski ada rasa kecewa yang jelas terpancar di matanya.
"Itu tidak bisa terjadi. Kita sudah sepakat akan menghabiskan waktu bersama hari ini," balas Felix. Nada tegasnya menunjukkan bahwa ia benar-benar tidak ingin meninggalkan Neko begitu saja.
"Kita bisa melakukannya lagi nanti, selagi kita masih tetap bernapas dan menginjak kaki di jalanan," kata Neko. Senyumnya bertahan di wajahnya, tetapi kali ini lebih seperti topeng, menyembunyikan rasa kecewanya yang semakin dalam. Felix akhirnya berdiri dan berjalan meninggalkannya.
Neko terdiam. Ia memudarkan senyum kecilnya sambil menundukkan wajah. Tangan kecilnya menggenggam sendok di atas meja, mencengkeramnya dengan sedikit lebih kuat dari yang diperlukan. "(Dasar pria sibuk. Apa kau tahu berapa lama aku menunggu momen ini? Sebaiknya kau berhenti dari pekerjaanmu itu,)" pikir Neko dengan nada kesal yang bercampur dengan kesedihan. Ia melirik ke arah pintu keluar restoran tempat Felix baru saja menghilang. Keramaian di sekitarnya kini terasa hampa, seperti seluruh dunianya mengecil dalam keheningan.
Lalu ia menghela napas panjang. "Setidaknya, aku bisa bersantai sendiri di sini..." ia menikmati makanan nya lagi.
Tapi belum ada hitungan menit, ada seorang lelaki yang datang. "Permisi nona, apa kau sendiri? Keberatan jika aku menemani mu?" ada lelaki yang datang, sepertinya Neko memang tidak bisa tenang jika harus sendirian di luar.
Itu membuat Neko menghela napas panjang dengan pasrah. "(Atau mungkin tidak....)"
Sorenya, Felix mampir ke meja Acheline yang seperti biasa tampak ceria. Ia meletakkan setumpuk dokumen di atas meja kerja Acheline dengan gerakan yang tegas namun tidak tergesa-gesa.
"Kau harus segera membereskannya," kata Felix, nadanya singkat seperti biasanya.
"Siap, Bos," balas Acheline sambil mengangguk cepat. Namun, pandangannya tertuju pada camilan Pocky di mejanya. Felix, yang menyadari hal itu, ikut melirik camilan tersebut. Tangannya terulur mengambilnya, memperhatikan bungkusnya seolah itu adalah sesuatu yang baru baginya.
"Oh, Bos, ambil saja itu, Bos. Berikan pada istri Anda~" kata Acheline sambil tersenyum jahil, suaranya bernada bercanda seperti biasa.
Felix hanya terdiam dingin. Tatapannya tidak menunjukkan reaksi apa pun terhadap ucapan Acheline. Dengan langkah tenang, ia berjalan pergi, membawa camilan itu tanpa sepatah kata lagi. Di belakangnya, Acheline hanya tersenyum kecil sambil cekikikan, merasa dirinya telah berhasil membuat situasi sedikit lebih hidup. Setelah itu, ia kembali fokus pada dokumen yang telah diberikan Felix, memutar pena di jarinya sambil mulai mengerjakan tugasnya.
Tapi ada yang datang menghampiri meja Acheline. Itu Negan, dengan segelas kopi panas di tangannya. Uap tipis mengepul dari gelas itu, melayang-layang di udara sebelum hilang ditelan pendingin ruangan kantor. Langkah Negan terdengar pelan, seperti tidak ingin menarik perhatian banyak orang.
"Hei, Acheline," panggil Negan dengan nada santai, matanya menyipit karena rasa penasaran. "Ku dengar Tuan Viktor meminta maaf soal yang kemarin itu? Di balkon?" Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, seolah ingin memastikan ia tidak salah dengar.
Acheline menoleh dari tumpukan dokumen di mejanya, mengangkat alis sambil tersenyum kecil. "Ah, iya, memang benar," jawabnya, suaranya terdengar ringan namun penuh arti. "Sepertinya hubungan Tuan Viktor mulai membaik dengan kita. Bos juga sudah memberitahunya, dia menyadarkan Tuan Viktor untuk melindungi Akai... Jadi mungkin ke depannya, ya, tidak akan ada masalah lagi."
"Benarkah? Itu bagus sekali... Akhirnya cerita ini berakhir... Semua konflik yang sangat luar biasa telah berakhir..."
"Hei, meskipun ini semua berakhir, kamu tetap harus bekerja... Kita juga tetap harus bekerja," katanya, dengan nada setengah bercanda namun penuh kebenaran.
Seketika, ekspresi cerah Negan berubah drastis. Ia menghela napas dalam-dalam, memandangi kopinya dengan tatapan penuh keputusasaan kecil. "Be... Benar juga..."