Chereads / Bloody Line: Under The Drop of Blood / Chapter 308 - Chapter 308 Not a Faded

Chapter 308 - Chapter 308 Not a Faded

Felix membuka pintu kamar bayi dengan hati-hati, mencoba untuk tidak membuat suara yang bisa mengganggu ketenangan yang ada. Di dalam kamar yang sedikit remang-remang, terlihat Neko duduk di samping dua ranjang bayi yang bergerak perlahan, mengikuti gerakan tangan kecil yang menepuk-nepuk lembut ke arah ranjang mereka. Suasana di sekitar terasa begitu sunyi, hanya suara detak jam di dinding yang bisa terdengar.

Neko menoleh, matanya yang lelah menatap Felix dengan tatapan yang penuh arti. Tanpa berkata sepatah kata pun, dia mengisyaratkan agar Felix diam dan tidak mengganggu. Felix mengerti dan tersenyum kecil, lalu mundur perlahan, bersandar di dinding lorong di depan kamar itu. Kegelapan malam semakin pekat, tapi di sekelilingnya, rasa hangat dari kebersamaan itu memenuhi udara, seolah-olah keduanya tidak ingin memisahkan diri meskipun untuk sejenak. Felix menunggu dengan sabar, merasakan setiap detik yang berlalu begitu berharga, menantikan Neko keluar.

Lama setelah itu, Neko berjalan keluar dari kamar bayi, wajahnya terlihat lelah namun tetap tegar. Tatapan matanya yang penuh kelelahan tetap memancarkan kekuatan yang luar biasa, seolah dunia tidak bisa mematahkan semangatnya.

"Kau masih di sini?" tanya Felix, suaranya terdengar lembut, penuh perhatian, saat Neko sudah keluar dari ruangan itu. Suasana di luar kamar bayi terasa lebih tenang, dengan cahaya remang-remang dari lampu jalan yang menerangi lorong.

"Aku sangat lelah... Mereka menangis sepanjang hari..." jawab Neko, suaranya pelan, seakan merasakan keletihan yang luar biasa, seolah seluruh tubuhnya sudah tidak lagi mampu menahan rasa lelah itu.

"Mereka meminta ASI," kata Felix dengan pengertian, matanya tidak lepas dari Neko yang tampak begitu kelelahan.

"Aku tahu itu, tapi harus bergantian... untuk... ini benar-benar menyiksaku," kata Neko, sambil memegang keningnya dengan tangan yang sedikit gemetar. Ia tidak pernah merasa sekeletihan ini sebelumnya, perasaan yang begitu berat yang sulit untuk dijelaskan, seakan tubuhnya menanggung beban yang sangat besar.

Tiba-tiba, Felix bergerak mendekat, tangannya mengangkat tubuh Neko dengan lembut, dan menggendongnya ke dalam pelukan. Rasa hangat tubuh Felix membuat Neko terkejut, namun pada saat yang sama, ada perasaan nyaman yang muncul, seolah dunia luar hilang sejenak.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Neko, sedikit terkejut dengan tindakan Felix yang begitu tiba-tiba.

Felix menatapnya dalam-dalam dengan tatapan yang penuh keyakinan, "Sekarang kau bukan menjadi kucing loyal untukku, tapi istri tetapku karena kau sudah mengakui ini semua... Katakan padaku apa yang membuatmu mengatakan cinta padaku?" Matanya mencari jawaban, seakan menunggu dengan penuh harap.

"... Seseorang yang berpesan bahwa aku harus selalu merasakan kehangatanmu," jawab Neko, suara yang hampir tak terdengar tapi penuh makna. Kata-kata itu keluar begitu tulus, mencerminkan harapan yang tumbuh dalam dirinya, meski ada keraguan yang tetap menyelimutinya.

Felix terdiam sejenak, ekspresinya tampak seperti tidak percaya, namun seiring waktu, senyum itu muncul perlahan di bibirnya. Tanpa berkata-kata lagi, dia menyentuh bibir Neko dengan lembut. Ciuman itu, meskipun singkat, terasa seperti pernyataan yang lebih dari sekadar kata-kata. Dengan gerakan halus, Felix membawa Neko ke kamar mandi.

Di dalam kamar mandi, suasana menjadi lebih tenang dan hangat. Neko melihat ke dalam bak mandi, di mana air hangat sudah tersedia, mengundang rasa nyaman dan relaksasi. Bau harum dari minyak esensial mengisi udara, menambah ketenangan di ruangan itu.

"Apa kau yang menyiapkannya?" tanya Neko, suara yang hampir seperti bisikan, ketika melihat ke dalam bak mandi yang sudah penuh air hangat.

