"Hwa..." panggil Lily yang berjalan dengan langkah ringan menuju Hwa yang baru saja keluar dari kelas. Udara pagi yang sedikit dingin terasa menyejukkan kulit mereka, seiring dengan burung-burung yang berkicau di sekitar area sekolah. Langkah Lily menyentuh tanah dengan ringan, seolah-olah angin mendukungnya untuk lebih cepat sampai.
"Oh... Nona Lily, ada apa?" Hwa menatapnya dengan tatapan sedikit bingung, seolah terkejut dengan kedatangan Lily yang begitu tiba-tiba. Hawa di sekitar mereka cukup tenang, hanya terdengar suara kaki yang berdesir di lantai koridor yang sepi.
"Hwa, bagaimana dengan persetujuan orang tuamu? Kau mau ikut kelas melukisku?" Lily berkata dengan tatapan yang penuh harapan, menatap Hwa dengan serius. Suasana semakin terasa hening, dengan hanya suara detak jam yang menggema pelan di dinding. Hwa terdiam sejenak, seolah mencerna kata-kata Lily. Wajahnya yang tenang tidak menunjukkan banyak ekspresi, tetapi matanya yang tajam menunjukkan tanda-tanda pertimbangan yang mendalam.
"... Nona Lily, ini sudah ke sekian kalinya kau berkata begitu, apa tidak ada orang yang lebih baik dari aku?" Hwa mengucapkan kalimat itu dengan nada yang lebih serius, tatapannya tetap kokoh, seolah ingin memastikan Lily mendengar dengan jelas. Angin pagi yang menembus celah jendela terdengar semakin kencang, menyertai kata-kata Hwa yang terasa berat di udara yang sepi.
"... Hwa, kau pandai melukis, menggambar, semua yang ada di bidang seni kau bisa kuasai, tapi bukan hanya di bidang seni, kau juga pintar dalam segala hal. Orang tua mana yang akan kecewa memiliki putra berprestasi sepertimu?" Lily menjawab dengan suara lembut namun penuh keyakinan, seolah mencoba meyakinkan Hwa bahwa kemampuannya tak terbatas pada satu hal saja. Di luar, terdengar suara mobil yang lewat, namun mereka tetap berada di dalam dunia mereka sendiri, terfokus pada percakapan ini.
"... Maaf, Nona Lily... Ayah bilang aku harus menjadi penerus di perusahaannya... Dia juga akan mengajariku membuka saham... Terima kasih atas tawaranmu... Aku permisi dulu." Hwa akhirnya berkata dengan lembut, matanya menunduk sejenak, lalu kembali menatap Lily sebelum membalikkan tubuhnya dan berjalan pergi. Langkahnya pelan, seolah-olah ingin meninggalkan percakapan ini bersama angin yang berhembus.
"(Sa... Saham... Oh astaga... Pemikiran Hwa benar-benar seperti orang dewasa... Bagaimana cara orang tuanya mengajarinya... Nilai di sekolahnya pun juga sangat baik... Aku benar-benar ragu dia bukan anak biasa...)" Lily terdiam sejenak, wajahnya tampak bingung dan terkejut. Pikirannya seakan terombang-ambing antara rasa khawatir dan kekaguman terhadap Hwa yang begitu matang di usianya. Suasana di sekitar mereka terasa semakin sunyi, hanya suara langkah kaki Lily yang terdengar perlahan di antara kebingungannya.
Sementara Hwa berjalan keluar dari gerbang sekolah. "(Aku memutuskan untuk melakukan semua sendiri meskipun Nona Sheo Jin bilang padaku untuk tidak menyembunyikan ini... Tapi ini adalah pilihanku... Untuk hari ini dan selanjutnya biarkan aku yang menjalani kehidupanku sendiri. Aku juga akan menerima setiap pemasukan orang lain yang aku anggap bagus untukku.)" pikirnya dalam hati, perasaan yang samar-samar menghampirinya. Angin sepoi-sepoi menyapu rambutnya yang panjang, memberikan sensasi yang menenangkan, tetapi ada ketegangan dalam setiap langkah yang diambil.
---
Hari berikutnya, suasana rumah terasa hangat, dengan kedua adik Hwa yang tertidur pulas di kamar mereka, wajah mereka tampak tenang, tanpa beban dunia. Hwa menatap mereka dengan tatapan yang penuh kasih, tetapi juga rasa tanggung jawab yang besar. Dia tahu bahwa suatu hari, dia akan melangkah lebih jauh dari ini. Saat itu, Neko datang mendekat, wajahnya yang ramah membawa suasana yang lebih tenang.
"Hwa, kau mau menemui ayahmu?" tanya Neko dengan suara lembut, seolah mengerti apa yang ada dalam pikiran Hwa. Ruang di sekitar mereka terasa hangat, dengan cahaya matahari yang masuk melalui jendela, membentuk pola di lantai.
