Chereads / Bloody Line: Under The Drop of Blood / Chapter 292 - Chapter 292 Not a Faded

Chapter 292 - Chapter 292 Not a Faded

"Siapa itu?" tanya Neko, matanya sedikit menyipit saat menatap Felix dengan kebingungan. Suara bel pintu yang tiba-tiba berbunyi di tengah sore itu menambah ketegangan di udara. Di luar sana, angin malam berembus, memutar dedaunan yang gugur, menciptakan bisikan lembut di antara gemerisik pohon.

Felix menghela napas berat, seolah aura gelapnya ikut bergerak bersamanya. Tubuh kekar itu perlahan bangkit dari sofa, langkah-langkahnya terdengar malas menyusuri lantai.

Begitu dia membuka pintu, angin dingin menerpa wajahnya, membawa aroma hujan yang mulai turun tipis-tipis.

Felix terdiam ketika pandangannya bertemu dengan dua sosok yang tidak diinginkannya. Dua orang yang selama ini hanya hadir dalam bayangan masa lalu yang ingin dia lupakan. Begitu pintu terbuka dan kesadaran siapa tamunya menghantamnya, sebuah belati berkilau di bawah cahaya lampu jalan, melesat cepat ke arah wajahnya. Namun, instingnya lebih cepat. Dengan gerakan gesit, dia memiringkan kepala, mencengkeram tangan yang menggenggam belati itu sebelum benda tajam itu mencapai kulitnya.

Pertarungan pun pecah. Dalam heningnya malam, suara tubuh yang terhempas dan desahan napas terputus-putus terdengar keras. Neko, yang berdiri di ruang tamu, hanya bisa mendengar dari kejauhan, tanpa benar-benar melihat apa yang terjadi. Suara itu membuatnya mundur setapak, menggenggam erat tepi meja, merasakan ketegangan merambat di ujung jarinya.

Di luar, perkelahian itu berlangsung singkat. Felix melayangkan pukulan keras ke arah lawannya, membuat sosok itu terlempar ke belakang dan jatuh ke tanah dengan suara yang menghantam. Nafasnya memburu, sementara sosok kedua, yang belum merasakan serangan Felix, berdiri dengan tubuh kaku dan wajah panik. Felix mengepalkan tangan lagi, siap menghajar orang berikutnya.

"Oh hei, sabar!!" seru orang yang belum terpukul, suara paniknya menggema di antara suara sepi.

"Hei, hentikan," suara Neko terdengar di belakang Felix, nada perintah yang samar-samar terselip di dalam ketakutannya. Felix menoleh, menatap Neko dengan alis yang berkerut, seolah mempertanyakan keputusannya. "Amai, jangan kemari," ucap Felix sambil menahan diri, tapi tangannya masih mencengkeram kerah orang di depannya, menyiratkan ketegangan yang belum sepenuhnya hilang.

Tiba-tiba, orang yang dicengkeram Felix merintih pelan, dan Neko menyadari siapa dia. "Akh..!" Orang itu bergumam pelan, dan Neko mengernyit saat pandangannya bertemu dengan wajahnya. "Ariana?" Neko bergumam pelan, setengah tidak percaya. Fakta itu meresap lambat dalam pikirannya, dan ketika dia memutar pandangannya ke arah lawan yang sudah tersungkur, dia mengenali wajah Ariana, sementara orang yang tadi dipukul keras oleh Felix adalah Zuo.

"Kalian?" Neko nyaris tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

Felix akhirnya menurunkan Ariana dengan keras, membuat tubuh wanita itu jatuh terbanting di tanah yang dingin dan keras. Suara hempasan tubuhnya mengisi udara yang kotor, sementara Ariana meringis menahan sakit di punggungnya. Namun, tatapan Felix tak berubah—tetap tajam, tetap tanpa belas kasih. Tubuh besar Felix berdiri menghalangi cahaya lampu jalan, membuat bayangannya menutupi tubuh Ariana yang terengah-engah. Tato di punggung nya tampak jelas dalam gelap, pola rumit yang membentang di kulitnya menciptakan bayangan yang mengerikan di bawah sorotan lampu yang redup.

Neko, dengan suara yang mulai mengeras, menarik lengan Felix. Jari-jarinya yang kecil nyaris tidak mampu menahan lengan besar pria itu. "Berhentilah memukul mereka," katanya, mencoba mengendalikan getar di suaranya. Matanya menatap Felix, memohon di balik kemarahan yang dia tunjukkan.

Felix menoleh, napasnya masih berat dan dalam. "Apa? Mereka yang mulai duluan, bukan?" Ia mengerutkan alis, matanya membara dengan amarah yang seolah sulit diredakan.

"Uhuk... cough... kami pikir kau adalah seorang pria buruk yang menyandera Neko..." Zuo berbicara dengan napas tersengal, satu tangannya menekan pipinya yang lebam.

