Chereads / Drop Blood: Amai Akai / Chapter 311 - Chapter 311 Not a Faded

Chapter 311 - Chapter 311 Not a Faded

Hari selanjutnya, Felix membuka pintu kamar Neko. Udara pagi yang masih sejuk menyelinap masuk, memberikan kesan hening di dalam ruangan itu. Tapi langkah Felix terhenti, matanya menyipit bingung ketika ia melihat Syung Ha di dalam. Syung Ha duduk di kursi kecil dekat tempat tidur, wajahnya terlihat serius namun lembut saat ia menjaga kedua bayi yang tertidur pulas. Bayi-bayi itu tampak damai, napas mereka teratur, wajah mungil mereka menyiratkan ketenangan.

Syung Ha menoleh tiba-tiba, seolah merasakan keberadaan Felix, dan keterkejutannya jelas terpancar. "Tuan Felix..." suaranya sedikit gemetar, matanya penuh rasa segan.

"Di mana Amai?" tanya Felix dengan nada rendah tapi tegas, wajahnya menunjukkan rasa khawatir yang tersembunyi.

Syung Ha menunduk sedikit sebelum menjawab, "Nona bilang dia ingin ke halaman rumah, jadi dia memintaku untuk menjaga kedua bayi kecil ini." Ucapannya terdengar hati-hati, seperti takut salah berbicara.

Felix menutup pintu dengan perlahan, tapi langkahnya penuh determinasi saat berjalan ke taman. Angin pagi yang membawa aroma dedaunan segar berhembus pelan, mengiringi gerakannya. Matanya menyisir setiap sudut taman dengan tatapan serius, mencari sosok yang dicarinya. Saat ia tak sengaja menginjak sesuatu yang lunak, ia menunduk. Sebuah selang panjang melintang di atas rumput yang masih basah oleh embun. Matanya mengikuti arah selang itu, yang ternyata mengarah ke taman bunga.

Di sana, Neko terlihat berdiri. Tangannya memegang selang dengan santai, tubuhnya bergerak perlahan saat ia menyirami bunga-bunga yang bermekaran. Sinar matahari pagi menerpa tubuhnya, membuatnya terlihat berkilauan, sementara rambutnya sedikit basah karena percikan air.

Felix berdiri diam, alisnya terangkat satu. "(Apa yang dia lakukan?)" pikirnya. Dari jarak itu, Neko tampak sangat fokus, matanya hanya tertuju pada bunga-bunga yang tampak bersyukur mendapat air pagi ini. Setiap tetes air dari selang membasahi tanah dengan bunyi gemericik yang lembut, memecah keheningan.

"(Bukankah dia ini bukan pembantu? Kenapa dia melakukan hal seperti ini?)" pikir Felix, pandangannya semakin tajam. Sebuah ide muncul di benaknya, membuat bibirnya melengkung sedikit ke atas. Dengan sengaja, ia menginjak selang itu. Air yang tadinya mengalir deras berhenti seketika.

Neko, yang sedang asyik menyiram, terhenti. Matanya menyipit bingung, melihat selangnya tak lagi mengeluarkan air. "Apa yang terjadi?" gumamnya. Ia mendekatkan wajahnya ke ujung selang, mencoba memeriksanya. Tapi sebelum ia menemukan jawabannya, Felix melepas injakannya.

Air yang tertahan tiba-tiba memancar keluar dengan kekuatan penuh. "Ahhk!!" Neko memekik terkejut. Selang itu bergerak liar di tangannya, air menyembur ke segala arah, termasuk ke atas tubuhnya sendiri. Rambutnya yang sebelumnya tertata rapi kini basah, sementara bajunya yang tipis melekat di kulitnya, membuat tubuhnya terlihat lebih jelas.

Di balik semak-semak, Felix berdiri sambil menutup mulutnya, menahan tawa yang mulai keluar. Tapi akhirnya ia tak mampu lagi menahan diri, suara tawanya pelan namun jelas terdengar oleh Neko.

"Apa-apaan!?" teriak Neko, matanya melotot marah. Ia melemparkan selang ke tanah, langkahnya tegas menghampiri Felix yang masih tersenyum kecil.

Felix mendekat sedikit dengan santai, wajahnya tetap menunjukkan sikap tak berdosa. "Maaf, aku tidak sengaja menginjak selang itu," katanya dengan nada ringan, meskipun mata jenakanya mengatakan hal sebaliknya.

"Kau benar-benar..." Neko mendengus, wajahnya memerah antara marah dan malu. Dengan tubuh yang basah kuyup, ia merasa tak berdaya menghadapi pria ini.

