Chereads / Bloody Line: Under The Drop of Blood / Chapter 306 - Chapter 306 Not a Faded

Chapter 306 - Chapter 306 Not a Faded

Satu minggu selanjutnya, di sebuah kamar yang penuh kehangatan, Neko duduk di kursi kecil di sudut ruangan. Tatapannya lembut, penuh kasih sayang, tertuju pada kedua bayinya yang tidur berdampingan di ranjang kecil yang empuk. Cahaya matahari pagi yang masuk melalui celah tirai memberikan sentuhan keemasan pada wajahnya. Ia tersenyum, menikmati momen kedamaian itu. Namun, suasana tenang itu sedikit terusik saat suara langkah kaki yang familiar terdengar mendekat. Felix muncul di ambang pintu, matanya menatap lembut ke arah Neko.

Namun, suara ponselnya tiba-tiba berdering, memecah kesunyian. Nada dering itu terdengar begitu nyaring di tengah suasana damai, membuat Felix menghela napas frustrasi. Ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya dengan gerakan tergesa-gesa dan melangkah keluar untuk menerima panggilan itu. Langkahnya berat, seakan ia enggan meninggalkan ruangan. Beberapa saat kemudian, setelah percakapan singkat, ia kembali hendak masuk ke kamar.

Namun, saat tangannya baru menyentuh gagang pintu, sesuatu yang tak terduga terjadi. Pintu itu terbuka dari dalam dengan perlahan, dan Felix mendapati Neko keluar. Tapi yang membuatnya membeku di tempat adalah kehadiran seorang pria yang berdiri di belakang Neko. Wajah pria itu penuh ancaman, tangannya mencengkeram erat leher Neko sambil menempelkan pisau tajam ke kulit lehernya. Mata pria itu penuh amarah, menyiratkan ketegangan yang mencekam.

"Mundur!!" teriak pria itu dengan suara kasar, membuat Felix terhenti. Matanya terpaku pada Neko, yang kini tampak begitu rapuh.

Felix menatap pemandangan itu dengan perasaan campur aduk antara marah dan cemas. "(Orang suruhan... Berani menyentuhnya!)" pikirnya, tangannya mengepal hingga kuku-kuku jarinya memutih.

Neko, yang biasanya penuh percaya diri, kini hanya bisa terdiam. Ia tak berani bergerak, bahkan napasnya pun tampak tertahan. Pisau itu terlalu dekat, begitu tajam, hingga goyangan sekecil apa pun bisa membawa bencana. Ia merasa keringat dingin mengalir di pelipisnya, sementara seluruh tubuhnya terasa kaku.

"Mundur..." suara pria itu terdengar lagi, kali ini lebih tegas. Dengan gerakan perlahan, ia menyeret Neko keluar kamar, melewati Felix yang hanya bisa berdiri terpaku. Pria itu berjalan mundur, memastikan Felix tetap pada posisinya.

Namun, tanpa sepengetahuannya, dari balik dinding di belakang pria itu, Kim telah bersiap dengan pistol di tangannya. Kim berdiri dengan tenang, matanya tajam mengawasi gerakan pria itu. Di bawah tekanan, Kim tetap tak tergoyahkan, jarinya siaga di pelatuk.

Felix, yang sudah menyadari keberadaan Kim, hanya diam meski tubuhnya gemetar menahan amarah. Keinginannya untuk menyerang pria itu begitu kuat, tetapi ia tahu harus menunggu saat yang tepat.

"(Oh... Astaga... Aku akan kena apa lagi... Aku sudah bisa merasakan pisaunya menggores leherku...)" pikir Neko, matanya mulai terasa panas oleh air mata yang tertahan. Ia memejamkan mata, berharap semua ini segera berakhir. Tapi tepat saat ia berpikir demikian, ia merasakan rasa perih di lehernya. Pisau itu telah menggores kulitnya, dan darah hangat mulai mengalir perlahan.

Felix yang melihat itu tak bisa menahan diri lagi. Ia berteriak dengan lantang, "Sekarang!!"

Dalam hitungan detik, suara tembakan terdengar, menggema di ruangan. Kim telah menarik pelatuk, pelurunya tepat mengenai jantung pria itu. Tubuh pria itu terhuyung, cengkeramannya pada Neko terlepas. Namun, Neko yang sudah terlalu lemah jatuh ke lantai. Felix bergerak cepat, menangkap tubuhnya sebelum menyentuh lantai.

"Amai..." gumam Felix dengan suara bergetar. Ia segera menutup luka di leher Neko dengan tangannya, darah yang hangat terasa di kulitnya.

"Kau baik-baik saja?!" seru Felix, suaranya penuh kepanikan.

Neko mengangkat wajahnya dengan pelan, matanya menatap Felix yang panik. "Apa yang kau maksudkan? Aku baik-baik saja," jawabnya tenang sambil menyingkirkan tangan Felix. Tapi apa yang dilihat Felix membuatnya terkejut. Leher Neko, yang ia kira terluka parah, ternyata tak menunjukkan tanda-tanda cedera.

