"Ibu?" Hwa menatap cemas karena Neko terdiam. Matanya yang besar dan penuh keprihatinan memantulkan cahaya lembut dari jendela ruangan.
"Ah, ada apa?" Neko tersadar dari pikirannya. Suaranya terdengar sedikit gemetar, seolah baru saja kembali dari lamunan yang berat. Ia menatap Hwa dengan tatapan lembut, namun raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang sulit disembunyikan. Perlahan, ia mengarahkan pandangannya ke perut Hwa.
"Hwa, boleh Ibu melihat lukamu?" tanyanya dengan suara pelan, penuh kehati-hatian. Ia mendekat, tangan dinginnya menyentuh lembut bahu Hwa sebelum bergerak ke perut putranya itu.
"Ya, Ibu." Hwa mengangguk patuh. Dengan gerakan ragu namun tegas, ia mulai membuka kancing bajunya satu per satu. Ketika bajunya terbuka sepenuhnya, luka di sisi perutnya terlihat jelas di bawah cahaya hangat yang masuk dari jendela.
Bekas jahitan itu masih merah, bukti bahwa lukanya belum lama sembuh. Meski tanpa perban, luka itu menunjukkan tanda-tanda penyembuhan, tetapi jelas akan meninggalkan bekas permanen di kulit Hwa yang halus. Bekas luka itu begitu lebar dan mendalam—hasil dari prosedur rumit untuk penukaran hati yang pernah dijalaninya.
"Hwa, tetaplah jaga hal ini. Jangan menambah luka lagi," kata Neko dengan nada yang lembut, tetapi tegas. Tangannya yang bergetar pelan menyentuh permukaan luka itu dengan hati-hati, seolah takut melukai lebih dalam. Wajahnya mencerminkan kepedulian yang dalam, matanya memancarkan kekhawatiran seorang ibu yang tak bisa disembunyikan.
Di saat itu juga, Hwa menatap Neko dengan ekspresi penuh rasa bersalah. "Ibu... Aku mohon jangan memasang wajah ini." Ia mengangkat tangannya yang kecil, memegang pipi Neko dengan sentuhan penuh kasih. "Aku tak mau Ibu kecewa, sedih, dan tidak senang dengan ini. Yang aku harapkan, ketika Ibu bangun, aku ingin melihat senyuman Ibu," ucapnya pelan. Suaranya bergetar, mencerminkan ketulusan dari hatinya yang polos. Ia menempelkan keningnya ke kening Neko, mencari kenyamanan dalam kehangatan ibunya.
Lalu Neko tersenyum, meski air mata menggenang di sudut matanya. Ia memeluk Hwa dengan erat, menumpahkan seluruh kasih sayangnya dalam pelukan itu. "Kau benar-benar sama seperti ayahmu," bisiknya, suaranya hampir tenggelam oleh emosi yang memenuhi ruangan.
Di sisi lain, Felix duduk di kursinya yang besar di ruang kerja. Ia membuka dokumen yang tergeletak rapi di mejanya. Cahaya lampu meja menyoroti setiap tulisan dalam dokumen itu, yang ternyata berasal dari Sheo Jin.
Felix terdiam sebentar, matanya menyipit membaca setiap halaman dengan teliti. "(Tunggu... Ini... Dokumen yang aku berikan padanya harus dikerjakan. Kenapa ada di sini?)" pikirnya. Dengan alis yang berkerut, ia membuka lembar demi lembar, sampai akhirnya matanya tertuju pada sebuah pesan yang ditulis dengan tangan Sheo Jin.
"Aku sudah selesai. Jadi, aku bisa melihat putramu kan~"
Felix menghela napas panjang, suaranya menggema di ruangan yang sunyi. Ia memijat pelipisnya dengan gerakan lambat, mencoba meredakan rasa lelah yang menyerangnya.
"Terserah...." gumamnya, suaranya terdengar lesu.
---
Siang itu, di ruangan lain, Hwa duduk di tepi ranjang sambil menatap dua bayi yang tertidur pulas. Wajah mereka tampak damai, nafas kecil mereka naik turun dengan irama yang lembut. Cahaya matahari siang menembus tirai tipis, menciptakan bayangan yang menari-nari di dinding.
Neko mendekat perlahan. Langkah kakinya nyaris tidak bersuara di atas lantai kayu yang halus. Ia berdiri di belakang Hwa, memperhatikan putranya yang terlihat begitu tenggelam dalam pandangan kepada kedua bayi itu.