Felix memperhatikan Neko dari ujung kepala hingga kaki, matanya tertarik pada dada Neko yang samar terlihat di balik baju basahnya. Ia mengangkat satu alisnya, mendekat sedikit sambil menatap Neko dengan senyum licik. "Kau masih saja seksi seperti dulu," ucapnya pelan, tapi cukup jelas untuk membuat Neko membeku sejenak.

Neko langsung menutupi dadanya dengan kedua tangan. Wajahnya yang merah semakin panas, kali ini karena rasa malu. "Kau sialan!! Aku akan membalasmu!" teriaknya.

Ia meraih selang yang tergeletak di tanah dan dengan cepat menyemprotkan air ke arah Felix. Semprotan air yang deras membuat Felix langsung basah kuyup. Bajunya yang mahal sekarang menempel erat pada tubuhnya, rambutnya basah, dan wajahnya menunjukkan keterkejutan.

"Kita imbang!" seru Neko dengan nada puas, tapi kemenangan itu tidak berlangsung lama. Suasana berubah dingin ketika aura Felix yang serius mulai terasa. Tatapannya tajam dan dingin, membuat Neko perlahan mundur dengan gugup.

Namun, langkah mundurnya terhenti ketika Felix dengan cepat meraih lengannya. "Ahhh!" Neko memekik, menutup mata, mengira sesuatu yang buruk akan terjadi. Tapi yang ia rasakan adalah sentuhan lembut. Bibir Felix menyentuh bibirnya dengan lembut, membuat Neko membeku.

"Kau membuatku basah dengan sengaja," bisik Felix dengan nada rendah, nyaris seperti geraman.

---

Di sisi lain, Hwa melangkah masuk ke rumah dengan tenang. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti ketika matanya menangkap pemandangan di halaman depan. Ia melihat Felix dan Neko berdiri basah kuyup, tubuh mereka saling mendekat, dan bibir mereka bersentuhan dalam keheningan. Suasana terasa janggal, dengan tetesan air dari pakaian mereka yang membasahi tanah, menghasilkan bunyi lembut setiap kali tetesan itu jatuh.

Hwa hanya terdiam. Ekspresinya datar, tanpa ada tanda-tanda keterkejutan atau emosi lain. Ia hanya mengangkat kedua bahunya, memberi kesan seolah itu bukan urusannya, dan melanjutkan langkahnya masuk ke rumah. Di dalam rumah, suara pintu yang tertutup pelan menggema, menggantikan kesunyian di halaman.

Sementara itu, Neko dan Felix saling menatap. Mata mereka berbicara lebih dari kata-kata, seperti ada percakapan yang hanya mereka pahami. Neko, dengan sentuhan lembut, meletakkan tangannya di dada atas Felix. Jarinya yang halus bergerak perlahan, nyaris seperti membelai. Air dari selang yang sebelumnya membasahi mereka mendadak berhenti mengalir. Bunyi keran yang dimatikan membuat mereka berdua menoleh. Di kejauhan, Arthur berdiri dengan handuk di tangan, menatap mereka tanpa banyak kata.

---

Malamnya, suasana rumah tenang, hanya suara angin malam yang sesekali berbisik lewat celah-celah jendela. Di dalam kamar, Neko berbaring di samping Hwa. Lelaki kecil itu sudah terlelap, tangannya memegang erat jari Neko seperti enggan melepaskannya. Neko mengelus kepala Hwa dengan penuh kasih, memastikan ia benar-benar tertidur. Tatapannya lembut, penuh kehangatan seorang ibu.

Ia menarik napas dalam, perlahan melepas genggaman tangan Hwa tanpa membangunkannya. Setelah itu, ia merapikan selimut anaknya, memastikan kehangatannya terjaga, sebelum menunduk untuk mengecup kening Hwa. Ciuman itu lembut, penuh cinta, seperti sebuah janji tak terucap.

Keluar dari kamar, Neko mengenakan piyama panjang merah yang terlihat anggun meski sederhana. Ia berjalan menuju kamar lain dengan langkah pelan. Kamar itu berisi kedua bayinya yang sudah tertidur pulas. Neko berhenti di ambang pintu, menatap mereka sejenak. Senyum kecil terukir di wajahnya, senyum yang hanya muncul dari rasa lega dan bahagia melihat anak-anaknya dalam keadaan damai.

Saat melewati lorong menuju kamarnya, ia menguap kecil, tanda kelelahan mulai mengambil alih tubuhnya. Pintu kamarnya berderit lembut saat dibuka. Namun, ia terdiam di ambang pintu ketika mendapati suasana kamar yang gelap, diterangi hanya oleh cahaya remang dari luar jendela. Di sana, Felix berdiri, membelakangi Neko, matanya menatap kosong ke luar jendela.

