Kota besar di sana terdapat salah satu perusahaan departemen kekuasaan dasar museum yang sudah berjalan sangat lama dan begitu luar biasa dalam menjalankan bisnisnya di kota luas. Gedungnya megah, dengan pilar-pilar besar yang menjulang di depan, tampak klasik namun dipadukan dengan modernitas. Kota ini seolah menjadi saksi bisu dari segala perkembangan dan perubahan yang terus terjadi di balik dinding-dinding museum tersebut.
Di lorong yang tinggi, tampak Neko berjalan perlahan mengikuti langkah Felix yang juga lambat, membuat Neko merasa aman berjalan sambil memegang tangannya. Felix melindunginya dengan penuh perhatian, matanya selalu memperhatikan sekitar, memastikan bahwa setiap langkah yang mereka ambil tidak membahayakan Neko.
"Huf... Begitu melelahkan..." gumam Neko dengan kesal, suaranya pelan namun terdengar penuh keluhan.
Felix menoleh padanya, memandang dengan perhatian yang tak biasa. "Kau sudah aku tawari untuk aku bawa, tapi kau terus menolak... Sekarang biarkan aku membawamu..." tatap Felix dengan nada lembut namun tegas. Ada senyum kecil di wajahnya, seolah menyiratkan rasa sayang yang dalam.
Seketika Neko melepas tangan Felix, menatapnya dengan sorot mata keras kepala. "Aku bahkan bisa berjalan sendirian..." Meski suaranya tegas, ada keraguan kecil yang tersirat di sana. Tatapan Neko berusaha menutupi rasa lelah yang mulai menguasainya.
Felix menghela napas panjang, lalu tanpa banyak bicara, dia mendadak saja menggendong Neko di dadanya, gerakan itu begitu cepat dan mantap, membuat Neko terkejut. "Akh, hei!?" Neko menatap panik, wajahnya memerah karena canggung, tapi Felix tetap tidak melepaskannya.
"Kenapa kau menolak aku bawa seperti ini ketika kau membawa bayi...? Apa jangan-jangan kau tidak suka?" Felix menatap tajam, mencoba menembus pertahanan Neko yang mencoba menutupi perasaannya.
Seketika Neko terdiam, memalingkan wajah dari tatapan tajam Felix, hingga dia membuang wajah ke arah bangunan-bangunan tinggi di sekitar mereka. "Aku hanya... Pasti kau berat membawa bayi ini juga, aku yakin aku bertambah berat..." Dia bergumam pelan, namun suaranya tidak luput dari pendengaran Felix.
Felix hanya tersenyum tipis mendengar itu, sembari menguatkan genggamannya. "Omong kosong apa yang kau bicarakan? Aku bisa membawamu, Hwa, bahkan bayi-bayi yang akan lahir di masa yang akan datang... Kau pikir aku mempertahankan kekuatanku untuk apa... Hanya untuk memastikan kau bisa melihat dunia dan berjalan tanpa harus merasa sakit saat berjalan..." kata-kata Felix itu terasa seperti angin hangat yang menembus dinginnya udara malam. Neko merasa tersentuh perlahan dalam kehangatan yang menyelimuti, dia hanya bisa berwajah merah, menunduk untuk menyembunyikan perasaannya.
Lalu, tak lama kemudian mereka sampai di ruangan yang mewah untuk kerja sama. Dinding-dinding ruangan tersebut dipenuhi dengan lukisan-lukisan klasik, sementara lampu kristal di langit-langit berkilauan, memantulkan cahaya yang membuat ruangan terasa hangat. Sofa yang begitu merah terlihat lembut, seperti beludru yang mengundang siapa saja untuk bersantai. Felix meletakkan Neko perlahan di sana, dengan penuh kehati-hatian, seolah Neko adalah sesuatu yang sangat berharga. Dia bahkan masih berlutut di hadapannya, lalu dengan lembut mencium perut Neko. "Jangan menyusahkan ibumu..." bisiknya, membuat Neko mendengar itu menjadi tak bisa menahan kemerahannya sama seperti warna sofanya.
"Di mana mereka? Kenapa hanya kita yang ada di sini?" Neko melihat sekitar dengan rasa penasaran, memandangi pintu besar di sudut ruangan yang masih tertutup rapat. Matanya terus mengamati seolah mencari tanda-tanda kehidupan lainnya di ruangan itu.
