"Hei, apa kau tahu kabar tentang wanita yang terus mengejar Bos?" tanya seorang pria di ruang merokok di atas gedung tinggi. Asap rokoknya mengalir pelan, bercampur dengan udara malam yang dingin.
Suara seorang wanita menyahut, "Siapa?" Tidak perlu melihat untuk mengenal suara itu—siapa lagi kalau bukan Negan dan Acheline. Kondisi Negan tampak lebih buruk karena terlalu banyak bekerja keras. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin kentara, menambah kesan letih pada wajahnya.
"Itu, Nalika Leya... Kudengar dia bergabung dengan Beum," lanjut Negan, suaranya terdengar serak. "Aku juga dapat informasi dari Kim bahwa dia tahu soal Nalika yang bergabung dengan mereka. Bahkan, desas-desus yang mudah didapatkan Kim bilang mereka seperti punya hubungan lebih dari sekadar kerja sama..."
Acheline mengangkat alisnya. "Hubungan? Kau serius? Mereka benar-benar berani bermain dengan api, ya." Dia bersandar pada pagar besi di belakangnya, memandangi kota yang gemerlap di bawah sana. "Kenapa kau pikir dia bergabung dengan Beum? Apa motifnya?"
Negan menggeleng pelan, menarik napas panjang sebelum menjawab. "Entahlah. Nalika itu... dia selalu punya agenda tersembunyi. Mungkin dia ingin memanfaatkan Beum untuk mencapai tujuannya, atau mungkin ada alasan lain yang kita belum tahu. Aku hanya merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar keinginan untuk mendapatkan perhatian Bos."
Acheline mengerutkan dahi, mencoba mencerna informasi itu. "Kalau begitu, kenapa Beum mau menerimanya? Dia pasti tahu bahwa Nalika punya catatan buruk dengan kita, kan? Mereka biasanya tidak sebodoh itu."
"Itulah yang membuatku khawatir," ujar Negan sambil mematikan rokoknya, membuang puntungnya ke aspal kasar di bawah. "Apa mungkin mereka merencanakan sesuatu yang lebih besar? Sesuatu yang melibatkan kita atau bahkan... Bos?"
Acheline terdiam sejenak, lalu mengangkat bahu. "Yah, biarkan saja. Toh, lebih baik dia menjauh daripada terus mengganggu Bos... Itu hanya akan membuat Akai sakit. Lagipula, jika ada sesuatu yang besar terjadi, kita akan mengetahuinya cepat atau lambat. Kim selalu punya caranya untuk mendapatkan informasi."
Negan menatap Acheline dengan pandangan serius. "Ya, tapi itu bisa terlambat kalau kita menunggu sampai sesuatu benar-benar terjadi. Kau tahu kan, Beum bukan tipe orang yang bergerak tanpa rencana matang. Dan Nalika—dia juga bukan orang yang mudah ditebak. Aku takut, kalau kita terlalu lama mengabaikan ini, kita akan kehilangan kesempatan untuk mencegah sesuatu yang buruk."
Acheline menghela napas, wajahnya tampak sedikit melunak. "Aku mengerti kekhawatiranmu. Tapi kita tidak bisa bertindak gegabah tanpa bukti konkret. Kalau kita terlalu cepat bergerak, malah bisa-bisa kita terlihat seperti yang mencari masalah."
Negan membalas dengan suara pelan, hampir seperti gumaman, "Mungkin kau benar. Tapi tetap saja, aku merasa ada yang tidak beres... Nalika tidak akan berdiam diri, terutama setelah dia tahu Bos menolak mentah-mentah segala pendekatannya. Beum juga bukan kelompok yang suka bermain-main. Jika mereka berdua bekerja sama, bisa saja ada sesuatu yang besar sedang disiapkan."
Acheline memandang langit malam yang berkilau oleh lampu kota. "Mungkin, tapi kita juga tidak bisa terus-menerus was-was. Yang bisa kita lakukan sekarang adalah tetap waspada dan menjaga Bos... dan Akai. Kalau memang ada yang sedang mereka rencanakan, pada akhirnya, mereka pasti akan memperlihatkan kartu mereka."
Negan mengangguk, meski raut wajahnya masih penuh keraguan. Di benaknya, bayangan Nalika dan Beum sedang merancang sesuatu yang berbahaya terus menghantui pikirannya.