"Khusus untukmu," jawab Felix, suara itu terdengar sangat lembut namun penuh perhatian. Ia menurunkan Neko dengan hati-hati ke dalam bak mandi, dan begitu Neko merasakan sentuhan air hangat itu, seluruh tubuhnya terasa seperti dibalut dengan kenyamanan yang begitu menenangkan.

"Biar aku yang melepas bajumu," kata Felix, membuka kancing baju Neko dengan perlahan. Baju yang sudah basah karena percikan air di bak mandi semakin membuat Neko merasa seolah beban yang ada di tubuhnya mulai terangkat sedikit demi sedikit.

Tak lama setelah itu, Felix duduk di samping bak mandi, menatap Neko dengan penuh perhatian. Di tangan Neko, busa sabun perlahan mengalir, seolah setiap gerakan tangan Neko mencerminkan kebingungannya dan keinginannya untuk melepaskan semua rasa lelah yang selama ini mengikatnya.

"Kau tak pernah memanjakan ku seperti ini," kata Neko, tatapannya penuh rasa haru. Rasanya, seakan dia baru saja menemukan secercah cahaya setelah berada dalam kegelapan yang panjang.

"Yeah... Mungkin karena ini adalah akhir dari konflik yang terjadi pada kita," jawab Felix, suaranya terdengar lebih dalam, penuh makna, seperti sebuah refleksi dari perjalanan mereka yang panjang.

"Aku tak berpikir begitu... Aku selalu mengalami ujung kisah yang sama, tapi dimulai dengan kisah yang berbeda. Sebenarnya... aku ingin tahu lebih dulu kenapa kau membuat semua ini untukku dan kenapa kau membunuh ibuku saat itu?" Neko menatapnya dengan intens, matanya penuh tanda tanya yang dalam. Ada rasa penasaran yang terus menggelayuti pikiran Neko, seiring perasaan yang semakin berat untuk dipahami.

Felix terdiam sejenak, menarik napas dalam-dalam. Lalu, dengan suara yang lebih rendah, penuh perasaan, dia berkata, "... Itu karena, kau pilihanku... Sejak kita pertama kali bertemu, aku sudah menatap mata milikmu... Kau harus tahu, aku melakukan semua ini bukan karena aku harus memilikimu, tapi untuk menghilangkan rasa balas dendam. Seseorang yang ingin membuatmu tersenyum akan gagal karena aku telah memberitahumu bahwa yang membuatmu tersenyum hanyalah seorang pahlawan yang menyelamatkan dia yang tidak bisa apa-apa. Tak peduli kau tersenyum karena apa, ini semua bukanlah kesalahan terbesar jika kau sudah bisa bersamaku, karena ini adalah keinginanku, dan sekarang menjadi keinginanmu... Amai... Aku juga mencintaimu."

Neko terdiam, perasaan yang campur aduk menguasai dirinya. Dia terkejut dan tak percaya dengan kata-kata Felix yang terdengar begitu tulus dan penuh makna. Seluruh dunia seakan berhenti sejenak, dan hanya ada mereka berdua di ruang itu, dikelilingi oleh kehangatan yang perlahan mengalir di dalam hati masing-masing.

Felix kemudian meraih tangan Neko dan memasangkan cincin. Suasana menjadi hening, hanya suara detak jantung mereka yang terdengar.

"Itu..." kata Neko, terdiam, bingung dan terkejut dengan cincin yang kini terpasang di jari manisnya.

"Aku melepas cincin ini karena kau tak bisa membawanya koma. Aku menyimpan ini hingga kau sadar. Ingat ini cincin apa?" kata Felix dengan lembut.

Lalu, Neko tersenyum dan mengangguk, mata yang sedikit berkaca-kaca. "Itu cincin pernikahan kita."

--

"Pangeran kecil, kau bilang suka kue apel... Bagaimana jika kita mengobrol di kafe yang aku suka?" tatap Sheo Jin dengan senyum ringan yang terlukis di wajahnya, matanya berkilau penuh rahasia. Suasana di luar kafe begitu tenang, dengan langit sore yang mulai gelap, menciptakan atmosfer hangat yang sempurna untuk perbincangan intim.

"Tentu, Nona Sheo," jawab Hwa dengan patuh, suaranya terdengar tenang, namun ada sedikit rasa penasaran yang tersirat. Ia mengikuti Sheo Jin memasuki kafe yang terletak di sudut jalan yang agak sepi, jauh dari keramaian kota. Begitu mereka duduk, Hwa merasakan kedamaian yang jarang ia temui di tempat lain. Kafe itu dihiasi dengan lampu-lampu redup yang memancarkan cahaya lembut, sementara aroma kopi yang baru diseduh mengisi udara, menambah kenyamanan. Sebuah meja kecil dengan dua kursi, dikelilingi oleh tanaman hijau yang merambat di sekitar jendela, menyambut mereka dengan kehangatan yang alami.

