Malamnya, Neko terlihat memakan potongan-potongan apel yang terlihat segar di meja dapur. Lalu Felix berjalan mendekat dan duduk di hadapannya. Dia menatap Neko yang memakan apelnya perlahan, tapi ketika dia datang, dia membuat Neko menatap ke arahnya dengan wajah bingung.
"Kenapa? Kau sudah mengurusnya?" tanya Neko.
"Yeah, aku sudah menghubungi Kim. Mereka berdua akan pergi ke kota duluan, bertemu Kim, dan aku akan menyerahkan sepenuhnya padanya. Dia kuat kan? Jika mereka berdua bisa saja memberontak nantinya sebelum pelatihan dimulai?" ujar Felix.
Neko terdiam sebentar, dia tak boleh meragukan Kim. "Tentu saja, kau pikir dia hanyalah lelaki biasa... dia akan kuat pada waktunya..."
"Heh, kenapa jadi memuji lelaki lain jika aku ada di sini?" Felix menatap dengan senyum kecil, membuat Neko terkejut dan berwajah agak merah, tapi dia mencoba membuang wajahnya. "Terserah saja..."
"Baiklah, kau benar-benar sangat terlihat merepotkan yah... Ngomong-ngomong, aku sudah mengemasi barang untuk kita pergi besok, kau sudah yakin akan pergi besok, bukan? Jika kau meminta padaku untuk memundurkan keberangkatan, aku akan melakukannya," kata Felix.
Mendengar itu, Neko pun terdiam, lalu dia menatap ke jendela yang memperlihatkan langit yang malam gelap. Dia menghela napas panjang dan menjawab, "Tempat ini adalah tempat kedua di mana ada menceritakan kisah hidupku. Aku melarikan diri dari kota demi mencari seseorang yang saat ini menjadi bajingan busuk, tapi paling tidak, aku bertemu orang-orang yang lebih berbeda dari pada di kota," kata Neko. "Jadi, mungkin sudah cukup untuk aku memperkenalkanmu pada tempat ini. Aku hanya ingin kau tahu, bagaimana aku menghargai tempat ini, juga orang-orang di sini," tambahnya.
Felix terdiam, lalu dia memegang tangan Neko perlahan dan mengatakan sesuatu. "Aku tahu itu, aku sudah mengerti semuanya. Jika kau sudah memutuskan untuk cukup, maka aku sudah tahu segalanya. Hanya perlu katakan padaku jika kau ingin ke tempat lain, asalkan bersama aku, dan bayi kita..." ujarnya.
Seketika Neko terkejut, berwajah sangat merah. "(Bayi kita?)"
Hingga pada waktu tidur, mereka tertidur bersama tapi mendadak Neko membuka mata lebar dengan tidurnya yang terbaring menghadap langit-langit sementara Felix tertidur menghadapnya, memeluknya dengan hangat.
Neko tampak tak bisa tertidur. Dia hanya membuka mata hingga Felix menyadari bahwa Neko tidak tertidur. Dia membuka mata dengan lemas. ". . .Kenapa?" tanyanya, bangun sedikit.
Neko terdiam ragu ingin mengatakan sesuatu hingga Felix mengerti sesuatu juga. "Apakah kau takut kau akan bermimpi itu lagi?"
"Apa!? Tidak... (Bagaimana dia bisa tahu? Tidak, aku tidak mau dia sampai berpikir begitu...) Se-sebenarnya, aku hanya rindu pada Hwa..." ucapnya.
"Oh, begitukah?" Felix tampak bangun duduk dan mengambil ponselnya menghubungi seseorang.
Lalu ada yang mengangkat ponselnya, terdengar suara wanita yang lembut dan sopan. "Tuan Felix, apakah ada sesuatu Anda menghubungi saya?" suaranya terdengar seperti Syung Ha.
"Bisa kau berikan ponselmu pada Hwa? Dia belum tertidur kan?" kata Felix.
Neko terdiam dengan sikap Felix yang langsung sigap menuruti perkataan Neko hingga Felix memberikan ponselnya, membuat Neko terdiam. Tapi ia mencoba bangun duduk perlahan dan mendekatkan ponsel itu ke telinganya. "Ha-" sebelum dia bisa menyapa.
Ada suara rindu dari ponsel. "Ibu..." suara Hwa yang tampak terdengar bersemangat. "Ibu, bagaimana keadaan Ibu di sana? Juga Ayah?" tanya Hwa.
Mendengar itu membuat Neko tersenyum senang. "Ibu baik-baik saja di sini, kami akan pulang besok, tunggulah kami ya," kata Neko. Felix yang mendengar Neko berbicara dengan senang menjadi ikut tersenyum kecil. Dia bersandar di ranjang dan membuat Neko bersandar di dadanya juga sambil masih menghubungi Hwa, menghabiskan malam untuk menunggu mengantuk hingga mereka tertidur.