Acheline tersenyum kecil, menepuk bahu Negan. "Kau selalu terlalu khawatir, Negan. Tapi aku senang ada seseorang yang selalu berpikir jauh ke depan seperti dirimu. Cobalah untuk istirahat juga, oke? Aku tidak mau kau ambruk sebelum semua ini terungkap."
Negan hanya mengangguk lemah, menatap jauh ke kerlip lampu kota di bawah sana. Namun, di balik rasa letihnya, ada tekad yang membara. Di dalam hatinya, dia tahu bahwa bayangan ancaman itu semakin nyata, dan waktunya mungkin lebih dekat dari yang mereka perkirakan.
Tapi ada yang masuk ke sana dan bergabung. "Hei, apa yang kalian bahas?" membuat mereka berdua menoleh yang rupanya adalah Kim.
"Kim? Kau sudah selesai menjalankan tugas nya?" tanya Acheline.
"Tugas? Tugas apa yang di berikan padanya?" Megang tampak menatap penasaran.
Lalu Kim mengeluarkan rokok dan menjawab. "Meneliti motif dari dua anjing milik Cheong, mereka menginginkan bergabung dengan kita, tapi memang nya jika mereka sudah di percaya, bagian mana yang akan di percaya untuk melakukan tugas mereka? Kita sudah bisa menangani ini masing masing, tapi ketambahan dua orang pengganggu, tugas apa yang akan mereka lakukan?" balasnya sambil mengeluarkan asap rokoknya.
"Oh, Ariana dan Zuo itu? Mereka memang tidak mudah di percayai dulu..." tambah Negan.
Mereka bertiga tampak mengobrol di malam gelap itu dan masih melakukan tugasnya masing masing.
Di sisi lain, Neko tampak menatap suram pada sesuatu. Siapa yang menyangka, ada dokter cerewet dari klinik organisasi milik Hishe Jin yang telah lama tiada. Siapa lagi jika bukan Kikiyo.
"Halo!" Masih menggunakan baju putih dokternya, ada suara anjing golden di bawahnya. "Woof..."
Neko yang ada di hadapannya menatap ke belakang, di mana Felix hanya berdiri menatap santai.
"Apa maksudmu membawanya kemari?!" tatap Neko dengan kesal.
"Bukankah dia adalah seorang dokter yang tahu segalanya? Dia pernah memeriksa kondisimu yang menyukai darah... Dia juga mengaku bisa mengenali segala imun tubuh, jadi aku menetapkannya sebagai dokter bagian dari bawahanku..." kata Felix.
"Ya memang dia adalah orang seperti itu, tapi masalahnya... Aku tidak suka dia...!" Neko memberontak.
"Hei, kenapa begitu sih..." Kikiyo tiba-tiba menatap. "Aku kan di sini juga memilih mana yang bagus. Aku memang bukan bagian dari organisasi yang dipegang Beum, tapi kemampuanku tak akan pudar. Aku bahkan bisa memeriksa kehamilan mu... Aduh, lucu sekali, bayi yang manis pasti akan lahir lagi... Unyu... Unyu..." Dia memulai sikap cerewetnya yang keras, bahkan terus memegang-megang perut Neko. Tak hanya itu. "Kamu juga makin cantik yah, padahal dulu sangat pucat, sungguh pucat..." Dia juga mencubit pipi Neko.
Seketika Neko menjauh. "Pergilah dariku, aku tak butuh bantuanmu! Aku lebih baik pergi ke dokter lain!"
"Amai..." Felix tiba-tiba memanggil lembut membuat Neko terdiam menatapnya. Lalu Felix menyangga dagu Neko dengan tangannya perlahan. "Apa kau mau bayi kita terluka? Kau ingat bukan, resiko dari kehamilanmu... Aku butuh seseorang yang tahu pasti akan hal ini... Tinggal 2-3 bulan lagi kau akan berada di rumah sakit, harus... Dan kelahiranmu harus terjadwal, jangan lahir sebelum waktunya..." kata Felix.
Tatapan itu layaknya tatapan yang memohon pada Neko agar Neko mau melakukan pemeriksaan karena Felix juga khawatir akan kondisi Neko dan bayinya.
Neko yang mendengar itu menjadi menghela napas panjang. "Baiklah..."
Tapi kemudian ada yang memanggil. "Ibu... Ayah..." Rupanya Hwa yang menatap dari jauh.
"Ayah, ayo bermain game..." Hwa langsung menunjukkan stik gamenya.
