Keesokan harinya, Hwa terlihat terus-menerus menatap ke jendela kamar miliknya. Pagi dingin di luar membuat kaca jendela tampak berembun, menciptakan pola-pola samar yang Hwa goreskan dengan jarinya. Karena dia libur, tapi tidak untuk Felix yang bekerja, dan di sisi lain Neko harus terus mengobrol dengan Kikiyo di ruangan lain untuk memastikan bayi yang lahir sehat.
Hwa tampak kesepian di sana, tapi wajahnya tidak menunjukkan bahwa dia menginginkan seseorang. Dia sudah jelas paham dengan kesibukan orang tuanya. Rasa sepi itu bukan sesuatu yang baru baginya, namun hari ini terasa lebih sunyi dari biasanya.
Karena itulah, dia mencoba menghabiskan waktu untuk menggambar, melukis, bahkan menulis di meja belajar, di lantai, bahkan di kasur kamar tidurnya. Tumpukan cat air, pensil warna, dan buku sketsa berserakan di sekelilingnya, seolah menjadi benteng kecil yang dia bangun sendiri. Namun, kreativitas yang biasanya menjadi pelariannya kini terasa berat, seolah setiap goresan kuas menjadi semakin lambat, dan setiap halaman yang terisi terasa semakin kosong.
Itu dia lakukan selama seharian, tapi waktu layaknya berhenti. Dia sudah mulai bosan dengan hal itu, bahkan kertas-kertas berserakan tampak berharga dengan lukisan maupun gambarannya yang bagus dan tampak nyata. Tiap gambar memancarkan sentuhan lembut, dari garis-garis pemandangan yang menggambarkan pohon-pohon yang bergerak bersama angin, hingga detail awan yang bergulung seperti arus sungai di langit.
Dia kebanyakan menggambar pemandangan indah, mungkin sebagai pelarian dari kesunyiannya. Tapi fakta yang menarik adalah dia menyembunyikan gambar-gambar pribadi di laci meja belajarnya yang tak sengaja terbuka saat Hwa tak sadar sedang menatap jendela kamarnya. Laci itu menyimpan rahasia kecil, seakan itu adalah dunia lain yang hanya dia yang bisa memasukinya.
Angin yang menerpa membuat buku gambar itu terbuka beberapa lembar dan terus terbuka, tak memperlihatkan kertas kosong satu pun. Di sana terdapat gambar-gambar nyata yang menggambarkan seseorang, antara lain Felix, Neko, Kim, Acheline, Arthur, bahkan Syung Ha. Layaknya dia menyukai mereka dan menggambar mereka dengan baik untuk dijadikan hal yang pribadi. Tiap goresan wajah mereka di atas kertas mencerminkan ekspresi yang hanya Hwa yang mampu menangkapnya, senyum lelah Felix, tatapan serius Neko, hingga kehangatan yang selalu terpancar dari senyum Kim.
Gambaran pribadi maksudnya adalah gambaran berharga olehnya yang tidak sembarang orang boleh melihatnya. Namun, jika gambaran seperti pemandangan atau lukisan-lukisan umum lain, dia lebih membiarkannya di lantai, di meja, di kasurnya, layaknya mereka tak berharga di matanya. Tumpukan gambar itu seperti serpihan-serpihan kecil yang menumpuk, menjadi jejak hari-hari yang terasa stagnan baginya.
Waktu yang terus berhenti membuat Hwa sudah melakukan ribuan kali menghela napas panjang. Dia berhenti menggambar dan melukis karena satu hal. "Aku kehabisan kertas...." gumamnya. Suaranya tenggelam dalam gemuruh hujan, seperti keluhan yang tak terdengar oleh dunia di luar kamarnya.
Lalu kebetulan Acheline membuka pintu, membawakan kotak kue yang manis. Aroma hangat kue apel mengisi ruangan, menyapu bau cat yang tajam. Itu adalah kesukaan Hwa, yakni kue apel yang renyah di luar, dengan isian manis yang terasa nyaman di lidahnya.
"Yo, Tuan Kecil Hwa... Ada apa denganmu?" Sambil meletakkan kue itu di meja, tapi ia baru sadar kertas-kertas yang indah itu membuatnya mengambilnya. Tangannya dengan hati-hati merapikan lembaran-lembaran itu, seperti menyentuh sesuatu yang rapuh. "Wah, kamu menggambar lagi? Apakah kau tidak bisa berhenti melakukannya? Lihat ibumu, dia selalu mengemasi kertas-kertas berharga ini..."
"Eh, Ibu melakukannya? Kupikir Syung Ha yang membersihkannya dan membuangnya? Aku tak begitu peduli...." Hwa menatap, ada sedikit keheranan di matanya, seolah informasi baru itu membuatnya berpikir.