"Hwa... Kau sudah menatap mereka sangat lama. Apa kau tidak mau melakukan hal penting lain?" tanyanya lembut, sambil duduk di samping Hwa.
"Hanya mereka yang aku tunggu, Ibu," jawab Hwa tanpa mengalihkan pandangannya. Ia menatap kedua bayi itu dengan penuh rasa ingin tahu. "Oh... Nama mereka siapa, Ibu?"
Neko tersenyum kecil, tetapi ada sesuatu yang dalam di balik senyum itu. "Saat kau besar nanti... Kau akan tahu."
"Eh... Kenapa? Aku benar-benar heran sekali. Kenapa kalian semua berkata, 'Tunggulah besar, tunggulah besar.' Haiz... Itu sangat lama. Bagaimana jika aku lupa soal pertanyaanku?" Hwa menggerutu, suaranya terdengar seperti anak kecil yang merajuk, namun tatapan matanya penuh harapan.
Neko tertawa pelan, membelai kepala Hwa dengan lembut. "Itu karena tumbuh besar adalah saat di mana kau bisa menangkap dan menerima keseimbangan dalam kehidupan. Tak peduli kau mau bertumbuh sampai kapan pun, ingatanmu akan selalu tersimpan. Dan ingat pesan Ibu..."
"Selalu tersenyum," Hwa menyela cepat, membuat Neko tersenyum lebih lebar.
Ruangan itu dipenuhi kehangatan, tetapi suasana itu terganggu oleh suara ketukan pelan di pintu.
"Tok, tok... Halo...." Suara ceria terdengar dari balik pintu, yang kemudian terbuka perlahan. Rupanya Sheo Jin. Ia masuk dengan langkah ringan, senyumnya melebar saat melihat Hwa.
Mata Sheo Jin berbinar-binar ketika melihat Hwa. Di benaknya, anak itu seolah adalah pangeran kecil dari dongeng. "Kya... Pangeran kecil~" serunya, melangkah mendekat dan memeluk Hwa hingga mengangkat tubuhnya. Hwa tampak terkejut, matanya membelalak.
"No... Nona Sheo... Apa yang kau lakukan?" tanya Hwa bingung, mencoba memahami situasi.
"Hah... Oh.... Gadisnya Felix, lihat dia! Baru saja berkata formal dan sopan... Sama seperti ibunya. Oh, astaga... Kau sangat tampan. Dia bahkan memanggilku 'Nona.' Hehe."
Neko, yang berdiri di sudut, menatap Sheo Jin dengan ekspresi lembut namun ingin tahu. "Apa ada sesuatu yang kau perlukan di sini?" tanyanya.
"Aku ingin membawa Hwa jalan-jalan. Aku sudah bilang, kan, saat di rumah sakit itu~" jawab Sheo Jin dengan senyuman nakal.
"Eh apa?!!" Hwa terkejut mendengar itu.
"Ohoho, kenapa? Apa kamu mau menolak tawaran nona yang manis ini, Hwa kecil?" tatap kembali Sheo Jin.
Hwa tampak ragu, lalu dia menoleh ke Neko layaknya dia menginginkan izin pada Neko. Lalu Neko tersenyum lembut dan mengangguk. "Pergilah, jaga sikap mu yah...."
Hingga terlihat langit kota dihiasi warna keemasan senja, sementara aroma manis dari toko roti yang tersebar di sepanjang jalan menyapa hidung. Orang-orang berlalu-lalang, sebagian sibuk berbelanja, sebagian lagi sekadar menikmati suasana kota. Suara langkah kaki Sheo Jin dan Hwa terdengar pelan di antara keramaian, sesekali bersahutan dengan tawa anak-anak yang bermain di sekitar.
Sheo Jin, dengan senyum lembutnya, menggandeng tangan Hwa, dengan wajahnya yang memancarkan rasa ingin tahu yang polos. Di balik senyumnya, Sheo Jin memperhatikan setiap gerak-gerik Hwa, seolah berusaha membaca pikiran kecil di balik mata bening itu.
"Pangeran kecil, jika aku boleh tahu, apa kamu suka tempat ini?" tanya Sheo Jin sambil melirik Hwa dengan mata penuh rasa penasaran. Langkah mereka melambat, dan angin sore membawa sejuk yang menenangkan.
"Um, aku suka, terima kasih sudah mengajak ku, Nona Sheo," jawab Hwa sopan dengan suara pelan tapi jelas, membuat Sheo Jin tersenyum semakin lebar.