"Mungkin mereka sedang menyiapkan sesuatu juga... Yang penting kita sudah sampai di sini..." balas Felix, suaranya tenang dan penuh keyakinan. Ia kemudian duduk di sampingnya, tangannya meraih tangan Neko, menggenggamnya dengan lembut namun penuh rasa aman.
Tapi belum lama berselang, pintu terbuka perlahan, memperlihatkan seorang pria yang tampak rapi dengan pakaiannya. Dia adalah Pei Lei, yang dulu hanya seorang karyawan biasa. Kini dia terlihat jauh lebih percaya diri, dengan Xun yang mendukungnya di belakang, masuk ke dalam ruangan dengan langkah yang mantap. Senyum ramah terukir di wajahnya, meski ada sedikit ketegangan di balik matanya.
"Maafkan aku terlambat..." kata Pei Lei, suaranya terdengar sedikit canggung. Tapi begitu dia mendekat, dia langsung tertegun melihat Neko yang menatap juga padanya. Tatapan mereka sama-sama kosong, seperti sedang mencoba mencari sesuatu dari masa lalu yang tiba-tiba kembali dalam ingatan. Pei Lei tak bisa melepaskan pandangannya dari perut Neko yang berisikan kehidupan baru, seolah perut itu menyimpan sebuah misteri besar yang sulit dia pahami.
Pandangan Pei Lei benar-benar tak bisa berhenti hingga Felix terlihat merangkul Neko perlahan menggunakan lengan besarnya, melindungi dengan sikap posesif. "Kau tidak sengaja membuatku membawanya hanya untuk melihatnya begitu? Dia tak bisa kau pandang terlalu lama..." kata Felix dengan nada tegas, tatapannya dingin namun penuh peringatan.
Pei Lei tampak terdiam, seperti baru saja tersadar dari lamunan. Dia mencoba tersenyum dan berlagak serius, menutupi kegelisahannya. "Maafkan aku, aku hanya teringat akan masa lalu di mana aku bisa sangat menyanjung seorang gadis yang bahkan menyerahkan tempat ini padaku, dan aku berhasil mengembangkannya dengan baik. Aku benar-benar berterima kasih..." Dia kemudian menundukkan badannya masih di depan Neko, sikapnya penuh hormat, membuat Neko tetap terdiam dalam keraguan.
Lalu dia mengatakan sesuatu. "Angkatlah pandanganmu, aku tak mengharapkan apa pun dari itu. Lain kali jika kau ingin bekerja sama, lakukanlah dengan... Suamiku..." balas Neko dengan wajah agak malu, matanya menghindari pandangan langsung.
Felix langsung tersenyum seringai, ada rasa bangga yang tersirat di wajahnya.
"Tentu, aku akan melakukannya, aku hanya semata ingin bertemu denganmu saja... Dan, apakah itu adalah bayi kalian?" Pei Lei menatap perut Neko sambil duduk di hadapan mereka agak jauh, ada rasa penasaran yang tak bisa disembunyikan dalam suaranya.
"Ini bayi kedua..." balas Neko dengan senyum kecil, ada kebanggaan yang terpancar dalam raut wajahnya.
"Oh, lain kali bisakah aku melihat bayi yang pertama?" Pei Lei menatap penuh harap.
"Bicara apa, dia sudah kelas 6 dasar... Dia seorang lelaki yang sama denganku..." kata Felix langsung mengatakan itu, suaranya terdengar bangga.
Seketika Pei Lei terkejut. "(Aku benar-benar terlalu sibuk dengan pekerjaan sampai-sampai aku tak tahu sudah berapa tahun berlalu, tapi gadis ini tidak berubah, dia tidak bertambah tua atau apa pun itu, dia masih sama tampak muda... Orang yang memilikinya pasti beruntung...)" ia sedikit menatap ke Felix, menyembunyikan kekaguman yang terpendam.
Lalu Felix mengatakan sesuatu. "Jika ingin bekerja sama, aku akan menerima tanpa mendengar prinsip apa pun..." tatapnya mengulurkan tangan untuk berjabat tangan, sikapnya tegas namun penuh ketulusan.
Tapi Pei Lei terdiam tak percaya. "Apa kau yakin, Tuan Park? Kenapa begitu?"