Hingga keesokan harinya, Felix tampak merapikan barang-barang di bagasi mobilnya sementara Neko menatap anjing-anjing kecil milik Dongsik yang mengelilinginya bermain di sana. Dongsik juga ingin sekali-kali dielus Neko karena Neko terduduk di teras halaman menatap Felix dari kejauhan.
Tapi kemudian, ketika gerbang dibuka, ada Yechan yang menunggu. Felix yang membuka gerbang menjadi terkejut sedikit menyadari Yechan ada di sana. "Sedang apa kau di sana? Kau dari tadi di sana?" tanyanya.
"Ah tidak, aku baru saja. Kudengar apakah kalian akan pergi hari ini?" tanya Yechan pada Felix. Neko juga melihat Yechan dari kejauhan.
"Kalau begitu, apakah aku bisa bertemu dengan Akai untuk terakhir kali?" Yechan masih menatap Felix.
Dengan bingung, Felix menunjuk Neko. "Kesanalah, tapi cepatlah...."
Seketika Yechan senang dan mendekat ke Neko. "Akai..."
"Oh pas sekali, seperti biasa Yechan, tolong jaga tempat ini dan juga Dongsik, aku selalu mempercayakan tempat ini padamu," kata Neko.
Yechan dengan senyum tipis dan tak rela hanya bisa menjawab. "Baiklah Akai, tapi... ketika bayimu lahir, bolehkah aku mengetahui kelahirannya nanti agar aku bisa ke kota untuk menjenguk bayi? Aku juga ingin melihat bayimu...." ucap Yechan.
Neko tersenyum lembut. "Tentu saja... Aku akan memberitahumu," balasnya membuat Yechan tersenyum senang dan mengangguk.
Tak lama kemudian, Yechan melambai pada mobil Felix yang pergi. Ketika mobil itu sudah jauh, Yechan tak bisa menahan tangisnya, dia antara menangis senang maupun haru. "Akai, meskipun kita tak selalu bersama sekarang, aku harap kamu selalu bahagia... Benarkan Dongsik?" Dia menatap Dongsik yang ada di bawahnya, lalu Dongsik membalas. "Wooff!"
Di sisi lain, terlihat Kim yang menyilangkan tangan dengan wajah kesal, matanya membara seakan ingin membakar siapa pun yang berani menentangnya. Ia menatap Zuo dan Ariana yang berdiri di hadapannya, keduanya balas menatap dengan sorot mata penuh perlawanan. Udara di antara mereka terasa tegang, seolah-olah ada percikan api yang siap membakar seisi ruangan kapan saja. Tatapan mereka sama-sama tajam, tak satu pun ingin mengalah.
Kim akhirnya memecah keheningan dengan nada sinis. "Jadi, kalian yang dimaafkan oleh Nona Akai? Benar-benar buruk sekali harus memaafkan dua anjing tak berguna..." ucapnya, diiringi senyum miring yang penuh ejekan. Kata-katanya menusuk, seakan dia ingin menekan harga diri mereka berdua hingga tak tersisa.
Zuo, dengan raut wajah yang berubah semakin keras, tak mau kalah. "Hei, jangan mentang-mentang kau sudah ada di pihaknya lama. Kita hanya asal uang saja, kita tak akan berurusan dengan buruk..." Ucapannya dipenuhi amarah tertahan, mencerminkan harga dirinya yang terluka namun tetap mencoba menahan diri.
Kim mengangkat alisnya, senyum di wajahnya semakin lebar. "Oh, tentu saja aku harus begitu... Aku seharusnya diberi penghargaan bisa bertahan sampai sekarang, tapi rupanya aku dibebaskan untuk memerintah kalian agar aku bisa melihat apakah kalian bisa dipercaya..." Suaranya semakin rendah, namun penuh dengan nada penuh kuasa. Kali ini, sikap Kim seolah menunjukkan dirinya berada di atas angin, memegang kendali atas situasi yang dihadapi. Ariana dan Zuo saling melirik, tak bisa menyembunyikan kekesalan mereka, namun mereka juga tahu bahwa mereka tidak bisa sembarangan.
Namun, tiba-tiba suasana berubah saat suara memanggil dari belakang. "Kim..." Suara itu lembut tapi penuh otoritas, membuat Kim menoleh cepat. Suaranya seperti Neko, dan benar saja, sosok Neko muncul dengan anggun. "Nona Akai, kapan kau sampai?" tanya Kim, berusaha menormalkan suaranya yang tadi terdengar sombong.