"Di mana ayah?" Hwa bertanya, sedikit bingung, matanya masih memandang kedua adiknya yang tertidur.
"Dia ada waktu luang, kau bilang kau ingin dia ajari... Ibu bisa mengantarmu." kata Neko dengan nada yang lebih serius, seakan menyadari beban yang dipikul Hwa sebagai anak sulung. Ketika Hwa mengangguk, dia merasa sedikit lega, namun juga cemas, karena ia tahu keputusan-keputusan besar akan segera datang.
"Eh... Lalu mereka berdua?" Hwa bertanya, matanya melirik ke arah kamar adik-adiknya.
Tak lama kemudian, suara pintu terbuka, dan mereka berdua menoleh ke arah pintu. Rupanya Syung Ha yang muncul, dengan langkah ringan dan senyum yang cerah. "Selamat pagi, maaf agak terlambat." ucapnya sambil melangkah ke dalam, suara kakinya seperti mengisi ruang yang kosong di antara mereka.
"Bagaimana dengan kedai bunga-mu?" tanya Neko dengan perhatian. Udara di sekitar mereka terasa semakin akrab, seolah-olah tidak ada jarak antara mereka.
"Semuanya berjalan baik, tapi aku senang jika Anda memanggilku untuk urusan menjaga bayi." Balas Syung Ha sambil tersenyum. Kemudian, dia melihat Hwa, dan matanya yang lembut menunjukkan ketertarikan dan kehangatan. "Oh, bukan kah ini tuan kecil... Halo tuan kecil." Ia menatap Hwa dengan penuh kebaikan, seolah menganggapnya sebagai anggota keluarga yang selalu ada.
"Halo juga, Nona Syung Ha... Apa kau akan menjaga adik-adikku?" Hwa menjawab, sedikit tersenyum, namun ada kesan serius di balik kata-katanya.
"Tentu... (Oh ya ampun... Dia memanggilku nona... Rasanya seperti kembali muda deh.)" Syung Ha dalam hatinya merasa tersentuh, seolah ada sebuah kenangan lama yang kembali terbangun.
"Baiklah, kami pergi dulu." Kata Neko, matanya yang penuh kasih menatap Hwa, berharap anaknya akan menjalani kehidupan yang lebih baik.
"Hati-hati di jalan." Syung Ha menyahut, dan mereka berjalan keluar, meninggalkan rumah yang penuh kenangan dan harapan.
---
Sesampainya di gedung Felix, udara di sekitar terasa lebih sejuk dan tenang, meskipun suasana gedung itu sibuk dengan aktivitas orang-orang yang berlalu-lalang. Hwa dan Neko berjalan perlahan di sepanjang lorong panjang yang terasa sepi, hanya terdengar suara langkah kaki mereka yang saling bergema. Mereka melewati beberapa pintu yang tertutup rapat, dengan lampu-lampu neon yang memberikan pencahayaan dingin di setiap sudut.
Di luar ruangan Felix, Acheline yang tengah berjaga tampak tak terlalu terkejut melihat kedatangan mereka. Wajahnya yang ramah menyambut Hwa dan Neko dengan senyum kecil.
"Halo..." Acheline menyapa mereka, suaranya hangat dan penuh perhatian, meskipun ketegangan yang tak terucapkan bisa dirasakan di balik senyumannya.
"Acheline... Di mana ayah?" Hwa menatapnya dengan matanya yang tajam dan penuh pertanyaan, seolah ingin tahu dengan pasti ke mana ayahnya pergi.
"Bos?... Dia bilang padaku dia ada di balkon atap. Mungkin kalian bisa menemuinya di sana." Acheline menjelaskan dengan nada yang lebih santai, meskipun matanya menyiratkan sedikit kekhawatiran. Udara di sekitar mereka terasa lebih berat, dan Hwa mengangguk tanpa berkata apa-apa lagi.
"Kami akan ke sana, terima kasih." Neko berkata dengan nada sopan, meskipun dalam hati, dia merasa sedikit gugup menghadapi apa yang mungkin terjadi selanjutnya. Keduanya pun segera melanjutkan langkah mereka menuju balkon atap, meninggalkan Acheline yang kembali ke posnya, wajahnya kembali mengeras seiring dengan kedatangan mereka yang membawa ketegangan baru.
Ketika mereka mencapai balkon atap, mereka melihat Felix sedang mengobrol dengan seseorang. Sesosok pria yang tampaknya tidak asing bagi Neko, Beum. Neko terkejut melihatnya, dan ada rasa cemas yang tumbuh di dalam dirinya, mengingat masa lalu yang belum sepenuhnya terlupakan.
