Tak lama kemudian, seorang perawat keluar dari ruang operasi dan melihat Felix yang tengah duduk memasang pose berpikir. "Tuan Felix," dia memanggilnya yang sedang berdiri menatap lorong gelap. Lalu Felix menoleh dengan tatapan dingin.
"Ada yang ingin saya sampaikan... Ikuti saya," kata perawat itu yang berjalan duluan diikuti Felix.
Mereka masuk ke ruangan konsultasi. Perawat itu memilih ruangan itu karena ruangan itu hanya tempat untuk mereka bicara berdua.
"Pemeriksaan Nona Amai yang sebelumnya, apa dia pernah mengatakan Anda sesuatu tentang kehamilannya saat pemeriksaan?"
"Dia hanya bilang bahwa dia baik-baik saja, begitu juga dengan bayinya," balas Felix.
Lalu perawat itu terdiam dengan sedikit cemas. "Tuan Felix... Nona Amai tidak mengatakan padamu... bahwa salah satu dari mereka bertiga akan pergi."
Mendengar itu membuat Felix terdiam tak percaya.
"Apa maksudmu dengan... Tiga?"
"Tiga... Nona Amai dan kedua bayinya," balas perawat itu. Seketika Felix terdiam mendengar itu. "(Rupanya memang benar selama ini, dia memiliki bayi kembar... Tapi.... Kenapa harus beresiko seperti ini...)"
"Dan Nona Neko bilang bahwa selamatkan saja kedua bayinya dan biarkan dia yang pergi. Tapi kami masih ragu... Dia pernah mengatakan sesuatu padaku."
"-Jika memang salah satu akan pergi. Aku mohon pada kalian... Biarkan aku yang pergi... Selamatkan kedua bayiku yang akan lahir. Karena masa depan mereka akan tercipta dan akan memperbaiki kesalahan di masa laluku dengan menjadi yang terbaik lebih dari aku-"
---
"(Dia perempuan yang seperti itu,)" Felix mengepal tangan lalu menghela napas panjang. "...Selamatkan Amai," kata Felix. Seketika perawat terkejut.
"Apa maksud Anda?"
"Aku bilang dia yang harus selamat, tak peduli salah satu bayi itu akan mati."
"Tapi mereka berdua kembar. Jiwa bayi yang kembar akan runtuh jika jiwa pelengkap tidak utuh dengan salah satu mereka mati."
"Kalau begitu kau harus menyelamatkan mereka bertiga... Tak ada penolakan di sini," Felix menatap serius. Lalu perawat itu terdiam dan memberikan kertas dan pulpen.
"Tuan Felix... Kami mohon kerja sama Anda... Rumah sakit akan menanggung semuanya jika Anda memilih siapa yang harus pergi, tapi jika Anda mengatakan hal itu... Anda harus berdoa pada keajaiban."
"(Tak peduli kondisi apa yang akan terjadi pada Amai. Aku hanya ingin dia yang membuka mata. Tapi jika memang keajaiban terjadi, kedua bayi itu juga akan menjadi pelengkap dalam kehidupan yang telah aku bangun bersama dengan Amai... Aku mohon, baik-baik saja.)"
Arti dari tiga mawar itu adalah pertanda bahwa tiga malaikat kecilnya akan pergi jika Neko akan pergi nantinya. Jadi Felix akan tega melepas satu maupun dua bayinya hanya karena Neko. Hwa tidak akan hidup baik jika tidak ada Neko nantinya, ia akan berharap bahwa istrinya itu akan baik-baik saja. Karena tak ada jalan lain selain berharap.
Meskipun dulu gadis itu dikenal sebagai gadis yang tidak akan mati, tapi Neko juga akan mati karena sesuatu yang membuatnya sangat sakit yang dinamakan pengorbanan.
--
Sementara itu, Kikiyo menatap Hwa yang kembali tertidur. "(Dia kembali tertidur dengan lemah. Kondisinya memang masih buruk... Semoga saja dia tidak bertambah parah... Tapi, aku masih penasaran dengan mata miliknya,)" pikirnya dengan serius. Bagaimanapun juga, dia berhak memikirkan atas apa yang dia lihat tadi.
"(Bagaimana bisa... Bukankah Neko bercerita padaku bahwa dia mengalami yang namanya menangis darah... Dan mata dengan tangisan darah hanya terjadi pada orang-orang tertentu sepertinya. Apa ini dampak transfusi darah dari orang lain, Hwa sulit beradaptasi dengan pendonor? Apa jangan-jangan donor yang diberikan masih belum sesuai memenuhi?)" ia terus bertanya-tanya hingga tidak betah untuk memikirkannya sendiri. Alhasil, dia keluar dari ruangan Hwa dan mencari seorang dokter yang telah melakukan operasi pada Hwa.