Di sebelahnya, Ariana juga perlahan bangkit dari tanah, menghapus jejak tanah basah di pakaiannya. "Padahal kita tak ada maksud yang buruk..." tambahnya, suaranya bergetar, jauh dari kesan tegas.

Felix, bagaimanapun, sudah mengenali kebohongan itu sejak awal. Dia maju selangkah lagi, wajahnya semakin dekat ke wajah Zuo dan Ariana, memperlihatkan ekspresi dinginnya yang lebih mengancam. "Tinggal bilang yang sebenarnya, apa susahnya? Aku tahu kalian mengetahui Amai ada di sini, dan bermaksud untuk menemuinya, bukan? Karena kalian berada di bawah Cheong dan Cheong ada di sini juga...." Nadanya rendah, penuh ancaman, seolah tak ada satu pun yang bisa terhindar dari tatapan tajamnya.

Ariana mencoba melawan balik, suaranya terdengar lemah namun tetap berusaha meyakinkan. "Hei, dari mana kita berpikir begitu?" Ia mengelak, tapi kebohongannya begitu jelas bagi siapa pun yang mendengarnya.

Felix tidak berhenti. "Dia pasti meminta kalian untuk mengawasi Amai, kalian memastikan dia ada di sini atau tidak... Apakah itu benar?" Sorot matanya semakin tajam, bagaikan seorang pemburu yang sudah menemukan mangsanya.

Seketika Ariana dan Zuo terdiam, tak mampu berkata-kata.

Neko yang memperhatikan interaksi itu dengan cermat, mencoba mencerna setiap kata yang diucapkan Felix. Apa yang dia katakan terdengar begitu meyakinkan. "(Aku tidak pernah meragukan apa yang dia ketahui, dia layaknya tahu segalanya...)" pikirnya dalam hati.

Zuo menyadari bahwa Neko menatapnya, dia mencoba mencari kata-kata, namun hanya keheningan yang terlepas dari bibirnya. Akhirnya, dia mengakui kebenarannya dengan berat hati. "Itu memang benar, Boss meminta kita untuk mengawasimu, karena sebelumnya dia bertemu denganmu..."

Di sisi lain, Ariana menatap Zuo dengan keterkejutan yang tak bisa disembunyikan. Ia memukul pelan bahunya, mencoba menghentikan pengakuan yang baru saja keluar. "Apa yang kau katakan!"

"Hei, kita tak bisa menghindari Park Choisung, kau tahu kan dia orang yang seperti apa? Dia bisa mengetahui sesuatu hanya dengan berpikir... Karena itulah banyak orang yang gagal memanipulasinya... Bukankah kita sudah membahasnya?" Suara Zuo terdengar rendah dan serak, sementara dia menatap Ariana dengan sorot mata yang gelap.

Ariana menunduk, menahan kesal yang meluap-luap di dadanya, kemudian menghela napas panjang. "Begini, sebenarnya kita sudah muak dengan Cheong..." katanya, mengangkat wajahnya dan menatap Felix serta Neko dengan pandangan serius.

Neko, yang mendengar pernyataan itu, menatap mereka dengan penuh rasa ingin tahu, tapi ada ketegasan yang tak bisa disembunyikan dalam pandangannya. "Apa yang terjadi padanya?" tanyanya, nada suaranya tidak menunjukkan keraguan sedikit pun.

Zuo menarik napas dalam-dalam, seolah mencari keberanian untuk berbicara lebih lanjut. "Dia memutuskan untuk pensiun..." ucapnya singkat. Suara itu mengalun pelan namun jelas di antara mereka. Seketika Neko terkejut, matanya membesar mendengar kabar itu, sementara Felix tetap tenang, bahkan tak sedikit pun mengubah posisinya yang menyilang tangan di dada. Ekspresi acuh tak acuh Felix menciptakan kesan bahwa berita itu sama sekali tidak mengejutkannya.

"Ada apa dengannya?" Neko mendesak, suaranya menuntut penjelasan lebih lanjut.

Zuo dan Ariana saling menatap, seolah mencari persetujuan satu sama lain sebelum Zuo akhirnya melanjutkan. "Yeah, seperti yang kau tahu, dia memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama putrinya, karena itulah mereka berdua juga ada di desa ini. Putrinya sebentar lagi akan memutuskan untuk mencari pasangan, jadi Cheong akan berdiam diri di mana dia bisa menikmati waktunya..." Ariana mengucapkannya perlahan, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu benar-benar kenyataan yang sedang dihadapi.

Felix, mendengar penjelasan itu, hanya mencibir tipis. "Terdengar seperti penjahat yang telah pensiun..." ujarnya dengan nada mengejek, sebuah senyuman sarkastik menyudahi kalimatnya.

