Chereads / Bloody Line: Under The Drop of Blood / Chapter 310 - Chapter 310 Not a Faded

Chapter 310 - Chapter 310 Not a Faded

Hari selanjutnya, tampak Hwa turun dari kursi meja belajarnya yang terletak di sudut kamar kecilnya. Meja itu sudah penuh dengan tumpukan buku dan catatan yang berserakan, beberapa pena dan kertas tergeletak acak. Dinding kamar yang dicat putih memberikan kesan bersih dan sederhana, hanya dihiasi dengan beberapa poster kartun yang digantung dengan sedikit lengkungan. Hwa meregangkan tubuhnya, merasakan otot-ototnya yang kaku setelah berjam-jam belajar. Suasana pagi yang tenang dengan cahaya matahari yang masuk melalui jendela kecil membuatnya merasa agak segar meski matanya masih terasa berat.

Ia berjalan pelan menuju pintu kamar, melangkah di atas karpet tipis yang sudah mulai pudar warnanya. Dari dapur, terdengar suara deretan sendok yang beradu dengan panci, menandakan bahwa Neko masih sibuk memasak. Aroma rempah-rempah yang sedap tercium menyusuri lorong, membuat perut Hwa yang kosong merasa sedikit lapar. Hawa pagi yang cerah menambah ketenangan suasana, namun di dalam hati Hwa, pertanyaan yang mengganggu pikiran mulai muncul satu per satu.

Neko, dengan rambut hitam yang sedikit terurai, tampak berdiri di depan kompor. Wajahnya penuh konsentrasi, matanya sedikit mengernyit saat ia mengaduk panci dengan hati-hati. Suara-suara dapur yang sibuk—suara api yang membakar, daging yang mendesis—bercampur dengan suara Hwa yang baru keluar dari kamar. Neko menoleh, wajahnya tetap tenang meski ada kelelahan di balik matanya.

"Hwa, apa kau sudah selesai belajar?" tatapnya lembut, suara Neko mengalun, seolah menunggu jawaban.

"Ya, Ibu, apa Ibu sudah selesai memasak?" Hwa menjawab, menatap ibu yang tengah sibuk. Pandangannya tak lepas dari tangan Neko yang cekatan, mengatur masakan di atas kompor.

"Ya, kemarilah makan bersama," balas Neko, dengan senyum tipis yang muncul di bibirnya. Suasana seketika terasa lebih hangat, meski ada sesuatu yang mengganjal di hati Hwa.

"Bagaimana dengan kedua adikku?" tanya Hwa, melangkah lebih dekat ke meja makan yang sudah disiapkan dengan rapi.

"Mereka masih tidur," balas Neko, matanya kembali terfokus pada panci yang sedang ia aduk.

Hwa berhenti sejenak, mengamati Neko, kemudian bertanya dengan sedikit kebingungan. "Apa Ayah tidak libur? Ini hari libur, seharusnya dia juga ada di rumah."

Neko menghela napas perlahan, tubuhnya sedikit menegang, lalu ia menatap Hwa dengan pandangan yang lembut namun penuh keletihan. "… Ayahmu masih tidur. Dia semalam pulang sangat pagi dan langsung tidur," jawabnya pelan, suara Neko seperti menyimpan kekhawatiran yang tak terlihat jelas.

Hwa merenung sejenak, mengernyitkan dahi. "Apa pekerjaan Ayah memang sesibuk itu?" suaranya hampir tak terdengar, seolah berbicara pada dirinya sendiri.

"Ya, saat kau besar nanti, kau juga punya tanggung jawab untuk itu, Hwa. Pilihlah antara meneruskan pekerjaan Ayahmu atau menjadi apa yang kau mau. Kau memiliki peluang masa depan cerah jika memilih pilihanmu sendiri, karena itu kemauanmu," kata Neko, matanya teralihkan ke arah jendela yang terbuka sedikit, memperlihatkan pohon-pohon di luar yang bergerak tertiup angin. Suasana hening sejenak, hanya suara ketukan sendok di panci yang terdengar.

"... Tapi, bagaimana jika aku memilih keduanya dan malah tak bisa menjadi satu-satunya?" Hwa bertanya, suaranya dipenuhi keraguan yang samar.