"(Apa tadi hanya perasaanku?)" pikir Felix. Namun, sebelum ia sempat mencerna semuanya, suara lain terdengar, kali ini begitu nyata.

"Heii... Sudah berapa lama kamu akan tidur? Bangunlah!" Suara Neko terdengar begitu akrab, memanggilnya. Felix membuka matanya, mendapati dirinya terbangun di ranjang, napasnya masih berat.

"Apa?" gumamnya, matanya menatap kosong, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Ia melihat Neko duduk di sampingnya, tatapannya penuh kesal.

"Bangun, kau pemalas..." ucap Neko sambil melipat tangannya.

"Tunggu, Amai?" Felix langsung bangun dan duduk, tangannya memegang baju Neko dengan erat. Wajahnya penuh kebingungan dan sedikit panik. Neko yang tak mengerti hanya menatapnya dengan heran.

"Kenapa? Kau bermimpi sesuatu?" tanyanya sambil mengerutkan kening.

"Mimpi? Apa itu tadi hanya mimpi? Orang itu menggores lehermu..." gumam Felix sambil mengangkat tangannya, menyentuh leher Neko dengan hati-hati.

Neko menepis tangan Felix dengan kasar. "Sudah cukup membahas mimpimu. Kau selalu bermimpi hal yang membuatku mati... Cepat bangun dan sarapan!" katanya kesal, lalu bangkit dan berjalan keluar kamar. Felix hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh, tubuhnya masih terasa lemah.

Namun, pikirannya tetap dihantui oleh bayangan yang terasa begitu nyata. "(Astaga... Apa itu tadi hanya mimpi?)" pikirnya, mencoba meyakinkan diri.

Tak lama kemudian, di sebuah ruangan bayi yang hangat dan penuh cinta, terdengar suara lembut. Ruangan itu dihiasi dengan warna-warna pastel yang menenangkan, dipenuhi perabotan bayi yang tertata rapi. Di sudutnya, dua bayi mungil terbaring di ranjang bayi, terbungkus selimut lembut berwarna krem. Bayi-bayi itu terlihat damai, napas mereka teratur seperti ritme lembut yang mengisi ruangan.

"Mereka sangat manis," ujar Neko dengan suara yang penuh rasa kasih sayang. Matanya berbinar saat ia menatap kedua bayinya yang tidur dengan tenang. Senyum tipis menghiasi wajahnya, memperlihatkan kebahagiaan yang tulus. Felix berdiri di sampingnya, memperhatikan pemandangan itu dengan perasaan yang sulit diungkapkan. Ada kehangatan di matanya, tetapi juga bayangan pikiran yang membuatnya terdiam.

Felix tiba-tiba mengangkat tangannya, menyentuh leher Neko dengan gerakan perlahan. Sentuhan itu membuat Neko terhenti sejenak, pandangannya teralihkan dari bayi-bayinya. Ia menengadah, menatap Felix dengan rasa bingung yang tergambar jelas di wajahnya.

"Maafkan aku, aku pikir tadi kau terkena pisau di lehermu," ucap Felix akhirnya, suaranya pelan namun sarat dengan kekhawatiran yang mendalam. Tatapannya serius, seperti sedang memeriksa sesuatu yang tidak terlihat.

Mendengar itu, Neko tetap diam. Bibirnya terkatup rapat, tetapi matanya menunjukkan pemahaman. Perlahan, ia mengangkat tangannya, menyentuh pipi Felix dengan lembut. Gerakan itu penuh kasih, seperti ingin menenangkan Felix dari kecemasan yang melandanya.

Felix, yang sebelumnya tampak tegang, mendekat perlahan. Tubuhnya sedikit menunduk, niatnya jelas untuk mendekati Neko lebih intim. Ruangan itu terasa sunyi, hanya suara napas bayi dan ketukan jam dinding yang menemani mereka.

Namun, momen itu terpecah. Suara pintu yang terbuka dengan lembut mengganggu suasana. Neko segera mengalihkan wajahnya, menghindari ciuman Felix. Felix berdiri tegak, wajahnya berubah kesal. Pandangannya langsung mengarah ke sumber gangguan itu, matanya menyipit seakan mempertanyakan keberanian orang tersebut menginterupsi.

Di ambang pintu, Kim berdiri. Wajahnya memucat saat menyadari situasi yang ia ganggu. Ia segera membungkukkan badan dengan tergesa-gesa, tubuhnya kaku seperti orang yang baru saja melakukan kesalahan besar.

"Ma... Maafkan aku... Aku akan keluar," ucapnya dengan suara yang hampir bergetar.

"Tunggu," suara Neko terdengar, lembut tetapi tegas. Kim menghentikan langkahnya, mengangkat wajah perlahan, masih dengan ekspresi ragu.

"Kau ingin mencari siapa?" tanya Felix. Suaranya dalam, dengan nada tajam yang mengintimidasi. Alis tebalnya menambah kesan serius pada pertanyaan itu.