Neko tampak terdiam, ekspresinya berubah menjadi serius. Raut kekhawatiran tersirat jelas di wajahnya, seperti ada sesuatu yang terus menghantui pikirannya. Dia menghela napas panjang, seakan mencoba menerima kenyataan itu. "(Dia memang tak pantas jika harus bergabung dalam cerita ini...)" batinnya bergemuruh dalam diam. Lalu, Neko menatap kembali ke arah Zuo dan Ariana, mencari kepastian lebih jauh. "Lalu, apakah itu alasan kalian kemari? Hanya untuk memberitahu itu?" tatapnya, nada suaranya tajam dan penuh selidik.

Ariana menggeleng pelan, tampak enggan, tetapi ia akhirnya berbicara dengan suara yang lebih lirih. "Tidak juga... Kami hanya ingin meminta sesuatu... Karena berhubung Cheong pensiun, dia juga menyerahkan pekerjaannya pada orang lain yang tidak membutuhkan kami, otomatis kami sudah tak bergabung di bawah Cheong. Jadi kami hanya mencari seseorang yang mau membuat kami bergabung untuk membantu..." jawabnya, nada suaranya terdengar getir, penuh rasa putus asa yang mencoba disembunyikan. Tatapannya sesekali melirik Felix, namun ketika mata mereka bertemu, Felix hanya menatapnya dengan ekspresi membosankan, mengangkat satu alisnya, seolah meremehkan mereka berdua.

Neko mendesah, jelas belum puas dengan penjelasan itu. "Jadi?" tanyanya lagi, mencoba menggali lebih dalam. Meskipun dia sudah memahami arah pembicaraan ini, Neko sengaja ingin mendengar lebih banyak lagi dari mulut mereka.

Zuo mengerutkan kening, terlihat bingung dan tertekan. "Haiz... Bukankah aku sudah bilang padamu, bahwa saat itu aku memihakmu?" ucapnya, mencoba mencari celah dalam argumen Neko. Suaranya terdengar lirih, seperti orang yang mencoba membela diri di hadapan hakim.

Namun, Neko hanya menggeleng pelan dan menatapnya dengan dingin. "Orang mana yang memihakku jika dia menodongkan senjata pada bawahanku, Kim?" ucapnya dengan nada dingin, matanya menyiratkan kekecewaan yang mendalam.

Kata-kata Neko membuat Zuo dan Ariana terdiam. Dengan perlahan, Zuo tuba-tiba berlutut di depan Neko dan Felix, membuat tanah basah di bawah lututnya membasahi celananya. Wajahnya yang tadinya penuh tekanan kini terlihat kosong, seolah semua harga dirinya telah dihempaskan ke tanah.

Ariana menoleh dengan kaget, matanya membulat tak percaya melihat tindakan Zuo. "Zuo, apa yang kau lakukan? Kau sudah gila? Daripada berlutut, lebih baik aku pergi dan membangun karirku sebagai perancang baju saja!" teriaknya, suaranya gemetar karena marah dan ketakutan.

Zuo menatap Ariana dengan tatapan putus asa, lalu menggeleng. "Hei, kau tak akan punya sponsor, Putri kedua Ezekiel sudah mengetahui kejahatanmu juga. Publik sudah tahu kejahatan kita di sini...."

Mendengar itu, wajah Ariana mendadak pucat, dan dalam sekejap, dia pun berlutut di samping Zuo, meski matanya masih menyiratkan kebencian yang tak terucap.

Felix, yang menyaksikan pemandangan itu, mengangkat satu alisnya lagi, kali ini dengan seringai yang lebih lebar. "Sudah jelas, bukan?" matanya menatap Ariana dan Zuo yang kini berlutut di hadapannya.

Neko melirik Felix sebelum akhirnya mengarahkan tatapannya kembali ke dua sosok yang tampak kehilangan semua kebanggaannya.

"Maafkan aku, kalian berdua..." suara Neko terdengar pelan namun tegas, membuat Ariana dan Zuo mendongak terkejut. Pandangan mereka seketika penuh harapan, namun tatapan itu langsung memudar ketika Neko melanjutkan kata-katanya. "Jika kalian ingin menerima gaji, memohonlah pada orang ini..." Neko berkata sambil menepuk bahu Felix perlahan. Sentuhannya ringan, namun kata-kata itu mengandung keputusan yang tidak dapat ditawar.

Felix hanya tersenyum, seringai tajam yang membuat sudut bibirnya terangkat. Dia mengarahkan pandangannya pada Ariana dan Zuo, menikmati momen tersebut dengan sorot mata penuh kemenangan. "Karena dia yang memiliki kuasa..." tambah Neko, seolah-olah kalimat itu adalah vonis yang tidak bisa mereka elakkan.

Ariana dan Zuo menatap Felix dengan wajah kaku, seolah-olah semua darah di wajah mereka menghilang begitu saja.