"(Wah... Apa gadisnya Felix benar-benar mengajari pangeran kecil ini soal attitude? Sangat keren...)" pikir Sheo Jin. Ia menarik napas dalam-dalam, mengisi dadanya dengan udara sore yang menyegarkan sebelum melanjutkan. "Oh, ngomong-ngomong, apa makanan kesukaanmu, Pangeran kecil?"
Hwa menoleh sedikit, seolah ingin memastikan keseriusan Sheo Jin sebelum menjawab. "Aku... suka kue apel. Bagaimana denganmu, Nona?" tanyanya dengan polos.
"Haha... (Dia benar-benar bertanya balik...) Aku juga suka kue apel... (Asal saja... Aku lebih suka sama dia,)" gumam Sheo Jin dalam hati, mencoba menyembunyikan gelak tawanya.
Di sekitar mereka, lampu-lampu kota mulai menyala satu per satu, memberikan nuansa hangat pada suasana yang perlahan berubah menjadi malam. Jalan-jalan tampak hidup dengan suara pedagang yang menawarkan barang dagangan mereka. Tapi di tengah keramaian itu, percakapan kecil mereka tetap terasa intim dan bermakna.
"Dan... apa ayah dan ibumu mengatakan sesuatu padamu, seperti pesan mungkin?" tanya Sheo Jin dengan suara lebih pelan, nyaris berbisik. Tatapannya penuh perhatian, seolah tidak ingin melewatkan satu kata pun yang akan diucapkan Hwa.
Hwa pun terdiam sejenak, pandangannya menunduk ke jalan berbatu di bawah kakinya. "Entahlah... Pesan mereka berbeda, tapi menurutku itu memiliki arti dan tujuan yang sama. Meskipun aku belum yakin bisa melakukannya," jawabnya dengan nada yang terdengar dewasa untuk anak seusianya.
"Oh begitu ya... Hm... Begini saja, aku ingin tahu. Saat kau besar nanti, kau ingin menjadi apa?" tanya Sheo Jin lagi, kali ini dengan nada lebih lembut, seperti angin malam yang berembus perlahan.
"Aku ingin menjadi pahlawan. Yang selalu melukis apa pun yang bisa aku gambarkan dengan imajinasi cinta yang kudapat.
Tak peduli menjadi pahlawan seseorang atau dunia, aku hanya ingin mencari seseorang yang lembut seperti ibu dan kuat seperti ayah.
Aku juga ingin menjadi kakak yang baik dengan menjaga adik-adikku."
Sheo Jin tertegun mendengar jawaban itu. "(Ouch... Ini benar-benar menyentuh... Gemas banget aku sama dia...)" pikirnya, sambil menatap wajah Hwa yang bersinar dalam keremangan lampu jalan. "Kau benar-benar manis, Pangeran kecil. Oh, benar, aku ingin memberikanmu ini," katanya, mengeluarkan sebuah kotak kecil dari tasnya.
Hwa menatap kotak itu dengan mata membesar, ragu-ragu. "Eh... Maaf, Nona Sheo, aku tidak pantas menerimanya."
"Ayolah, jangan jadi gak enakan. Aku teman ayahmu, jangan khawatir," jawab Sheo Jin sambil tersenyum meyakinkan.
"Um... baiklah. Terima kasih," kata Hwa akhirnya, dengan hati-hati membuka kotak itu. Sesaat ia terdiam, terpana melihat isi kotak tersebut: sebuah pensil khusus, berkilauan di bawah cahaya lampu jalan. Pensil itu bertuliskan merek ternama, sesuatu yang tampak sangat mahal dan istimewa.
"I... ini... Kenapa pensil?" Hwa bertanya dengan bingung, menatap Sheo Jin seolah mencari penjelasan.
"Bukankah kau suka menggambar? Kau bilang kau ingin melukiskan kebahagiaan yang berasal dari cinta, tapi pesanku... Kau tak perlu mengaitkannya dengan imajinasi cinta. Yang harus kau gambarkan adalah cinta yang nyata, yang sudah terjadi padamu. Kau mengerti, kan, Pangeran kecil?
(Sebenarnya gadisnya Felix tak sengaja memberitahuku bahwa Pangeran kecil benar-benar pandai menggambar dan bisa menyembunyikan kemampuannya. Jadi dia memintaku agar Pangeran kecil tidak menyembunyikan kemampuan itu. Tunjukkan pada mereka bahwa kau bisa melakukan apa yang seharusnya bisa dihargai,)" jelas Sheo Jin dengan nada penuh harapan.