Di dalam ruangan kecil yang terasa hangat, cahaya sore menembus jendela, menerangi perabotan sederhana dengan rona keemasan. Bau harum dari masakan yang dibuat oleh Yechan mengisi udara, menciptakan suasana rumah yang nyaman. Namun, ada ketegangan tak terlihat di antara ketiga orang yang ada di sana.
"Biarkan saja," kata Neko, membuat Felix terdiam dan mengangkat satu alisnya, menatap Neko dengan penuh kebingungan. Udara di antara mereka terasa berat, seperti ada rahasia yang sulit terungkap. "Apa maksudmu?" Felix bertanya dengan nada yang sedikit ragu, tapi ingin mencari kepastian.
"Itu bukan menjadi urusanku lagi. Aku tak mau memikirkan hal semacam itu..." balas Neko, suaranya dingin namun berusaha tetap tegar. Ada beban tersembunyi di matanya yang tak diungkapkan, dan Felix menyadari itu, meski tak sepenuhnya paham.
Felix yang mendengar itu menjadi terdiam. Sesaat kemudian, dia menambahkan, "Oke? Baiklah... Itu juga akan aman untuk bayinya..." ucapnya sambil menyentuh pelan perut Neko dan membelainya. Gerakan tangannya lembut, seolah-olah ia berusaha menenangkan Neko, tetapi di dalam dirinya ada keinginan untuk melindungi sesuatu yang lebih besar.
Neko kemudian melihat ke arah Yechan yang sibuk di dapur kecil, menyiapkan makanan dengan sangat riang. Senyum Yechan mengembang lebar, tangannya cekatan mengatur piring dan mangkuk, seolah tak ada yang bisa mengganggu kebahagiaannya. Felix juga ikut melihat ke arah itu. "Kenapa dia melakukannya dengan ceria? Jarang sekali orang mengerjakan pekerjaan seperti itu," tatap Felix, suaranya dipenuhi rasa ingin tahu.
"Dia memang begitu, jangan dibawa-bawa. Ngomong-ngomong, aku menjadi penasaran pada keluarga Ezekiel..." tatap Neko, matanya mengarah ke sudut ruangan seakan tenggelam dalam pikirannya sendiri. Suaranya terdengar datar, tetapi Felix bisa merasakan ada rasa ingin tahu dan kekhawatiran yang mendalam di balik itu. Neko kembali memulai percakapan, membuat Felix terdiam lalu berpikir sejenak. "Maksudmu, mereka yang mengklaim bahwa kau adalah bagian dari mereka?" tanyanya, sedikit menyelidik.
"Dari mana kau tahu?" Neko menatap terkejut, matanya membulat seakan tak percaya Felix bisa mengetahui hal itu.
"Aku tahu semuanya..." jawab Felix, seolah ingin menunjukkan bahwa dirinya bukan sekadar orang luar. Dia memandang Neko dengan penuh keyakinan, mencoba menyampaikan bahwa dirinya adalah tempat yang bisa Neko percaya.
"Pasti dari Kim..." Neko menyela dengan nada kesal, membuat Felix terdiam, tidak ingin memperkeruh suasana. Mata Neko menyipit, dan nada suaranya mengisyaratkan bahwa ia tak terlalu menyukai campur tangan Kim.
Felix mengerutkan dahi, menebalkan alisnya. "Memangnya kenapa jika aku tahu? Apakah kau punya masalah? Jangan bilang kau ingin memikirkan hal ini?" tatapnya dengan serius. Ada kekhawatiran di wajah Felix, seolah-olah ia khawatir Neko akan kembali terjebak dalam konflik lama yang pernah ia tinggalkan.
"Tidak juga... Aku hanya berpikir soal nasib mereka saja... Putra pertama dan putri keduanya..." kata Neko sambil memikirkan Roiyan dan Clara, anak-anak dari Tuan Ezekiel. Tatapannya kosong sejenak, terbawa kenangan masa lalu yang tampaknya sulit dihapus dari ingatannya.
"Bukankah terakhir kali, pria tua itu berpikir kau telah mati?" tatap Felix, sedikit sinis. Dia mengingat jelas saat kabar kematian Neko menyebar—sebuah kebohongan yang mereka biarkan mengambang di antara mereka yang peduli.
"Yeah, tapi sepertinya Roiyan telah mengetahui aku masih hidup. Itu dilihat ketika aku berpura-pura menjadi gadis magang di perusahaan Beum. Tapi fakta mengatakan bahwa dia telah dijodohkan oleh Satori, bahkan Cheong tahu hal itu..." kata Neko, suaranya mulai melemah. Bibirnya gemetar sedikit saat mengucapkan nama Satori, mengisyaratkan bahwa masa lalu itu masih menorehkan luka di hatinya.