"Tentu saja dia tidak membuangnya, ibumu menyimpan kertas-kertas ini di tempatnya.... Menurutnya ini berharga..." Kata-kata Acheline terdengar hangat, seperti mencoba menyalakan kembali sesuatu dalam hati Hwa.
"Tapi... Gambaran berharga, ada di tempatku..." Yang dimaksud Hwa adalah gambaran pribadi tadi. Gambaran itu terasa lebih dekat dengan hatinya, seperti sesuatu yang ingin dia simpan hanya untuk dirinya sendiri.
"Di mata ibumu, pasti gambar yang kau ciptakan adalah sesuatu yang berharga. Jadi rawatlah karyamu, tunjukkan pada kedua orang tuamu agar mereka semakin bangga padamu... Kamu juga harus peduli pada karyamu ini..." kata Acheline sambil memungut kertas-kertas itu. Ada ketulusan dalam gerakannya, seolah mencoba meyakinkan Hwa tentang pentingnya menghargai diri sendiri.
Hwa yang mendengar itu menjadi mengerti, lalu dia membantu mengambil kertas-kertas itu dan menjadikannya satu di sebuah klip. Sentuhan lembut dari klip logam itu membuatnya merasa sedikit lebih tenang, seakan kekacauan kecil di kamarnya mulai tertata.
"Nah, tempat di sini karyamu ditumpuk, suatu saat nanti, ketika kamu besar, kamu bisa berkembang hanya dengan melihat ini..." kata Acheline sambil meletakkan klip itu di atas meja belajar, lalu Hwa mengangguk mengerti. Matanya berbinar sedikit lebih cerah, meski cahaya matahari di luar masih tertutup awan.
"Ngomong-ngomong, apa yang kau lakukan tadi? Ngalamun?" tatap Acheline dengan bingung. Dia mencoba mencairkan suasana dengan senyumnya, tapi Hwa masih tampak memikirkan sesuatu.
"Aku hanya... Mencemaskan Ibu..." balas Hwa dengan wajah ragu. Dia mencoba menutupi kekhawatirannya, namun nada suaranya mengisyaratkan perasaan yang lebih dalam.
"Mencemaskan kenapa?"
"Entahlah, ada banyak hal yang aku ketahui secara cepat... Ibu akan melahirkan cepat atau lambat, dan di sisi lain... Aku ingin mengetahui soal garis penerus darah Ibu... Tapi aku juga khawatir pada kondisi Ibu..." Hwa mengungkapkan kekhawatirannya dengan hati-hati, seolah kata-kata itu adalah beban yang sudah lama dia tahan.
"Tak perlu merasa cemas... Ibumu sangatlah kuat... Bukankah kau tak sabar menantikan adik-adikmu?" Acheline mendekat, mencoba memberikan dukungan dengan tatapan penuh pengertian.
". . . Apa maksudmu, Acheline... Adik-adik.... Bukankah adikku hanya satu?"
"Aku baru saja dihubungi Kim bahwa bayi milik Nona Amai ada dua dan kembar." Acheline mengatakannya dengan nada santai, tapi berita itu seperti petir di tengah hujan bagi Hwa.
"(Aku memiliki dua adik!)" Hwa langsung tersenyum senang. Raut wajahnya berubah, seolah menemukan semangat baru. Acheline yang melihat itu juga tersenyum, merasa lega melihat kebahagiaan kecil di mata Hwa.
Lalu Acheline tak sengaja melihat sebuah bunga mawar dengan vas kaca cantik, bunga itu berwarna hijau membuat Acheline terkejut. "Tuan Kecil, di mana kau mendapatkan bunga ini?" tanya Acheline, ada nada penasaran dalam suaranya.
"Oh, itu aku dan Ibu yang membuat warnanya begitu, rupanya Ibu benar, warnanya berubah dan sangat cantik." Hwa mengingat saat dia dan ibunya mencoba mencampur pewarna di air, menciptakan eksperimen kecil yang membuatnya tersenyum kala itu.
"(. . . . Ini memang cantik, tapi warna hijau paling dibenci di sini.) Kenapa warnanya hijau?" pikir Acheline dalam hatinya. Dia memandang bunga itu dengan sedikit kekhawatiran, mengingat bahwa warna hijau membawa makna yang berbeda di tempat mereka.
"Sebenarnya warnanya biru, tapi entah kenapa warnanya memudar menjadi hijau... Tapi hijau tetap cantik kan?" tatap Hwa dengan polos, seakan baginya setiap warna memiliki kecantikan tersendiri.