"... Aku hanya ingin menemui Nona Neko," jawab Kim dengan nada hati-hati, seolah setiap kata yang keluar dari mulutnya harus dipertimbangkan matang-matang.

"Ada apa?" Neko menatap Kim dengan pandangan tenang, meskipun sedikit kebingungan terpancar dari matanya.

"... Bagaimana kabar Anda? Apa Anda baik-baik saja?" tanya Kim, pandangannya bergantian antara Neko dan Felix, seperti takut salah bicara.

Neko tersenyum kecil. Senyumnya lembut, menenangkan suasana canggung yang melingkupi mereka. "Aku baik-baik saja. Terima kasih sudah bertanya," jawabnya.

"Ya, aku harap Anda baik-baik saja. Ngomong-ngomong, Tuan Kecil sebentar lagi pulang dari sekolahnya," tambah Kim. Kata-katanya terdengar seperti usaha untuk mengalihkan fokus, mengembalikan percakapan ke hal yang lebih formal.

Sementara itu, Acheline menghentikan motornya di depan rumah besar yang terlihat megah namun penuh dengan kehangatan. Suara deru mesin motor yang memudar terasa menyatu dengan senja yang mulai meredup. Ia mematikan mesin, menoleh ke arah Hwa yang menunggunya di tepi jalan. Hwa, dengan senyumnya yang khas, menyambut kedatangan Acheline dengan raut wajah yang penuh kegembiraan.

Acheline turun dari motor dengan gerakan luwes, seolah-olah gerakannya sudah terlatih ribuan kali. Ia melangkah mendekat, wajahnya yang selalu tenang seperti menyimpan banyak hal yang tak diungkapkan.

"Terima kasih, Acheline," ucap Hwa sambil melepas helm yang dikenakannya. Tangannya yang kecil menyerahkan helm itu dengan sopan, tatapannya penuh penghargaan.

"Selalu, Tuan Kecil," jawab Acheline sambil mengambil helm itu dengan tangan yang cekatan. Senyumnya yang tipis terlihat tulus, meski ada sedikit kesan misterius yang selalu melekat padanya.

"...Apa saat aku besar nanti, bolehkah aku mengendarai motormu?" tanya Hwa tiba-tiba. Matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. "Dari awal kau mengantar dan menjemputku, itu terlihat keren."

Acheline tertawa kecil, suaranya rendah namun hangat. "Tentu, Tuan Kecil. Tak hanya meminjam, kau juga boleh membelinya," jawabnya dengan nada ringan. Ia mengusap helm yang dipegangnya sejenak, seperti mengenang sesuatu. "Aku akan merekomendasikan yang terbaik."

"Ya, terima kasih," balas Hwa sambil membungkukkan badannya dengan sopan. Setelah itu, ia berjalan menuju pintu rumah dengan langkah kecil namun penuh semangat, meninggalkan Acheline yang tetap berdiri di tempat.

--

"Aku kembali," ucap Hwa lirih sambil melangkah masuk. Suaranya terdengar lembut, hampir berbisik, namun penuh dengan rasa lega. Ia baru saja ingin berjalan menuju kamarnya, tapi langkahnya terhenti ketika suara samar terdengar dari salah satu ruangan.

Di dalam ruangan yang remang-remang, dua keranjang bayi kecil terlihat terletak berdampingan. Bayangan senja yang masuk dari jendela mempertegas kehangatan di dalam ruangan itu.

Hwa tersenyum terpana. Senyumnya lembut, penuh rasa kagum, seolah-olah menemukan sesuatu yang sangat berharga. Ia melangkah mendekat perlahan, nyaris tanpa suara, tak ingin mengganggu suasana damai yang terpancar dari kedua bayi itu.

"Mereka..." gumamnya pelan, suaranya seperti tertahan.

"Hwa..." Sebuah suara lembut memanggil dari belakangnya. Hwa menoleh dan melihat Neko yang mendekat.

"Ibu... Ibu... Aku senang Ibu di sini..." Dengan langkah cepat, Hwa menghampiri Neko dan langsung memeluknya erat.

"Kau sudah melihat mereka, Hwa?" tanya Neko dengan senyuman lembut.

"Ya... Aku sudah tahu itu... Mereka sangat imut," balas Hwa penuh kegembiraan.

"Ibu, apa Ibu baik-baik saja, kan?" tanya Hwa dengan suara pelan namun sarat kekhawatiran.

"Ibu baik-baik saja," jawab Neko sambil membelai kepala Hwa dengan lembut. "Ngomong-ngomong, tadi saat Ibu masuk ke kamarmu, ada bunga mawar yang dulu kita warnai bersama. Bukankah warnanya hijau? Kenapa sekarang menjadi biru?"

"Oh, itu Acheline yang merawatnya," jawabnya polos. "Dia bilang dia akan mengubahnya menjadi biru. Aku tidak tahu karena aku ada di rumah sakit."

Neko menjadi terdiam. "(Apa dia tahu maksud dari itu adalah perumpamaan?)"