"Hwa, kau sudah belajar?" Neko menatap, lalu Hwa mengangguk.
"Oh, apakah dia?!" Kikiyo menatap terkesan. "Hahaha... Aku selalu mendengar soal putra pertama kalian... Rumor hubungan kalian saja sudah berdesas-desus di organisasi Beum... Jadi aku tahu soalnya... Lihat dia..." Dia bahkan langsung mendekat ke Hwa, membuat Hwa terkejut akan sikap Kikiyo yang sangat aneh.
Bahkan Kikiyo menyentuh Hwa di mana pun termasuk mencubit, melihat mata, dan giginya. "Oh, lihat ini, warna rambut seperti ibunya... Bahkan kulitnya juga putih, oh, dan mata miliknya... Mirip dengan ayahmu yah, kupikir warna matanya merah?" Kikiyo berhenti terkesan, membuat Hwa terkejut.
"Apa yang kau katakan!" tiba-tiba Hwa berteriak, membuat mereka yang ada di sana terkejut. "Aku kelak akan memiliki mata merah seperti ibu!" teriaknya lagi.
"Oh astaga... Apakah kau sensitif dengan perkataanku. Tapi... Neko memiliki taring di umur 10 tahun, kau bahkan belum punya... Kau tidak mewarisi kutukan ibumu..." tatap Kikiyo.
"Kutukan?" Hwa mendadak langsung menatap kosong.
"Kikiyo!! Apa yang kau katakan pada putraku!!" teriak Neko, membuat Kikiyo terkejut.
Tapi kemudian Hwa mendadak berjalan pergi dari sana.
"Hwa!" Neko menatap Hwa yang pergi.
"Aku akan menyusulnya..." Felix berjalan mengikuti Hwa.
Kikiyo masih belum tahu apa yang terjadi. "Neko? Apa jangan-jangan, kau tidak memberitahu soal kutukan itu, bahkan pada putramu?" tatapnya dengan khawatir.
Tapi Neko menyela. "Cukup! Aku tidak suka membahas hal itu! Aku tidak akan menyebutnya sebagai kutukan lagi... Aku dari garis keluarga yang seperti itu, dan itu bukan kutukan! Ayahku yang sekarang masih hidup benar-benar menunjukkan bahwa dia juga memiliki hal yang unik seperti ini... Jadi, tolong, jangan bahas hal itu di depan keluarga ini... Hanya gunakan kata 'garis darah'... Hwa pasti akan meneruskannya..." kata Neko. Wajahnya seperti menyembunyikan kekhawatirannya.
Kikiyo menjadi mengerti. "Aku mengerti itu... Maafkan aku ya..."
Sementara itu, Hwa masuk ke kamarnya dan disambut dengan melihat mawar biru yang tumbuh di vas bunganya, tumbuh dengan cantik karena dia selalu merawatnya.
Tapi kemudian Felix membuka pintu menatap Hwa yang juga menatapnya. "Ayah?" tatapan polosnya membuat Felix masuk dan menutup pintu, dia duduk di ranjang kecil Hwa. "Hwa... Katakan pada ayahmu ini, apa kau ingin menjadi seperti ibumu?" tatapnya.
Hwa terdiam sebentar. "Aku tidak tahu apa yang ayah bicarakan... Kupikir dengan menjadi seseorang yang baik seperti ibu memang harus memiliki gigi taring dan mata yang merah... Aku mungkin bukan lelaki yang kuat..." Dia membuang wajah dengan kecewa.
Felix terdiam sejenak lalu menghela napas panjang. "Dengar Hwa... Garis dari keturunan ibumu sangatlah berbahaya. Kau sudah melihat kakekmu bukan? Dia hanya memiliki garis darah 50 persen... Sementara diturunkan pada ibumu menjadi 70 persen atau mungkin 85 persen. Jika diturunkan pada generasi selanjutnya, itu akan 100 persen... Yang dimaksud adalah tingkat buas dan kehilangan akal sehatnya. Tak perlu mengharapkan kau ingin meneruskan garis darah... Wajar jika mereka menganggapnya kutukan karena hal itu membuat ibumu gila... Bahkan kau yang berharap ingin mendapatkan hal itu..." kata Felix.
Hwa terdiam sejenak, dari sana dia sudah mulai hampir mengerti. "(Tapi... Aku ingin menjadi penerus...)"