Chereads / Bloody Line: Under The Drop of Blood / Chapter 304 - Chapter 304 Not a Faded

Chapter 304 - Chapter 304 Not a Faded

Setelah Hwa dinyatakan bisa dipulangkan, ia langsung ke ruang rumah sakit bagian ruang bayi. Ia lalu melihat di kedua ranjang bayi ada dua bayi yang tertidur. "Wah, mereka sangat imut dan manis," kata Hwa. Lalu salah satu dari mereka terbangun, yakni bayi laki-laki itu.

"Eh, dia terbangun."

"Dia mungkin mendengar suara kakaknya dan penasaran ingin melihatnya," kata Felix yang ada di sampingnya, lalu seorang perawat datang. "Halo Hwa, kau ingin menggendong adikmu?" tanyanya.

"Benarkah, apa boleh?"

"Tentu," balas perawat itu sambil mengambil bayi lelaki itu. Hwa menerima bayi itu dengan hati-hati, tatapan bayi itu benar-benar datar karena masih belum tahu apa-apa.

"Hehe, jangan menatapku datar begitu, ayolah senyum," kata Hwa. Tapi sepertinya bayi itu membuang wajah, membuat Hwa terkejut; ia menebak bayi itu tak mau padanya.

"Aku akan menitipkannya padamu," kata Felix pada perawat itu, lalu perawat itu mengangguk dan Felix meninggalkan mereka. Ia ke ruangan Neko dan melihat Neko masih tertidur di sana. Felix mendekat, ia memegang tangan Neko.

"Amai... Kau harus tahu betapa senangnya Hwa melihat kedua bayi kita," kata Felix.

Lalu Felix menatap ke jendela. "(Ini sudah hampir 4 hari... Kau harus bangun apa pun yang terjadi,)" tatapnya pada Neko, lalu ia kembali mengingat sesuatu. Melihat Hwa dan bayi-bayinya itu, ia menjadi teringat saat ia kecil, terutama kakak perempuannya, Liza, yang sudah lama meninggal.

"Amai... Jika kau bertemu dengannya nanti, aku mohon berikan kesan yang baik dariku," kata Felix. Ia tetap sabar dan menemani Neko untuk bangun, lalu mencium tangan Neko.

"Aku akan selalu menunggumu di sini."

Dia akan selalu menemani Neko di sana, Neko yang tidak akan bangun bisa dia percayai akan bangun dengan cepat. Hingga hari hari berlalu dengan cepat.

"Amai... Ini sudah hari ke-15... kau benar-benar belum bangun." Felix masih tetap menunggu Neko, duduk di kursi samping ranjang. Dia melihat ke jendela, sudah musim semi. "Ini sudah musim semi... Dua bayi kita masih ada di rumah sakit karena mereka agak lemah..." tatapnya pada Neko, ia memegang tangan Neko dengan pelan dan menatap Neko yang masih tak membuka matanya.

"(Dari awal hingga akhir, kisah ini akan berakhir dengan kebahagiaan yang berkualitas. Aku mulai dari awal, saat aku masih seumur Hwa, dan kau masih lebih kecil dariku. Kita memiliki umur yang berbeda, tapi kita adalah pasangan yang sempurna, semua orang mengatakan itu pada kita. Aku bertemu denganmu, aku menikahimu, dan juga membuat kebahagiaan untukmu, hingga akhirnya kau bisa membuat semua ini memiliki akhir yang bahagia, tapi sekarang entah kapan akhir buruk ini akan berlangsung. Aku akan mengatakan ini akhir bahagia jika kau terbangun nantinya,)" pikir Felix. Lalu ponselnya berbunyi menandakan ia harus segera kembali ke kantor.

Ia berdiri dan sebelumnya mendekat, mencium kening Neko, lalu berjalan pergi untuk ke gedungnya.

Sementara itu di sekolah Hwa, sejak ia keluar dari rumah sakit, ia selalu dikerumuni teman-temannya, satu-satu mereka menanyakan dengan penasaran. "Hwa... Apa kau benar-benar baik-baik saja?" tanya mereka.

"Hehe, jangan khawatir teman-teman, aku benar-benar baik-baik saja. Apa yang kalian khawatirkan, bukankah aku sudah bercerita," balas Hwa dengan ramah dan santai.

"Tapi, bagaimana dengan hati orang itu, siapa yang mendonorkan darahmu?" tanya mereka. Di saat itu juga Hwa terdiam berpikir. "(Benar juga, aku tak tahu siapa pendonorku.)"

Saat pulang sekolah, ia berniat bertanya pada ayahnya. Saat ini juga, Felix ada di ruangan kantor rumahnya.