Beum menoleh, dan sepertinya ia juga memperhatikan kedatangan mereka. "Yo..." Beum menyapa mereka dengan senyum menawan, tatapannya seakan memeriksa setiap detail dari Neko dan Hwa, namun ada sesuatu dalam matanya yang membuat Neko merasa tak nyaman.
"(Kenapa dia ada di sini...)" Neko masih terdiam, otaknya dipenuhi dengan kenangan tentang bagaimana Beum mengucapkan salam perpisahan padanya di masa lalu. Rasa tidak percaya menyelip di antara kecemasan yang ia rasakan.
Felix, yang melihat Hwa, langsung menatapnya dengan penuh perhatian. "Ayah..." Hwa memanggil dengan nada lembut, tetapi ada sedikit ketegasan di balik suaranya.
"Kau kemari bersama ibu-mu, huh?" Felix juga menatap Hwa, namun matanya tidak bisa menyembunyikan sedikit senyum yang muncul di sudut bibirnya. Tindakannya yang selalu tampak penuh kasih membuat suasana terasa lebih hangat.
"Ibu bilang tak mau aku sendirian, jadi dia menemaniku meskipun aku tahu ibu lelah." Hwa berkata dengan polos, matanya menyiratkan kejujuran yang tulus. Suasana terasa tenang sejenak, hingga Hwa mengucapkan kalimat itu.
"(Hah... Aku tak bilang begitu!?!)" Neko terkejut, mendengar kata-kata Hwa yang seakan membuatnya menjadi pusat perhatian. Wajahnya memerah, dan dia hanya bisa terdiam sejenak, tidak tahu harus berkata apa.
Felix tampak berpikir sejenak, kemudian dengan cepat, dia menggendong Neko di dadanya tanpa peringatan. "Apa yang kau lakukan?!" Neko terkejut, matanya terbelalak saat tubuhnya terangkat begitu saja.
"Kau lelah bukan?" Felix menatapnya dengan tatapan penuh perhatian, seakan-akan segala sesuatu tentang Neko menjadi perhatian utamanya.
"(Tidak di depan mereka, kau bodoh,)" Neko merasa sedikit kesal, tetapi tidak bisa menahan diri untuk tidak merasa terperangkap dalam perhatian Felix yang begitu besar. Perasaan itu membingungkannya, namun ia tetap tidak bisa melawan keinginan untuk merasa aman dalam pelukan Felix.
"Ayah... Aku juga ingin dibawa ayah..." Hwa berkata dengan merentangkan tangannya, wajahnya yang polos menunjukkan ekspresi ingin tahu, seolah mengharapkan perhatian yang sama.
Tiba-tiba, Beum, yang sebelumnya terdiam, bergerak mendekat. Tanpa diminta, ia dengan inisiatif menggendong Hwa dan mengangkatnya untuk duduk di belakang leher Felix, memberikan kejutan bagi Neko yang melihat kejadian ini.
"Be... bertiga!" Neko merasa tak percaya, matanya membelalak lebar seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
Felix, meskipun merasa sedikit terkejut, tetap tampak santai. "Ini masih terlalu enteng untukku," katanya dengan nada rendah, namun jelas. Wajah Hwa terlihat cerah dan senang, dia membelai kepala rambut Felix dengan lembut, menikmati momen kebersamaan mereka.
"Hehe, aku ada di atas ayah..." Hwa tertawa kecil, merasakan kehangatan dari momen yang langka ini. Ia tampaknya merasa bahagia berada dalam pelukan orang-orang yang ia cintai.
"Kalian terlihat sangat cocok... Keluarga yang sangat bahagia, seharusnya kau senang kau bisa melihat putramu tersenyum... Akai." Beum menatap mereka dengan tatapan yang penuh makna, meskipun kata-katanya terdengar lebih seperti sebuah sindiran daripada pujian. Neko terdiam mendengarnya, dan dalam hati, ia mulai merenung, "(Mungkin dia benar... Untuk selanjutnya... Biarkan Hwa yang berkisah.)"
Namun, suasana kebahagiaan itu segera digantikan dengan tensi yang lebih berat ketika Beum melanjutkan percakapan mereka dengan Felix, mengubah nada mereka menjadi lebih serius.
"Aku benar-benar minta maaf soal wanita itu, aku tak bermaksud membantunya, tapi aku memberikan apa yang dia minta tanpa menyebutkan namaku, karena jika tidak seperti itu, dia akan terus menggangguku." Beum berkata dengan nada serius, menatap Felix dengan mata penuh penyesalan.
"Mau bagaimana lagi, dia sudah tidak akan mengganggu." Felix menjawab dengan tenang, namun tatapannya penuh tekad. Ada ketegangan di udara yang seolah mengisi ruang sekeliling mereka.
"Yah, begitu lah." Beum menambahkan, lalu menatap Neko yang sejak tadi tampak malu dan cemas.