"Tidakkah kau sudah mendengar alasannya...?" Felix membuat Pei Lei menatap ke Neko. Neko lah alasan Felix akan menerima kerja sama itu dengan mudah, dan hal itu tampak begitu jelas di matanya.
Seketika Pei Lei tersenyum kecil dengan senang dan menerima jabat tangan Felix, merasakan keyakinan yang berbeda dalam genggaman tangan itu.
Lalu Felix menambah perkataan. "Ke depannya, tolong jaga erat hubungan yang baik dengan keluargaku... Kau akan berperan penting dalam cerita kehidupan Amai..." kata Felix, suaranya terdengar serius namun hangat. Neko juga tersenyum mendengar itu, merasakan kehangatan yang menyelimuti ruangan tersebut. "(Aku senang dia memperlakukan orang lain dengan baik setelah dia belajar untuk memperlakukan Yechan dengan baik...)"
Tak lama kemudian, terlihat Neko berada di taman bunga yang indah, duduk di bangku taman di bawah pohon rindang. Di sekelilingnya, angin lembut berhembus, membelai dedaunan yang menciptakan suara gemerisik, memberikan suasana yang damai. Bunga-bunga bermekaran dengan warna-warni yang cerah, memancarkan aroma harum yang menyatu dengan udara segar di sore hari. Pemandangan di depannya tampak seperti lukisan hidup yang penuh dengan warna dan kehidupan, namun pandangan Neko tetap kosong.
"(Aku tertarik untuk ke sini setelah acara kerja sama itu berakhir... Aku senang jika departemen itu memiliki kekuasaan yang hebat, benar-benar sungguh sangat luar biasa... Aku mungkin bisa sedikit tenang jika melihat hal yang begitu.... Tak perlu memikirkan sesuatu yang berat lagi, aku sudah terlalu nyaman pada kehidupan ini,)" pikirnya dengan tatapan menerawang. Dia membiarkan pikirannya melayang kembali pada pertemuan di ruangan mewah tadi, membayangkan senyum Felix dan Pei Lei yang berusaha akrab satu sama lain.
Felix kemudian berjalan mendekat, langkahnya mantap namun penuh kehati-hatian. Ketika ia sampai di dekat Neko, dia berdiri di sana, memandangi sosok yang sedang duduk dalam diam itu. Cahaya matahari yang mulai meredup menyorotkan bayangan panjang di rerumputan. "Setelah ini, kau akan ke mana?" tanyanya, suaranya lembut namun penuh perhatian. Pandangannya tertuju pada wajah Neko yang tampak lelah, namun tetap memancarkan keteguhan.
Neko terdiam sejenak, seperti mencari jawaban dalam pikirannya, sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Kau bisa kembali pada pekerjaanmu. Untuk sementara ini, aku akan istirahat di rumah... Kupikir aku sudah sangat lelah jika harus beraktivitas lain..." balas Neko dengan suara pelan, matanya menatap jauh ke hamparan bunga. Tangannya mengusap lembut perutnya, merasakan gerakan kecil dari kehidupan yang ia bawa.
Felix menghela napas panjang, matanya menunjukkan sedikit kekhawatiran yang berusaha ia sembunyikan. "Jangan terlalu buru-buru menantikan bayinya..." katanya, mencoba menyuntikkan semangat dengan senyuman kecil, meskipun di dalam hatinya ada kecemasan yang tak dapat ia abaikan.
Neko hanya terdiam, pandangannya tetap lurus ke depan, seolah tak mendengarkan sepenuhnya kata-kata Felix. Ia tenggelam dalam pikirannya sendiri, memikirkan masa depan dan apa yang akan terjadi pada bayi yang ada dalam kandungannya. Di dalam hati kecilnya, ada rasa khawatir yang terus menghantui—kenangan akan kehamilan sebelumnya yang penuh tantangan, dan rasa takut yang masih membekas.
Felix, di sisi lain, mengingat kembali percakapan yang ia dengar dari seorang ahli medis sebelum ini. Seseorang memperingatkannya bahwa ada kemungkinan Neko akan mengalami pendarahan seperti kehamilan sebelumnya. Felix menyimpan kekhawatiran itu dalam-dalam, tak ingin Neko merasa lebih terbebani dengan kekhawatirannya.
"(Aku harap itu tidak terulang, dan tidak akan terlalu buruk...)"