Felix terdiam sebentar, mencoba memproses informasi tersebut. "Sebenarnya, aku pernah menjalin kontrak bisnis dengan putranya itu. Aku agak sedikit tahu soal kehidupannya. Belum lama ini, pasangannya itu... Siapa?" Felix terdiam, lupa sejenak, berpikir keras mencoba mengingat nama yang seakan tertelan oleh waktu.
"Satori..." Neko menyebutkan dengan lirih, ada nada kerinduan dan kesedihan yang sulit ditutupi.
"Yeah, itu... Dia telah mati..." kata Felix. Perkataannya langsung mengubah suasana. Wajah Neko membeku, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Seketika Neko terkejut, tak percaya. "Tunggu! Apa! Apa yang kau katakan?! Dari mana kau berpikir begitu?" tanyanya dengan suara gemetar, menggenggam erat ujung bajunya sendiri. Seperti ada rasa takut akan kebenaran yang mungkin terungkap.
"Aku hanya bertanya-tanya pada putra pertama Tuan Ezekiel. Belum lama ini, pasangannya memang mati, karena sakit..." balas Felix, suaranya berubah pelan. Meski ia menyampaikan kabar buruk, ada kejujuran di dalam nada bicaranya.
Mendengar itu, Neko menjadi terdiam. "(Tidak mungkin, tapi jika dipikir lagi, Satori memang sakit-sakitan... Jadi, mereka tidak bisa menjalin hubungan sangat lama...) Lalu, apa yang terjadi pada Roiyan sendiri?" tanya Neko, suaranya nyaris berbisik. Ada kekhawatiran dalam pertanyaan itu, meskipun ia berusaha menutupinya.
Felix kembali terdiam sebentar, lalu menghela napas panjang. "Siapa yang tahu, bukankah itu bukan urusan kita?" tatapnya. Meski ia berusaha terdengar santai, ada nada tegang dalam kata-katanya, seolah-olah ia juga menyadari bahwa masalah ini tak semudah yang tampak di permukaan.
Neko kembali terdiam, lalu dia hanya bisa menghela napas panjang dan bersandar di lengan Felix. "Itu terlihat sengsara..." bisiknya, seolah-olah ia berbicara pada dirinya sendiri. Ada kelelahan dalam suaranya, kelelahan yang muncul dari menghadapi masa lalu yang selalu mengejarnya.
"Orang-orang yang mengganggumu, mereka yang membuatmu buruk, tentunya akan berakhir sengsara. Untuk apa memikirkan mereka, kau sudah punya kehidupan lain di sini..." kata Felix, suaranya lebih lembut. Ia memegang dagu Neko, mencoba membuatnya kembali fokus pada kehidupan yang mereka miliki sekarang. Tak ada yang menyangka, ia mendekat dan mencium bibir Neko, berharap bisa menyampaikan semua yang tak terucapkan dalam satu ciuman.
Tapi mendadak saja Yechan memanggil. "Makanan sudah siap," tatapnya, namun ia terkejut melihat Felix yang langsung mencium bibir Neko. Yechan mematung di ambang dapur, mulutnya ternganga.
Neko yang menyadari Yechan melihat menjadi mendorong Felix, membuat Felix melepaskan ciuman itu.
"Ah.... Haha.... Apakah aku mengganggu?" Yechan menatap polos, mencoba menyembunyikan rasa kikuk yang membayang di wajahnya.
"Kau mengganggu..." Felix langsung membalas, tapi Neko menutup mulutnya. "Tidak, terima kasih sudah membuat makanan, ya... Ayo makan bersama..." tatapnya dengan berkeringat dingin, berusaha mengendalikan situasi yang semakin aneh.
Tak lama kemudian mereka makan bersama, dengan Felix yang duduk di samping Neko dan Yechan yang duduk di hadapan mereka. Ada rasa hangat yang terasa, meskipun perasaan mereka masih teraduk-aduk.
"Kau terlihat menyukainya, kan?" Neko melirik ke Felix yang dari tadi tak bisa berhenti makan, tapi ia menjadi terkejut dan menghentikan makannya. "Astaga..." Dia bahkan langsung terlihat frustasi, sadar telah makan terlalu banyak.
"Eh, kenapa?" Yechan menatap bingung, tidak mengerti kenapa Felix tiba-tiba terlihat gelisah.