"Ayah!!" Hwa langsung membuka pintu membuat Felix menoleh dari menulis dokumennya.

"Oh, maaf, aku lupa mengetuk," Hwa baru sadar, ia akan kembali mundur.

"Tak apa, ada apa Hwa?" tanya Felix.

"Ayah, bisa aku bertanya sesuatu?" Hwa langsung mendekat.

"Ajukan saja," balas Felix.

"Um... Bisa aku lihat siapa orang yang mendonorkan hatiku?" tanya Hwa.

". . ." Felix terdiam, lalu ia mengambil selembar foto kecil padanya. "Simpanlah ini," kata Felix, ia memberikan sebuah foto gadis manis di sana yang berpose sangat tenang di ranjang rumah sakit.

Hwa terdiam melihat foto itu.

"Ayah diberikan foto itu oleh ibu dari perempuan kecil itu, kau harus berterima kasih padanya jika kau bertemu dengannya nanti, di mimpi hingga di kematianmu. Bagaimanapun juga, gadis cilik itu telah membantumu dalam saat terakhirnya," kata Felix.

". . . Ini benar-benar tidak terduga, aku juga tidak tahu bahwa dia seorang perempuan, apa ini artinya aku memiliki hati perempuan?" Hwa memegang perutnya.

"Hati manusia sama, tak perlu memandang apa pun yang terpenting kau tetap selamat," kata Felix sambil membelai kepala Hwa. Lalu Hwa tersenyum dan mengangguk mengerti.

"Lalu, apa Ibu sudah bangun, Ayah?" tanya Hwa. Di saat itu juga Felix terdiam dan menghela napas panjang. "Belum, tunggu saja dia hingga bangun."

--

-

"(Di mana aku?)" Neko membuka mata melihat sekitar, dia terbangun di tempat yang aneh. Lantai putih dan langit yang putih. Seperti yang digambarkan dunia langit.

"Halo..." ada seseorang memanggilnya. Neko menoleh dan melihat seorang gadis yang terlihat sama dengannya, tingginya juga sama, tapi ada yang aneh di sini. Rambut dan mata gadis itu sama seperti warna milik Felix.

"(Apa dia...)" mata Neko melebar.

"Hai... Kenapa kau diam saja? Apa ada sesuatu... Tanyakan saja." Gadis itu menatap dengan wajah yang ramah dan manis.

"... Di mana... Aku?"

"Oh... Kau sudah mati."

"(Mati?!)" Neko menjadi terkejut.

"Aku belum memperkenalkan diri bukan? Aku adalah Liza, kakak perempuan dari Felix Park. Dia adikku yang paling hebat. Apa dia sudah mengatakan bagaimana aku mati?"

"Dia bilang... Kau mati karena... Leukimia."

"Yah, itu memang benar... Kehidupan kami dulu sangatlah keras. Semenjak orang tua kami membuang kami, aku mati-matian menjaga Felix di umurku yang masih muda. Dan aku memaksakan tubuhku hancur dengan mencari uang dengan menjadi pelacur. Saat itu aku tak mempedulikan kondisiku... Apapun untuk Felix akan aku lakukan... Tapi aku tidak ingat bagaimana aku mati dan di umur berapa Felix aku tinggalkan... Tapi aku melihat dari atas sini... Dia sudah menjadi seseorang yang sama sepertimu dulu. Kalian adalah manusia yang buas. Jika diibaratkan kau adalah harimau, maka Felix adalah serigala lebih besar. Dia sosok yang siap menggigit dan memangsa mu lebih kuat. Karena itulah kau nampak kesulitan lepas darinya. Aku benar-benar minta maaf jika dia bersikap seperti itu..." Gadis itu menatap dengan kecewa dan sedih, lalu perlahan menangis membuat Neko terkejut.

"Hiks, maafkan aku," dia meneteskan air mata sangat cepat. Neko yang menatapnya menjadi terdiam lalu mengangkat tangannya dan mengusap air mata Liza yang terdiam.

"Dia... Tidak sepenuhnya pria yang salah dan kejam. Dia hanya tak mau menggunakan hati miliknya untuk orang lain... Hanya orang terpilih saja yang bisa merasakan kehangatan miliknya. Karena dia juga telah mengalami hal yang membuat hatinya tak terbuka pada siapapun," kata Neko. Lalu Liza mengingat semuanya saat orang tuanya benar-benar telah menyia-nyiakan Felix sebagai putra mereka.