"(Hm... Pudarnya cepat sekali, yah... Bahkan pudarnya hampir berwarna hijau. Aku harus mencari cara agar tidak ada warna hijau.) Tuan kecil, bagaimana jika aku membuat warna lain di sini?"
"Hm? Warna apa yang akan kau buat, Acheline?" Hwa menatap bingung.
"Aku akan membuat warna biru untukmu. Tak hanya biru, warna lain yang cantik juga ada!"
"Eh, memang bisa? Bunga ini tidak bisa diubah, Acheline. Dia sudah menjadi warna hijau," kata Hwa.
"Tidak kok, ini bisa diubah. Aku akan meminjam sebentar, ya," kata Acheline sambil mengambil vas itu.
"Beneran lo, Acheline?" Hwa butuh kepastian.
"Iya kok, jangan khawatir. Tunggu saja aku. Ngomong-ngomong, apa ayahmu tahu tentang bunga ini?"
"Um, aku belum memberitahunya. Sebenarnya, kemarin berwarna biru, beneran berwarna biru, tapi entah mengapa dalam semalam warnanya pudar... Ayah juga tak tahu warnanya pudar, dia terakhir kali melihatnya berwarna biru."
"Oh, baguslah, kalau begitu tunggu sebentar ya."
"Acheline, aku ikut!"
"Apa? Tapi aku akan pergi ke kota untuk ke kedai bunga."
"Kota! Aku ingin ikut! Aku ingin jalan-jalan, aku di sini bosan..." kata Hwa dengan semangat.
"Haiz, baiklah, ayo tuan kecil," Acheline pasrah lalu berjalan pergi diikuti Hwa.
Terlihat di kota, sebuah motor speed hitam dengan hiasan stiker kuning petir berhenti di depan kedai bunga, dan turunlah Acheline dan Hwa.
Hwa melepas helmnya lalu melihat kota dengan wajah senangnya.
"Tuan kecil, ayo masuk," kata Acheline, lalu Hwa ikut Acheline masuk ke kedai bunga itu.
"Selamat datang, oh Acheline... Tuan kecil," sapa seorang pemilik kedai yang rupanya itu Syung Ha.
"Syung Ha? Kenapa ke sini?" Hwa menatap polos.
Lalu Acheline memberitahunya. "Di hari libur ini, dia memutuskan menjaga kedai bunga miliknya, karena dia juga merawat bunga-bunga milik orang tuamu yang juga suka bunga. Tapi di hari-hari sibuk, Syung Ha juga meluangkan waktunya untuk membantu merawatmu di rumah...." Tatapnya membuat Hwa mengerti. "(Syung Ha, apakah tidak lelah harus bekerja setiap hari?)" pikirnya.
Lalu Acheline dan Syung Ha saling mengobrol sebentar tentang yang disebut bertukar informasi.
Hwa juga tertarik melihat sekitar bunga cantik yang tersusun di rak itu. Ia fokus melihat mereka, dan siapa yang menyangka, Hwa yang tertarik pada bunga yang dipajang di luar kedai, menjadi keluar dari kedai untuk melihat.
Namun mendadak ada sesuatu yang akan terjadi, di mana dia merasakan sesuatu yang sedang mendekat dan dia dalam bahaya.
Sementara Acheline meletakkan bunga hijau beserta vasnya tadi di depan Syung Ha yang bingung.
"Aku minta bunga mawar putih dan beri pewarna biru pada bunga itu dan buang bunga ini," kata Acheline.
"Kenapa kau ingin membuangnya?"
"Warna hijau, jika bos tahu, dia akan mengamuk nantinya," balas Acheline.
"O... Oh, baiklah, aku akan siapkan," Syung Ha mengambil vas itu lalu ia ke dalam untuk mengganti yang baru.
"Tuan kecil, apa kau ingin bunga di sekitar sini?" tanya Acheline, tapi ia terkejut setengah mati karena Hwa tidak ada di sana.
"Tuan kecil!!" ia berteriak dan panik mencari di sekitar kedai itu hingga ke luar. Ia melihat sekitar dan terkejut ketika melihat kaki kecil yang dipaksakan masuk oleh orang di dalam mobil di seberang jalan. Itu pasti Hwa, dia telah diculik.
"Sialan!!" Acheline menyeberang jalan besar itu begitu saja dan mengejar mobil itu, tapi percuma, mobil itu langsung menginjak gas besar. "Kau tidak akan bisa lari!" Acheline mengeluarkan sesuatu dari sakunya, ia melemparnya seperti berbentuk sebuah kunai, langsung menancap di bagian nomor plat mobil itu. Terlihat Acheline bisa melihat bahwa Hwa ada di sana tengah disekap.
"(Sialan, bos akan marah...)" dengan napas terengah, ia menjadi kesal putus asa.