"Ehem, dia berpikir terlalu banyak makan, jadi harus membatasi makan..." kata Neko, mencoba menutupi kegelisahan Felix dengan senyuman tipis.
"Oh, apakah itu karena Akai selalu memasak..." Yechan menatap senang, tapi ia mendadak terkejut ketika melihat Felix mengeluarkan aura mematikan. "Eh, ehehem... Hehe... Aku, aku tidak bermaksud apa-apa..." kata Yechan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, mencoba meredakan suasana.
"Aku memakan apa yang dimasak Amai. Aku menyukai makanan apa yang disukai Amai..." kata Felix dengan mantap. Dia mengambil sumpitnya, lalu memungut sepotong daging kecil dan menyuapi Neko, yang membuka mulut dan memakannya tanpa ragu.
Yechan yang melihat itu tersenyum lebar. Wajahnya tampak senang, meski ada sedikit rasa cemburu yang ia sembunyikan. "(Akai terlihat sangat bahagia....)" pikirnya, menyadari bahwa meski ada banyak rahasia dan luka di antara mereka, tetap ada kehangatan yang sulit diabaikan.
Setelah selesai, Yechan mencuci piring sementara Neko duduk di sofa membaca buku. Felix tidak terlihat di sana, tapi faktanya, dia sedang menghubungi seseorang di balkon vila.
Lalu Yechan selesai dan mendekat ke Neko. "Akai, apakah aku boleh tahu apa pekerjaan kalian di kota?" tanyanya sambil duduk di bawah meja. Neko menutup bukunya dan membalas.
"Hanya pekerjaan biasa yang wajar di kota. Bagaimana denganmu? Apakah kamu ada rencana ke kota lagi?" tanya Neko.
"Em... Tidak yakin, aku tidak memiliki pengiriman barang, tapi mungkin minggu ini aku akan membantu orang-orang desa membungkus buah-buahan yang akan dikirim ke kota..."
"Begitu ya, desa ini sangatlah maju..." kata Neko sambil menatap ke jendela.
"Oh, apakah kamu mau ke kebun apel? Orang tuaku pasti sedang memetik buah itu..."
"Tentu..." Neko juga bersemangat, tapi saat itu juga terlihat Felix turun dari tangga menatap mereka yang juga menatapnya.
"Ah, Tuan Park, apakah mau ikut ke kebun apel?" tanya Yechan.
Felix terdiam masih belum mengerti, lalu menatap ke Neko sebentar dan menjawab, "Baiklah..."
Hingga akhirnya mereka ke kebun apel. Di sana sangat rindang dengan berbagai apel. Felix dan Neko mengikuti langkah Yechan yang di depan.
"Ah, kalian bisa mengambil apel di sini, nikmati sesuka kalian..." katanya.
Tapi tiba-tiba ada yang memanggilnya. "Yechan, kebetulan, bantulah kami..." Mereka meminta bantuan membuat Yechan langsung bersemangat. "Tentu... Eh, kalian, nikmati hari kalian di sini, aku akan pergi sebentar..." katanya pada Felix dan Neko, kemudian Yechan berjalan pergi.
Felix terus melihat ke sekitar. "Kenapa desa ini begitu sangat subur?"
"Tentu saja, ini bukan desa biasa, berhentilah mengatakan hanya desa kecil..." balas Neko, dia mengatakan itu sambil melihat sebuah apel besar yang berwarna sangat merah di atasnya.
Felix yang melihat itu langsung mengambilnya tanpa bantuan alat apa pun. Dia bisa mengambil apel itu, membuat Neko menatap ke arahnya.
Lalu Felix mengeluarkan sebuah belati tajam, membuat Neko terkejut. "Kenapa kau membawa senjata seperti itu di sini?"
Felix terdiam menatap belatinya. "Kenapa? Jika aku diserang, aku tak harus mengisi peluru..." balasnya, dan rupanya dia juga menggunakan belati itu untuk memotong apel itu menjadi beberapa bagian dan memberikannya pada Neko.
Neko tersenyum kecil dan mengambilnya. Dia menyukai apel, dan apa yang disukainya juga akan dimakan Felix yang saat ini juga memakannya.
"Memakan apel dari tempatnya memang terasa segar..." gumam Felix, lalu dia menatap Neko yang melihat beberapa orang yang bekerja keras membantu satu sama lain.
Lalu Neko menatap ke arah Felix. "Kenapa kau tidak membantu? Hitung-hitung kau juga olahraga..." tanyanya, seketika Felix terdiam.