"Yang pasti, kau harus meniatkan dirimu. Tak boleh berpikir putus asa terlebih dahulu. Jika sudah besar nanti, kau tak boleh menjadi lelaki yang buruk. Tetaplah belajar dengan sopan santun, dan jangan mengingat hal buruk. Sebagai lelaki, kau juga harus kuat, tidak boleh menangis dalam hal apapun," kata Neko dengan penuh ketegasan, namun ada kelembutan di baliknya, seperti sebuah nasihat yang tulus dari hati seorang ibu.

"... Kalau begitu... Jika ibu ingin aku kuat, biarkan aku masuk militer," tatap Hwa dengan serius, kata-katanya berat namun penuh keyakinan. Seketika, suasana yang semula tenang menjadi sedikit tegang. Neko terdiam, matanya melambangkan kebingungan dan ketidakpercayaan. Dia tak menyangka bahwa putranya akan menyuarakan keinginan tersebut.

"Hwa, militer? Tapi itu hal yang sangat keras untukmu," tatap Neko dengan penuh kekhawatiran. Wajahnya tampak lebih cemas daripada sebelumnya, tubuhnya terdiam sejenak, dan Hwa bisa merasakan kerisauan yang mengalir dari ibu.

Namun, suara Felix yang tiba-tiba menyela membuat keduanya menoleh. "Militer? Apa salahnya?" kata Felix, suaranya terdengar ringan, namun tajam. Begitu ia masuk ke dalam pembicaraan, suasana berubah lagi—kali ini sedikit lebih dinamis.

Felix berjalan mendekat, duduk di samping Neko dengan gerakan yang santai. Tangan Felix menyentuh punggung Neko, memberikan dukungan seakan tahu bahwa perasaan Neko sedang tak nyaman. Mereka berdua memandang Hwa, yang kini duduk di meja makan, menunggu tanggapan lebih lanjut.

"Kau ingin masuk militer? Itu baru putra Ayah," kata Felix, dengan nada bangga, seolah tak ragu dengan keputusan Hwa meskipun usianya masih sangat muda.

"Apa yang kau bicarakan? Hwa belum tentu kuat masuk militer," kata Neko, menatap Felix dengan sedikit kesal. Keheningan sejenak menyelimuti ruang, sebelum Felix kembali berbicara dengan penuh keyakinan.

"Militer mengambil lelaki muda berumur 18 tahun. Kita lihat saja di umur Hwa yang 18 tahun, apakah dia memiliki jiwa yang kuat untuk masuk militer. Hwa, 8 tahun lagi, jika kau ingin masuk militer, tunjukkan pada kami kemampuanmu dalam hal fisik," kata Felix, menatap serius putranya. Kata-katanya penuh harapan, seolah ingin Hwa membuktikan dirinya.

"... 8 tahun... Baiklah, Ayah, aku akan tunjukkan bahwa aku kuat," kata Hwa dengan keyakinan yang baru tumbuh di dalam dirinya. Ia merasa semangatnya mulai membara, meskipun tahu jalan yang akan diambil tak mudah.

"Hwa, tunggu, Ibu tak mengizinkanmu," Neko langsung menyela, matanya penuh kecemasan, dan tubuhnya sedikit terangkat, seolah mencoba menghalangi keputusan yang dibuat Hwa.

"... Ibu, aku takut semua ini akan menyakitiku karena aku bodoh dalam perlawanan. Aku ingin menjadi kuat di umurku yang muda, agar aku bisa melindungi Ibu dan Ayah," kata Hwa, dengan wajah yang terlihat serius dan penuh keinginan. Suaranya mengandung tekad yang kuat, meski tak dapat disembunyikan rasa takut di dalamnya.

"Militer bukan berarti kau bisa melatih kekuatanmu, tapi kau juga akan pergi selama 4 tahun. Di empat tahun itu, kau akan bertambah usia dan kau tak bisa menempuh pendidikan, tak hanya empat tahun, kau bisa di ambil militer jika kemampuan mu melebihi standar, mereka akan memaksamu bergabung terus hingga kau tak bisa menikmati masa masa mu di luar sana," kata Neko, dengan nada khawatir. Wajahnya yang selalu lembut kini tampak lebih tegas, berusaha menjelaskan dengan cara yang penuh perhatian.

"Kalau begitu, masukkan aku sebelum umur 18 tahun. Biarkan aku bersekolah menengah atas hingga umurku 17 tahun, setelah itu keluarkan aku dan masukkan aku ke militer, atau bisa masukkan aku di umur 15 tahun," balas Hwa dengan penuh semangat, ingin segera membuktikan bahwa dirinya siap.