"(Dia benar... Orang tua kami... Hanya menginginkan uang dan keringanan. Mereka tak mengerti apa itu tanggung jawab, dan Felix benar-benar terbuka akan tanggung jawabnya bersama dengan gadis ini,)" pikir Liza menatap mata Neko.

"(Dia benar-benar sangat tepat dalam memilih seorang perempuan yang baik.) Terima kasih..." kata Liza. Dia memegang kedua tangan Neko.

"Mungkin kau harus kembali ke dunia... Aku mohon... Jaga Felix dan... Keponakanku itu... Mereka pasti sangat lucu-lucu."

"Tunggu... Kapan aku bisa... Bertemu denganmu lagi?" Neko menatap.

Lalu Liza mendekat dan memeluknya. "Jika kau ingin bertemu denganku lagi, peluklah Felix seperti ini. Maka pelukannya akan seperti saat ini juga."

"Baiklah," Neko membalas dengan tatapan masih tak percaya bisa bertemu dengan gadis tersebut.

"Oh ya, ngomong-ngomong... Apa kau tertekan karena wanita itu... Yang mencium Felix di depanmu?" tanya Liza.

Tapi Neko hanya diam membuang wajahnya. "Dia pernah mengatakan kalau aku bukanlah perempuan pertama... Dia juga bilang tak ada satu pun wanita yang tersisa darinya... Tapi kenapa masih ada satu...?"

"Dia... Sebenarnya, wanita itu adalah orang yang suka pada Felix, tapi Felix benar-benar tak keberatan akan hal itu. Jadi dia hanya membiarkan wanita itu menempel dan mengejarnya setiap hari. Felix meninggalkannya karena ada urusan pekerjaan yang tak selesai-selesai, membuat wanita itu berpikir Felix sudah meninggalkannya. Tapi sepertinya dia bertemu lagi di jembatan itu... Tapi... Jika kau sudah tahu dia, kenapa kau hanya diam saja hingga mengandung sampai besar? Apa kau tidak memutus Felix? Dia memberi kelonggaran untukmu," tatap Liza.

"... Aku tak mau memaksakan diriku sendiri," balas Neko dengan singkat. Meskipun begitu, Liza tetap mengerti dan berpandang tak percaya.

"(Dia tak mau memaksakan dirinya... Mungkin karena bayi-bayinya, dia tak mau berteriak di hadapan Felix.)... Um... Bisa aku mengatakan satu permintaan padamu?" tanya Liza lalu Neko terdiam menunggu.

Lalu Liza mengatakan sesuatu padanya. "Kau adalah gadis yang sudah dimiliki oleh Felix. Dia adalah pria sibuk pada pekerjaannya. Meskipun kalian berdua sama-sama tidak takut membunuh, tapi kalian masih memiliki banyak perbedaan. Seperti kau yang sudah tidak mau membunuh dan hanya menginginkan darah Felix seorang, dan Felix yang masih membunuh untuk menginginkan kau selamat dari bahaya apapun. Ini semua memang harus disembunyikan dari keturunan kalian nanti.

Amai... Jika kau berpikir ingin mati untuk keselamatan semuanya, berpikirlah terlebih dahulu bahwa mereka juga akan terpuruk karena merasa kehilanganmu... Jadi aku minta... Tetaplah hidup untuk menjalani kehidupan bahagia... Bangunlah kebahagiaanmu sendiri dengan mengajarkan pentingnya tersenyum pada semua orang," kata Liza, ia menyentuh kening Neko dan seketika mata Neko menjadi terkejut.

Di saat itu juga, Neko langsung mengingat semua ingatannya bersama Felix, berbagai ekspresi sudah ditunjukkan Felix padanya.

"Kau benar, dia adalah orang pilihanku, meskipun dia mengira aku lebih banyak tersenyum pada Hwa, padahal baru beberapa tahun aku banyak tersenyum pada Hwa, aku lebih banyak tersenyum padanya pada tahun-tahun kita hingga sekarang," kata Neko. Lalu Liza tersenyum, ia memegang dada Neko dengan pelan.

"Mimpi yang selalu kau alami, itu adalah aku... Aku selalu melihat apapun di sini, masa depan pun juga akan aku lihat... Dan aku melihat semua orang terdekatmu akan pergi, karena itulah aku mencoba memberitahumu lewat mimpi, kupikir kau bisa menanganinya sendiri, tapi rupanya Felix yang memiliki insting lebih kuat telah menyelamatkan keluargamu, aku akan melihat keluarga ini akan selalu bahagia," kata Liza.

"... Tapi kau bilang aku sudah mati?" tatap Neko. Lalu Liza tersenyum dan seketika pandangan Neko memudar dan dia tak tahu apa yang terjadi.