Felix menoleh perlahan. Wajahnya lelah, tetapi tetap tenang. Ia masih mengenakan pakaian kantornya, dasinya sedikit longgar, dan kemejanya kusut. Kontras dengan Neko yang terlihat santai dalam piyama merahnya.

"Gantilah bajumu," ucap Neko, tangannya bersilang di dada. Ia melangkah mendekatinya, sorot matanya seperti menuntut tanpa memberi ruang untuk alasan.

"Aku malas. Aku ingin langsung tidur," balas Felix. Ia mendekat, tubuhnya membungkuk, dan tangannya meraih punggung Neko. Gerakannya perlahan, seolah mengukur reaksi Neko. "Aku ingin sesuatu," bisiknya pelan, suaranya rendah namun jelas, membuat udara di antara mereka terasa lebih berat.

"Jangan aneh-aneh," balas Neko tajam, meski nada suaranya sedikit melembut, seperti berusaha menjaga suasana.

"Aku ingin bayi—"

*Smack!* Sebuah suara memecah keheningan. Tangan Neko mendarat di pipi Felix, keras dan cepat, seperti refleks yang tak bisa ia kendalikan.

Waktu seolah berhenti. Neko berdiri kaku, matanya melebar, menatap tangannya sendiri dengan ekspresi tak percaya. Sementara itu, Felix memegang pipinya yang memerah, bekas tamparan terlihat jelas. Namun, ia tak marah. Ia hanya diam, bingung, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.

"...E... Maaf, aku tak sengaja melakukannya," ucap Neko pelan, suaranya hampir bergetar. Namun Felix tetap diam, hanya menatapnya, matanya penuh pertanyaan.

"Aku benar-benar refleks memukulmu ketika kau mengatakan hal itu," tambah Neko. Ia masih tampak bingung dengan dirinya sendiri, seperti berusaha memahami kenapa ia bereaksi secepat itu.

Felix perlahan meraih tangan Neko, menggenggamnya erat. Ia menarik tangan itu lebih dekat, menatap wajah Neko dengan lembut. "Aku tahu kau mau menolaknya, karena tubuhmu tidak kuat, kan?" ucapnya, suaranya rendah, tapi tak ada tanda-tanda kemarahan.

"Apa?! Aku kuat!" balas Neko spontan.

"Tidak, kau lemah," balas Felix santai, tetapi sorot matanya tetap lembut, seperti sengaja memancing Neko.

"Aku kuat!" balas Neko lagi, kini dengan nada lebih tegas.

"Buktikan kalau tubuhmu kuat... seperti pelacur," kata Felix, suaranya tenang tapi tegas, membuat Neko langsung terdiam. Wajahnya memucat, bibirnya sedikit gemetar, seperti kata-kata itu telah memukulnya lebih keras dari apa pun.

Setelah beberapa saat, Neko menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. Ia perlahan mendekat, berjinjit, lalu mencium pipi Felix. Tapi ia tidak berhenti di situ. Neko menjilat pipinya dengan gerakan lembut, lalu turun dan mencium bibirnya.

Felix merespons, hendak membuka mulutnya untuk mencium lebih dalam. Namun, Neko menutup mulut Felix dengan tangannya, menghentikannya.

"Aku punya satu permintaan. Apakah besok kau libur?" tanyanya tiba-tiba, nada suaranya beralih menjadi lebih serius.

"Ya, aku libur. Apa kau ingin malas-malasan denganku di ranjang? Bisa saja aku akan menurutimu," jawab Felix, sedikit menyeringai.

"Bukan itu yang aku mau."

"Lalu apa?"

"Aku ingin makan di luar bersamamu," jawab Neko, suaranya sedikit bergetar, seolah mengungkapkan permintaan yang telah lama ia simpan.

"Oh... Kau ingin seperti pasangan muda di luar sana? Kalau begitu tak apa. Aku akan ikut denganmu besok. Tempat makan apa yang kau mau?" tanya Felix, matanya kini menatap Neko lebih lembut.

"...Aku akan menurut padamu," balas Neko pelan.

"Baiklah, aku akan mencarikan tempat bagus untuk kita," kata Felix. Ia lalu menggendong Neko ke dadanya, membawanya ke ranjang dengan langkah santai.

"Mandilah dulu," pinta Neko sambil menatap Felix, sedikit khawatir.

"Aku sudah bilang, aku sedang malas dan sangat lelah. Biarkan aku memeluk gadis ini dengan nyaman," jawab Felix, memeluk Neko yang terbaring di atas tubuhnya.

"Haiz..." Neko menggeleng pelan, menyerah.