Neko terdiam, matanya terfokus pada Hwa, dan ia memegang keningnya, seolah memikirkan pilihan yang sangat sulit. Dalam kesunyian itu, Felix memegang punggung Neko dengan lembut, memberikan dukungan tanpa berkata-kata. "Biarkan dia melakukan apa yang dia mau. Di militer, tak peduli berapa usiamu, yang terpenting tinggimu harus 175 ke atas. Di umurmu yang sekarang saja sudah lebih tinggi dari Ibumu."

"Apa yang kau bilang?" Neko menjadi kesal, suara ketus keluar begitu saja. Suasana yang semula hening kembali memanas dengan perkataan Felix yang mengganggu.

"Yah... Saat di sekolah aku paling tinggi sendiri. Mereka mengira umurku lebih tua dari mereka," jawab Felix dengan santai, menyeringai.

"Itu sudah pas. Tinggimu 155? Itu seperti usia gadis yang masih duduk di bangku kelas 10," kata Neko dengan nada yang sedikit menggelitik, membuat Felix tertawa kecil.

"Waw, itu sangat akurat, Ayah."

"Dia mewarisi tinggimu," kata Neko, matanya menatap Felix dengan perasaan campur aduk.

"Apa Ayah lebih tinggi dariku saat umurnya 10 tahun?"

"Tentu, lebih tinggi lagi," balas Felix, suara nya penuh kepercayaan diri.

"Waw, itu sangat keren... Aku ingin meninggikan tubuhku juga, bisa beritahu aku caranya, Ayah?" tatap Hwa dengan mata berbinar, antusias.

Lalu Felix tersenyum kecil dan membalas, "Membun—"

Tiba-tiba saja, Neko menutup mulut Felix dan menjawab pertanyaan Hwa sendiri. "Kau hanya perlu olahraga dan melenturkan tubuhmu, Hwa. Jangan dengarkan apa yang dibilang Ayahmu tadi," kata Neko dengan cepat, matanya penuh ketegasan.

Meskipun Hwa agak bingung, ia mulai mengerti dengan kata-kata ibunya yang menyarankan untuk olahraga dan melenturkan tubuh.

Setelah Hwa pergi, Neko tampak sangat marah pada Felix. "Apa yang mau kau katakan tadi? Kau tidak mau Hwa melakukan apa yang kita lakukan saat muda di usianya, bukan? Kita membesarkannya bukan untuk mengajarinya menjadi iblis!"

"Yah, di usia Hwa, kefisikan dalam bertarung itu tentu saja penting. Dia akan menjadi darah kehormatanmu, tepatnya penerus darah Harimau ganas."

"Kau salah. Dia lebih terlihat sepertimu," kata Neko, membuat Felix terdiam.

"... Dia akan menjadi serigala, bukan harimau sepertiku. Aku sudah bisa melihat bahwa dia bukan darah kehormatan, dia hanya sebuah garis darah," tambah Neko. Di saat itu juga, Felix mulai berpikir sama dengannya.

"... Biarkan dia menemukan apa yang kita lakukan sendiri," kata Felix. Ia masih duduk di kursi dapur, dan Neko membersihkan piring dan mencucinya, suasana kembali tenang namun penuh perasaan yang tak terucap.

"Kau harus ingat, Hwa tidak sama seperti yang lainnya... Dia tak sama seperti kita, tak sama seperti anak-anak di luar sana. Kau tak boleh membuatnya harus mendalami hal itu, biarkan dia menjadi apa yang dia inginkan," kata Neko, membuat Felix kembali terdiam, berpikir.

"(Hwa memiliki pemikiran seperti orang yang tenang, memiliki kesopanan layaknya seorang yang formal, dan memiliki sedikit rasa kekanakan. Kelak, dia akan mengajari betapa pentingnya bersikap seperti itu di usia yang masih sangat muda.) Tapi tetapkan, aku bisa memasukkannya ke militer, kan?" tatap Felix.

Lalu Neko menghela napas panjang. "Jika ada apa-apa pada putra kita itu, kau yang harus tanggung jawab semuanya."

"Jangan khawatir, kau terlalu cemas padanya yang sudah jelas akan menggantikan aku sebagai pahlawan di sini."