Itu adalah dokter lelaki yang lebih muda darinya. "Dokter Kikiyo..." dia menyapa dengan akrab layaknya kenal dengan Kikiyo. Sepertinya Kikiyo memang terkenal sebagai legenda dokter di sana sehingga dokter muda itu tahu dan memanggil Kikiyo dengan sebutan yang sama.
"Ah, kebetulan sekali, ada yang ingin aku tanyakan padamu soal Hwa..." tatap Kikiyo.
"Apa itu? Apakah ada sesuatu yang salah? Apa dia mengalami hal yang aneh? Aku sudah memastikan dia benar-benar menerima dengan baik transfusi itu..."
"Tidak, sepertinya ada yang salah..." Kikiyo menyela, membuat suasana terdiam. "Seseorang seperti Neko, dia tidak pernah melakukan transfusi darah dari aliran darahnya, melainkan dia lebih baik mengonsumsinya langsung, itu lebih aman untuknya. Karena jika dia melakukan transfusi darah dengan metode rumah sakit ketika dia kehilangan darah, dia akan mengalami hal yang aneh dari semua orang normal. Dia akan menunjukkan gejala bagaimana tubuhnya menolak darah yang ditransfusikan ke aliran darahnya secara langsung. Siapa tahu mungkin dia muntah, menangis, bahkan darah itu bisa keluar dengan sia-sia. Itu sepertinya hampir berlaku pada Hwa..." kata Kikiyo yang membuat dokter lelaki itu terkejut.
"Jadi maksudmu... Dia adalah garis darah penerus?" tatapnya.
"Belum yakin sih, hanya saja, mata miliknya tak berubah. Sepertinya dia hanya dominan darah dari Felix... Eh tunggu, atau... Darah Felix memang mengalahkan darah Neko di dalam tubuh Hwa... Sehingga dia melakukan penolakan pada darah Neko...?"
"E... Dokter Kikiyo, aku benar-benar tak paham dengan apa yang kau bicarakan..." dokter lelaki itu menatap kikuk, membuat Kikiyo hanya bisa menghela napas panjang. Tentu saja yang mengerti soal garis darah itu hanyalah Kikiyo, karena dia telah melakukan berbagai cara penelitian dulu saat Neko bergabung dalam organisasi Hishe Jin.
Sepertinya itu hanyalah akan menyisakan pertanyaan yang tak berujung.
--
Sementara itu, Felix berdiri di balkon atap rumah sakit, terpaan angin sore yang dingin tidak bisa menenangkan pikirannya yang penuh dengan kecemasan. Ia menatap kota yang mulai dihiasi cahaya lampu-lampu gedung dan kendaraan, tetapi semua tampak kabur dalam pikirannya yang terus kembali kepada Neko, yang kini berbaring koma di lantai bawah. Tangannya yang gemetar membuka kotak rokok besi kecil yang ia simpan di saku jaketnya, hanya tersisa satu batang di sana, seolah mengisyaratkan bahwa harapannya juga semakin tipis.
Felix terdiam, memegang rokok terakhir itu, ragu apakah ia benar-benar ingin menghisapnya. Perlahan ia menatap korek Zippo di genggamannya, mengingat kembali saat ia menyerahkan korek tersebut kepada Neko. Itu adalah momen kecil tapi berarti bagi mereka berdua—Neko yang tertawa kecil saat menyalakan rokoknya, tatapan hangat yang berbagi di antara kepulan asap. Saat itu, hidup terasa lebih ringan, meski di dalam kegelapan yang terus mengintai.
"(Aku tak mengerti lagi...)" pikir Felix, menghembuskan napas berat yang bercampur dengan aroma tembakau. Dia menyalakan rokok itu dan membiarkannya terbakar, tapi kali ini, tanpa keinginan untuk menikmatinya. Asap mengepul perlahan dari ujung rokok, seolah-olah membawa semua pikiran gelisahnya ke langit yang semakin kelam.
Namun, sebelum ia bisa terbenam lebih jauh dalam pikirannya, langkah cepat terdengar dari belakang. Felix menoleh dan melihat perawat yang tampak tergesa-gesa, wajahnya sedikit pucat, tetapi ada kilatan kegembiraan yang tak bisa disembunyikan. "Tuan Felix... Tuan Felix!!" panggilnya, napasnya sedikit tersengal seakan baru saja berlari melintasi koridor panjang rumah sakit itu.
Felix menatapnya dengan pandangan datar. Sebagai seseorang yang selalu menyembunyikan emosi di balik sikap dinginnya, ia hanya bisa berdiri di sana, rokok masih terselip di antara jarinya. Perawat itu menatapnya dengan senyum lega yang sedikit gugup.