Neko tampak tenang. Matanya mengamati situasi yang ada, lalu beralih pada Ariana dan Zuo. "Baru saja, bagaimana keadaan mereka?" tanya Neko, matanya tajam meski wajahnya tetap tenang. Ia tampak menilai dari kejauhan, tidak terburu-buru mengambil keputusan.
Kim, dengan rasa percaya diri yang tidak menurun, menjawab sambil melirik ke arah Ariana dan Zuo. "Percayakan padaku, aku akan melihat apakah mereka bisa dipercaya..." Nada bicaranya meyakinkan, dan Neko tampak mengangguk, seolah mengakui bahwa Kim memiliki otoritas untuk menangani dua orang di depannya itu.
Ketenangan itu segera berubah ketika Felix muncul, mendekati mereka dengan langkah pasti. Kehadirannya membuat Ariana dan Zuo terkejut, terlihat jelas dari gerakan refleks mereka yang langsung menundukkan kepala, menghindari tatapan langsung. Felix adalah sosok yang memiliki aura kuat, cukup untuk membuat keduanya merasa terintimidasi.
"Amai, bisa kau ikut denganku hari ini?" ucap Felix, kali ini dengan nada lebih lembut saat berbicara pada Neko, membuatnya menoleh dengan sedikit kebingungan. "Kemana?" tanyanya, matanya mengerut halus, mencoba memahami permintaan yang tiba-tiba.
Felix menatap ke kejauhan, seakan memikirkan sesuatu. "Salah satu orang pebisnis ingin bertemu denganku untuk menjalin kerja sama. Entah kenapa dia meminta untuk membawa istriku..." ungkapnya, nada suaranya menunjukkan ketidakpastian, seolah ia pun belum sepenuhnya memahami maksud di balik permintaan tersebut.
Neko mengernyitkan dahi, tampak terkejut. "Adakah orang yang seperti itu?" gumamnya, mencoba menebak-nebak motif di balik permintaan tersebut.
Kim yang mendengarkan percakapan mereka, segera menambahkan dengan nada serius. "Oh, benar, memang benar pekerja sama itu bilang akan mengundang Tuan Felix bertemu dengannya, dia minta untuk membawa Nona Akai... Karena..." Kim mendekat ke arah Neko, suaranya merendah seolah berbicara tentang rahasia besar. "Karena itu dari perusahaan departemen kekuasaan, mantan pertama Amai kemudian mantan kedua Beum, dan di kembalikan ke kuasa pertama, Amai, hingga akhirnya dipegang oleh Pei Lei, beserta pembantunya, Xun yang berperan tinggi..." Bisikan itu membuat Neko terdiam sejenak, matanya melebar.
Seketika, wajah Neko menunjukkan keterkejutan yang mendalam. "Mereka? Jadi mereka berhasil mengembangkan perusahaan itu? Beum tidak merebutnya?" Tatapannya penuh ketidakpercayaan, mengingat sejarah kelam yang pernah melibatkan mereka. Namun, ada juga secuil perasaan lega yang muncul di wajahnya.
Kim mengangguk kecil. "Ya, Anda sendiri yang memberikan kuasa itu padanya. Dia pasti sudah tahu bahwa Anda menikah dengan Tuan Felix, jadi ketika ingin bertemu dengan Tuan Felix, dia memiliki permintaan seperti itu... Anda hanya harus datang dan menunjukkan kehidupanmu saat ini..." Suaranya penuh kepastian, mencoba meyakinkan Neko bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Neko tampak tersenyum kecil, namun sorot matanya menyiratkan kekhawatiran yang mendalam. "Entahlah, aku benar-benar tak tahu lagi... Di sisi lain aku tak tahu harus mengatakan apa. Orang-orang di masa lalu bukannya tak perlu tahu apa yang sedang terjadi padaku?" gumamnya, suaranya dipenuhi keraguan, seperti orang yang berdiri di persimpangan antara masa lalu dan masa kini.
"Tentu saja harus tahu. Dengan tahu, mereka tidak akan pernah mengharapkan sesuatu darimu lagi karena kau sudah punya kehidupan yang baru..." balas Kim dengan tegas, seolah ingin mengingatkan Neko bahwa semua ini adalah bagian dari perjalanan baru mereka. Perkataan itu membuat Neko terdiam, memikirkan betapa jauh dirinya telah melangkah dari masa lalu yang dulu membelenggu.
Di sela-sela percakapan ini, Felix yang sedari tadi mendengarkan dengan pandangan datar, akhirnya angkat bicara. "Apa yang sebenarnya kalian bicarakan dari tadi?" tanyanya, suaranya memecah suasana, membuat Neko tersadar dari lamunannya.
"Tidak ada. Baiklah, ayo pergi..." jawab Neko cepat, sebelum menarik tangan Felix. Ia berjalan pergi, meninggalkan Kim bersama dua orang yang masih diam di tempatnya, memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya.