Terlihat kotak kayu besar terangkat begitu saja dengan ringan dan diletakkan di truk, terdengar suara kagum dari kerumunan yang menyaksikan. Mereka terpana melihat betapa mudahnya kotak besar itu dipindahkan, padahal sebelumnya beberapa pria di sana kesulitan mengangkatnya. "Wah, kuat sekali..." gumam salah seorang di antara mereka, matanya terbuka lebar penuh rasa takjub. Orang-orang di sana tampak senang dan terbantu karena Felix rupanya membantu mereka, meskipun dia melakukannya tanpa ekspresi, hanya wajah datarnya yang terlihat.
Felix bergerak dengan efisiensi yang nyaris mekanis, otot-ototnya menegang saat mengangkat benda berat, namun langkahnya tetap mantap. Meski wajahnya tidak menampakkan perasaan, ia terus bekerja dengan telaten, tanpa mengeluh. Di kejauhan, Neko memperhatikannya sambil duduk di atas batu besar di bawah naungan pohon apel yang rindang. Ia mengelus perutnya yang membulat dengan gerakan lembut, sesekali tersenyum tipis ketika merasakan bayinya bergerak di dalam sana.
Pandangan Neko sesekali beralih, dan ia melihat Yechan yang juga ikut membantu mengangkat beberapa barang. Meskipun mungkin tak sekuat Felix, Yechan tak mau kalah. Ia bekerja keras sambil sesekali mengobrol dengan orang-orang di sekitarnya, membuat suasana terasa lebih hidup. Ada sesuatu tentang caranya bergaul dengan yang lain yang membuat Yechan tampak seolah menyatu dengan suasana, berbeda dengan Felix yang lebih diam dan pendiam.
Di antara gigitan-gigitan apel yang segar, Neko menikmati potongan-potongan buah yang dipotongkan Felix untuknya. Potongan-potongan apel itu tersusun rapi, hampir seperti pola yang teratur, menunjukkan ketelitian Felix meski dalam hal-hal sederhana. "Rasanya bahkan sangat manis dan enak..." ucapnya pelan, membiarkan rasa apel itu mengisi mulutnya. Bibirnya melengkung tipis dalam senyuman puas.
Felix, di sisi lain, kini tampak mulai kelelahan. Napasnya sedikit tersengal, butiran keringat menetes di dahinya dan membasahi lehernya. Seorang pria tua dengan senyum ramah mendekat, menyerahkan handuk padanya. "Kamu bekerja sangat keras, Tuan..." katanya dengan nada hormat.
Felix menerima handuk itu dengan sedikit ragu, seolah tidak terbiasa dengan perhatian semacam ini. Namun, akhirnya dia mengambilnya dan mulai mengelap keringat di lehernya. Saat pandangannya kembali ke arah Neko, ia mendapati Neko sedang menatap ke arah lain. Neko tidak melihat ke arahnya, melainkan ke arah Yechan yang tampak bercanda dengan beberapa warga. Perasaan yang sulit diungkapkan muncul dalam hati Felix saat ia menyadari arah pandangan Neko.
Sebuah suara tiba-tiba menyadarkannya. Seorang wanita paruh baya dengan rambut beruban yang tersisir rapi mendekati Felix. Wajahnya menunjukkan rasa ingin tahu yang tulus. "Tuan, apakah kau pasangan dari Nona Cantik itu?" tanyanya, pandangannya bergeser ke arah Neko yang masih duduk di bawah pohon apel.
Felix terdiam sejenak, alisnya mengernyit, seolah pertanyaan itu membawanya pada ingatan masa lalu. Meski demikian, ada sesuatu yang sudah jelas dalam nada suaranya ketika ia menjawab. "Tentu, dia istriku. Kenapa?" jawabnya, mencoba terdengar santai meski ada sedikit kebingungan dalam nada suaranya.
"Apakah cukup repot jika menemani istri yang sedang mengandung? Aku jadi teringat masa-masa itu," lanjut sang wanita dengan tawa kecil di ujung kalimatnya, suaranya terdengar seperti kenangan yang jauh.
Felix kembali terdiam sejenak, tatapannya beralih ke arah Neko yang kini tampak nyaman di tempatnya, mungkin bahkan sedikit lelah. Dia teringat hari-hari ketika Neko melewati masa sulit sebelum melahirkan anak pertama mereka, Hwa. Itu adalah masa yang penuh kecemasan dan rasa khawatir yang tak kunjung reda. "...Aku... tidak merasa keberatan sama sekali, tapi, justru dia yang keberatan... Ketika dia melahirkan putra pertamaku, dia hampir tidak bisa aku lihat lagi, dan aku takut itu terjadi nantinya..." kata Felix, nadanya rendah dan penuh perasaan.
"Oh, teruslah berdoa saja... Apakah kondisinya sehat? Bagaimana dengan rasa mual di perutnya?" Sang wanita bertanya lebih lanjut, matanya berbinar-binar penuh rasa ingin tahu, seolah kehidupan Neko adalah bagian dari cerita yang ingin ia dengar lebih banyak.
Felix sedikit menunduk, mencoba mengingat bagaimana Neko melewati hari-hari kehamilannya yang sekarang. "...Dia tak pernah memuntahkan makanannya... Justru dia sangat lahap jika memakan sesuatu... Sepertinya bayinya juga menyukai apa yang dia makan..." balas Felix dengan nada suara yang sedikit lebih lembut, ada kehangatan di matanya ketika berbicara tentang Neko.
"Itu terdengar lebih baik... Apakah itu bayi kembar?" tanya mereka dengan nada penasaran, sambil menatap Felix, berusaha menangkap reaksi dari pria yang lebih sering terlihat diam ini.
Seketika, Felix tersentak sedikit mendengar itu. Ia tidak pernah memikirkan kemungkinan itu sebelumnya. "Kembar? (Aku bahkan tak pernah berpikir hal itu.) Dari mana kau bisa berpikir bahwa itu kembar?" tanyanya, suaranya hampir berbisik, dan tatapannya penuh keheranan.
"Karena ukuran perutnya, pasti bayinya sehat-sehat... Tapi kami hanya asal menebak, kami sudah melewati beberapa zaman..." jawab mereka sambil tertawa pelan, seolah mencoba membuat suasana lebih ringan.
Felix terdiam lagi, pikirannya kini dipenuhi berbagai kemungkinan yang baru saja terlintas. Ia melihat seorang wanita paruh baya lain yang mendekati Neko. Wanita itu berbicara dengan lembut dan ramah, sambil menepuk pelan perut Neko, seolah memberi doa-doa baik untuk bayi yang ada di dalam sana.
Felix masih tenggelam dalam pikirannya, merenungkan kemungkinan tentang bayi kembar itu. "Bayi kembar?" gumamnya pada diri sendiri, nyaris tak terdengar oleh orang lain. "(Jika itu bayi kembar, bukankah itu bagus, bayi-bayi yang akan tumbuh lebih banyak... Aku pasti akan menyukai itu...)" pikirnya, dengan sebuah senyum kecil yang mulai muncul di bibirnya.
Di tengah lamunannya, Yechan tiba-tiba mendekat dengan langkah cepat, wajahnya penuh rasa ingin tahu. "Hei, apa yang kalian obrolkan?" tanyanya sambil menatap mereka bergantian, mencoba menangkap apa yang terjadi di antara percakapan yang terpotong tadi.
"Kau ini, tidak cocok bicara hal ini..." mereka langsung bercanda membuat Yechan terdiam tak mengerti, ketika dia melihat ke Felix, Felix hanya melewatinya untuk berjalan ke tempat Neko yang sudah sendirian.
Felix duduk di bawah batu yang diduduki Neko. Suasana sore itu tenang, dengan cahaya matahari yang temaram menyelimuti area sekitar. Yechan yang melihatnya merasa tertegun, hatinya berdesir melihat pemandangan hangat itu. Felix tampak nyaman, meletakkan kepalanya di paha Neko, sementara Neko membelai pelan kepala Felix yang terlihat lelah setelah membantu beberapa orang di desa.
"Sudah seharian kita bekerja," pikir Yechan, merenungkan betapa gigihnya teman-temannya dalam membantu. Ia terdiam, mencoba mengumpulkan pikiran, namun akhirnya menggeleng dan memutuskan untuk pergi. Ada rasa kesepian menyelimuti hatinya, seolah-olah ia sedang melewatkan momen berharga yang tidak ingin ia abaikan.
Sementara itu, Felix menutup mata, merasakan sentuhan lembut tangan Neko. Tangan itu, meskipun sederhana, memberikan rasa aman yang mendalam. Suara gemerisik daun dan kicauan burung menambah kehangatan suasana. Lalu Felix membuka mulutnya, "Setelah ini, bisakah kita kembali? Aku akan pilihkan tempat yang lebih bagus dari ini..." katanya dengan nada lembut, berharap Neko setuju.