"Huf... Huf... Ini keajaiban..." kata perawat itu. Senyumnya yang lebar tidak cukup untuk menghapus kelelahan di wajahnya. Namun, bagi Felix, kata-kata itu terdengar asing—apa yang bisa disebut keajaiban di tengah semua kekacauan ini?
Felix hanya mengerutkan dahi, menunggu jawaban tanpa memotong kalimatnya. Perawat itu akhirnya meneguk napas panjang dan melanjutkan, "Mereka bertiga... Bisa diselamatkan."
Kata-kata itu membuat jantung Felix berhenti sejenak. Dia terdiam, membiarkan informasi itu meresap ke dalam pikirannya. "Kau... Apa maksudmu?" Ia akhirnya bertanya, suaranya lebih rendah dari biasanya, hampir tidak terdengar di tengah deru angin di ketinggian itu.
Perawat itu mengangguk cepat, senyum kecil masih menghiasi wajahnya. "Iya, bayi-bayi itu... dan Nona Neko... Operasinya berjalan baik. Tapi ada kabar buruknya, Tuan Felix."
Felix segera tersadar dari keterkejutannya, suasana hatinya yang sedikit menghangat kini kembali mendingin. "Kabar buruk... Apa?" tatapannya semakin tajam, seperti mencoba mencari kebenaran yang mungkin disembunyikan.
"Nona Neko... Koma," kata perawat itu dengan suara yang lebih pelan, hampir berbisik. Kalimat itu menggantung di udara, membuat waktu terasa membeku sejenak di antara mereka. Felix hanya memandanginya, tidak sepenuhnya percaya apa yang baru saja ia dengar. Langit di belakangnya mulai berubah menjadi oranye keemasan, sementara di dalam dadanya, rasa putus asa dan harapan bercampur dalam kekacauan.
"Kau bilang itu kabar baik... Tapi kenapa kau bilang dia koma?" tanya Felix, nadanya datar tetapi ada nada getir yang menyelinap dalam suaranya. Ia merasa seperti seseorang yang ditarik dari jurang gelap, hanya untuk dihempaskan kembali. Perawat itu menundukkan kepala, tampak merasa bersalah telah membawa kabar buruk ini di tengah sedikit harapan yang ia berikan.
"Maafkan aku... Mungkin Anda bisa melihat Nona Neko... Tapi tubuhnya benar-benar masih lemah," lanjutnya dengan suara pelan, seolah mencoba untuk tidak menambah beban pikiran Felix. Namun, Felix hanya menghela napas panjang, membiarkan rokok yang sudah hampir habis itu jatuh ke lantai, membiarkan api kecilnya padam oleh angin sore yang keras.
Ia berjalan melewati perawat itu tanpa sepatah kata lagi, langkah-langkahnya berat namun penuh tekad. Tidak ada lagi yang bisa ia pikirkan selain melihat Neko, meski dalam keadaan yang terburuk sekalipun. Ia membuka pintu ruangan di mana Neko terbaring, ruangan yang terasa sunyi dan dingin meski semua mesin medis di sekitarnya terus berbunyi, seolah berusaha mengimbangi kehidupan yang masih bertahan di dalam tubuh lemah Neko.
Felix melangkah mendekat, suaranya nyaris tertahan di tenggorokan ketika melihat wajah Neko yang tenang namun penuh dengan kelemahan. Tangannya yang besar menyentuh perutnya yang masih sedikit bengkak, di situlah dua nyawa kecil pernah bernaung sebelum akhirnya menghadapi dunia luar yang tidak ramah ini. "(Kau sudah membawa hal terberat dan sekarang kau benar-benar melakukan hal yang aku inginkan... Membuat banyak keturunan tapi aku juga tak menginginkanmu seperti ini,)" pikir Felix, suaranya bergetar dalam hati.
Ia menggenggam tangan Neko yang dingin, merasakan denyut lemah yang masih ada di sana. Felix mengangkat tangan itu, perlahan mencium punggungnya, merasakan kehadiran yang hampir menghilang. Di luar, malam sudah tiba, dan langit berubah gelap sepenuhnya, hanya ditemani lampu-lampu kota yang berkedip lemah. Felix melihat Neko yang tampak tertidur tanpa kepastian kapan akan terbangun.
"Amai... Aku harap kau bisa mendengarku sekarang... Aku tidak tahu kapan kau akan bangun, aku akan berharap kau bisa terbangun dengan cepat. Tolong... Baik-baik sajalah," bisik Felix, suaranya hampir pecah di antara kebisuan malam. Ia mengecup kening Neko dengan penuh perasaan, berharap kehangatan itu bisa menembus lapisan kesadaran yang masih tertutup rapat.