Sheo Jin sudah duduk dengan tenang, memegang secangkir teh hangat yang mengeluarkan uap tipis di atasnya. Di depan Hwa, terletak sepotong kue apel yang terlihat sangat menggugah selera, dengan lapisan karamel yang mengkilap dan irisan apel yang tertata rapi di atasnya. Hwa menatap kue itu sebentar sebelum matanya melayang ke sekitar kafe, menikmati setiap detail kecil yang ada.

Di belakang Sheo Jin, terdapat kaca besar yang mengarah ke jalanan. Hawa malam yang sejuk masuk melalui jendela, menciptakan suasana yang nyaman dan tenang. Lampu-lampu jalanan menyala redup, menciptakan bayang-bayang lembut di dinding kafe. Hwa mengamati sejenak suasana itu, merasakan ketenangan yang langka di tengah hiruk-pikuk hidupnya yang penuh dinamika.

"Um... Nona Sheo, apa ini tempat favorit Anda?" tanya Hwa, dengan nada yang lebih lembut. Ia berusaha menggali lebih dalam, merasakan aura tempat ini yang terasa sangat pribadi bagi Sheo Jin.

"Tentu, ini tempat favoritku karena sesuatu telah terjadi dan itu adalah hal yang paling aku suka," jawab Sheo Jin, suaranya penuh dengan kesan misterius, seolah tempat ini menyimpan cerita yang hanya sedikit yang tahu. Sheo Jin kemudian menyeret kursinya sedikit lebih dekat, menghadap Hwa, sambil mengarahkan pandangannya ke luar jendela. Cahaya lembut dari lampu jalanan mengintip melalui kaca, menambah keindahan suasana malam itu.

"Biarkan aku memberitahumu," lanjut Sheo Jin, matanya menatap tajam ke luar. "Lihat di seberang sana, itu adalah tempat di mana orang tuamu sangat dekat," kata Sheo Jin, sambil menunjuk dengan jari ke luar kaca, ke arah sebuah taman kecil yang tampak sepi. Tempat itu terlihat tenang, seakan menyembunyikan banyak cerita di balik pohon-pohon yang tertata rapi.

Hwa mengikuti arah jari Sheo Jin dan melirik ke luar jendela. Pemandangan itu terlihat biasa, tetapi ada sesuatu yang membuatnya terdiam. Ia merasa seperti ada cerita yang tersembunyi di balik tempat itu.

Lalu, Sheo Jin mengeluarkan ponselnya dengan gerakan santai. Di layar ponsel itu, tampak sebuah foto yang membuat Hwa terkejut. Foto itu menunjukkan Felix sedang menggendong Neko di taman yang tampak sepi itu. Hwa terdiam sejenak, matanya terfokus pada gambar itu, mencoba memahami apa yang ia lihat.

Seketika, Hwa terkesan melihat foto tersebut. Sebuah perasaan aneh menyelusup dalam dirinya, seperti ada sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar gambar itu.

"Orang tuamu sangat cocok," kata Sheo Jin, mengamati ekspresi Hwa dengan seksama. "Dulu, ibu-mu sangat tidak patuh pada ayah-mu, tapi sekarang dia benar-benar sangat ingin dekat dengannya. Kau beruntung punya orang tua yang unik." Kata-kata itu terucap dengan nada yang dalam, penuh pemahaman, seolah Sheo Jin mengetahui lebih banyak tentang hubungan itu daripada yang terlihat.

"Ya, aku sangat beruntung," jawab Hwa dengan suara rendah, matanya sedikit berkaca-kaca. Ia merasa terharu mendengar kata-kata Sheo Jin yang begitu jujur, meskipun ada sedikit kebingungannya. "Ngomong-ngomong, kenapa Nona Sheo menjadikan tempat ini favorit hanya karena memotret orang tuaku?"

"Hehe," Sheo Jin tertawa pelan, senyum tipis terukir di wajahnya. "Tempat ini paling bisa buat aku melihat mereka secara sembunyi-sembunyi. Tempat ini juga yang menjadi saksi aku memotret kemesraan mereka. Sebenarnya aku dulu akan menggunakan foto ini sebagai saksi mereka ingin bersama, eh ternyata mereka bersama secara alami." Suaranya terdengar seperti cerita yang penuh dengan rahasia, dan Hwa merasa seperti dia baru saja mendengar kisah yang tak banyak orang tahu.

Kata-kata Sheo Jin menggantung di udara, menciptakan suasana penuh misteri yang menambah kedalaman hubungan mereka. Meskipun Hwa tidak sepenuhnya mengerti, ia bisa merasakan ada banyak cerita yang belum diceritakan, sebuah ikatan yang lebih dalam yang membentuk pandangannya terhadap orang tuanya, dan mungkin, terhadap Sheo Jin itu sendiri.