Neko terdiam sejenak, tatapannya beralih ke sekelompok orang yang tampak mengobrol dengan baik di kejauhan. Mereka adalah penduduk desa yang telah dibantu sebelumnya. Neko menghela napas panjang, merasakan tanggung jawab yang besar dalam setiap langkah mereka. "Ha... Baiklah..." jawabnya, merasa senang sekaligus cemas tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.
Felix mengangkat kepalanya dan menatap perut Neko, yang mulai tampak sedikit membesar. "Mereka bilang, kau mengandung bayi kembar," katanya, dan tiba-tiba suasana menjadi hening. Neko terkejut, matanya melebar mendengar pernyataan Felix.
Dengan ragu, Neko menjawab, "Aku bermimpi, melihat dua mawar kecil. Kupikir salah satunya Hwa, ternyata, Hwa memiliki bentuk mawar yang lain..." Suaranya bergetar, mencerminkan kebingungan dan harapan yang bercampur aduk. "Aku semakin yakin jika ini bayi kembar.... Tapi aku tak pernah merasa untuk tahu," katanya, suaranya pelan, namun ada kehangatan di dalamnya yang membuat Felix tersenyum kecil.
"Ini baik-baik saja, selagi mereka tidak membuatmu sakit, ini akan bahagia..." tatap Felix, memberikan semangat kepada Neko. Dia tahu betapa berartinya kebahagiaan bagi mereka, terutama saat ada harapan baru yang akan lahir.
"Apakah kau sudah selesai membantu mereka?" tanya Neko, masih mencari kepastian.
"Kau bisa melihat mereka yang sudah berkemas..." balas Felix sambil menunjukkan ke arah beberapa orang yang sedang berkemas. Senyum mereka membawa kelegaan di hati Neko.
"Kalau begitu, ayo kembali, kau harus mandi..." Neko berdiri perlahan, merasa sedikit lelah, tetapi rasa bahagia tetap mengalir di dalam dirinya. Felix pun ikut berdiri dan mereka berjalan bersama perlahan, seperti dua jiwa yang saling melengkapi.
Namun, suasana tiba-tiba terputus saat Yechan memanggil, "Hei.... Akai!" dan mendekat, membuat Neko menoleh.
"Huf... Hei, ini untuk Tuan Park. Terima kasih telah membantu mereka..." Yechan memberikan beberapa apel yang dikantungi. Apel itu tampak segar dan sangat merah, seolah menyimpan rasa manis dari kerja keras mereka.
Felix menerimanya dengan bingung, "Kenapa harus?" pikirnya, merasa tidak pantas menerima sesuatu tanpa imbalan.
Tapi Neko segera menepuknya pelan, memberi sinyal bahwa sikap Yechan itu adalah bentuk penghargaan. "Terima kasih.... Kami akan kembali dulu..." tatapnya dengan ramah, lalu Yechan mengangguk. Dengan penuh rasa kesal, Neko segera menarik Felix pergi untuk berjalan meskipun Felix masih tidak mengerti sepenuhnya makna di balik semua ini.
Hingga sorenya, Neko terlihat membaca buku di sofa dan kemudian melihat Felix yang keluar dari kamar mandi dengan telanjang dada dan hanya menggunakan celana panjang nya, bahkan rambutnya tertutup handuk. Dia berjalan di dekat Neko untuk melihat jendela di luar.
Lalu dia mendengar Neko mengatakan sesuatu. "Kau yakin ingin pergi besok?" tatap Neko membuat Felix juga ikut menatap sambil mengeringkan rambutnya. "Kenapa? Kau masih ingin ada di sini? Hal apa yang belum kau nikmati? Buahan nya? Aku bahkan bisa membelikan nya untuk mu di kota, mereka juga sama saja mengirim buah mereka ke kota..."
Neko terdiam lalu menghela napas panjang. "Baiklah, terserah..." dia kembali fokus membaca.
Lalu Felix duduk di samping nya dan mendadak mendekat mencium leher Neko membuat Neko terkejut menjatuhkan bukunya.
"Hei, apa yang mau kau lakukan?" Neko mendorong wajahnya. Tapi Felix terus mendekat mencium lehernya membuat Neko tersentak geli. "Ah... Itu geli..."
Mereka tampak terdengar sangat menyenangkan. Tapi mendadak ada bunyi bell di pintu membuat mereka berdua sama sama diam.