Chereads / Bloody Line: Under The Drop of Blood / Chapter 289 - Chapter 289 Not a Faded

Chapter 289 - Chapter 289 Not a Faded

Di sisi Yechan dan Neko, mereka masih mengobrol dengan baik. Yechan melanjutkan perkataan nya tadi. "Aku sudah mengerti semuanya... Aku tahu kamu harus punya kehidupan yang lebih baik bersama seorang pria yang begitu perhatian. Aku tahu kamu harus memiliki hal yang lebih baik daripada kehidupan yang membuatmu terasa sakit." Yechan menahan napas sejenak sebelum melanjutkan, suaranya terdengar semakin pelan, seolah setiap kata yang keluar darinya membawa beban berat. "Selama ini aku hanya menyusahkanmu saja, dan aku senang jika kamu menemukan kebahagiaanmu. Jadi, tidak apa-apa..." katanya dengan senyum tipis yang penuh ketulusan, meskipun di balik senyumnya, ada kepedihan yang sulit disembunyikan. Ia meraih tangan Neko, menggenggamnya erat, seolah ingin menyalurkan kekuatan dari genggaman itu.

Neko merasa sentuhan tangan Yechan yang hangat, dan sesaat ia bisa merasakan perasaan yang dipendam Yechan selama ini. Yechan melanjutkan dengan suara yang terdengar berat, seolah ia sedang berusaha menahan emosi yang menggenang. "Kamu sudah memiliki keluarga... Bayimu pasti akan lucu... Dan putramu akan tumbuh menjadi sosok yang bisa lebih dari melindungimu. Aku bukan apa-apa di sini..." kata Yechan, suaranya semakin lirih, seperti gumaman yang tertiup angin. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lembah di bawah bukit, seolah mencari jawaban dari luasnya pemandangan di depan mata.

Neko mendengar itu, ia tidak bisa menahan tawa kecil yang keluar dari mulutnya, penuh kehangatan dan rasa sayang yang mendalam. "Kau ini..." bisiknya lembut, tatapannya melunak saat ia mengulurkan tangan untuk membelai kepala Yechan.

"Oh, ngomong-ngomong, apakah kamu mau makan siang di rumahku?" Yechan bertanya, tatapannya lembut dan sedikit canggung.

Neko tersenyum kecil, namun senyum itu seolah menahan keraguan yang tersembunyi. Ia mengalihkan pandangan ke arah lain, menyembunyikan perasaan yang bergolak di dalam hatinya. "Tidak yakin," katanya dengan nada pelan, matanya berusaha menghindari tatapan Yechan. Ada keheningan yang menggantung di antara mereka, seperti angin yang mendadak berhenti berhembus.

Yechan terdiam sejenak, lalu baru tersadar. "Benar juga, kamu harus makan bersama suamimu..." ucapnya, menatap Neko dengan pandangan penuh pengertian. Angin lembut yang berhembus menggerakkan dedaunan, menciptakan suara yang menenangkan. Namun, kata-kata Yechan terasa lebih menggema di telinga Neko daripada suara alam di sekitarnya.

Mendengar kata itu, wajah Neko seketika berubah merah. Rasa hangat menjalar di pipinya hingga ia merasa tidak nyaman. "(Suamiku?)" gumamnya dalam hati, seolah kata itu adalah sesuatu yang asing baginya, sesuatu yang terasa jauh dan sulit ia pahami.

"Ah, kalau begitu, aku akan makan bersama kalian, apakah tidak keberatan? Aku bisa memasak..." kata Yechan, mencoba tersenyum ramah. Ada nada antusias di suaranya, seperti ingin menghibur Neko dan membuatnya merasa lebih nyaman. Dia melangkah mendekat, menawarkan dirinya dengan tulus, berharap dapat meredakan kecanggungan yang tercipta di antara mereka.

"Oh, itu ide yang bagus. Aku sangat merindukan masakanmu, lagipula kamu yang mengajariku memasak..." kata Neko, suaranya menghangat sedikit.

"Haha, bisa saja... kalau begitu ayo," kata Yechan dengan senyum lebar. Ia mengulurkan tangannya, mengundang Neko untuk bergandengan. Sentuhan lembut angin di sekitar mereka seolah-olah mengiringi langkah mereka menuju vila Neko. Yechan memandang jalan setapak yang mereka lalui, di mana daun-daun kering tersebar di sepanjang jalan, memberikan suasana yang damai dan tenang.

Di jalan, mereka juga mengobrol, saling bertukar cerita tentang masa lalu dan hal-hal kecil yang mereka rindukan. "Kamu masih ingat Choka, Akai?" tanya Yechan tiba-tiba, suaranya sedikit melambat, seolah pertanyaan itu membawa beban tersendiri.

Neko terdiam sejenak, berusaha mengingat. "Gadis itu? (Ketika mendengar nama Choka itu, aku langsung mengingat Cheong. Aku harap tak bertemu dengan mereka saja...)" pikirnya, senyumnya perlahan memudar, digantikan oleh bayangan suram yang melintas di wajahnya. Udara seakan menjadi lebih dingin ketika kenangan tentang Cheong kembali menghampirinya, membawa serta rasa cemas yang sulit ia jelaskan.

"Iya, Choka, dia selalu berkunjung kemari, bahkan sering bertemu denganku. Kami juga sering mengobrol soal kamu. Oh iya, terakhir kali dia bilang padaku bahwa dia akan ke desa ini bersama ayahnya. Aku jadi penasaran wajah ayahnya," kata Yechan, mencoba menghidupkan kembali suasana dengan cerita ringan.

Seketika Neko yang mendengar itu menjadi agak terkejut. "Kapan dia mengajak ayahnya kemari?" tanyanya dengan nada yang sedikit tegang, matanya kembali menatap Yechan dengan serius.

"Entahlah, aku tidak tahu. Dia pasti akan mengabari aku jika dia sudah di sini. Pastinya dia harus menikmati waktunya bersama ayahnya dulu. Dia tipe gadis yang sayang keluarga, sama sepertiku hehe..." kata Yechan, berusaha untuk mencairkan suasana dengan senyuman ceria. Namun, ada sedikit kekhawatiran di matanya, seolah-olah ia juga memikirkan masa depan yang tidak bisa ia kendalikan.

"Oh, begitu. Kalau begitu kalian akan cocok jika jadi pasangan," kata Neko dengan lirikan menggoda.

Seketika Yechan terkejut. "Tidak mungkin, Choka dari keluarga tinggi, pastinya dia memiliki pria yang lebih matang lain. Aku hanya akan membantu orang tuaku saja..." katanya sambil menggelengkan kepala, suaranya mengandung keseriusan yang mendalam. Tatapan Yechan menerawang ke arah langit, seolah ada mimpi-mimpi yang ia simpan rapat di balik sorot matanya. Hal itu membuat Neko hanya bisa menggeleng pelan, mengiyakan sambil tersenyum tipis, mencoba memahami perasaan sahabatnya.

Tak lama kemudian, mereka sampai di vila Neko. Dongsik, anjing setia Neko, langsung berlari menyambut mereka dengan riang. Bulunya yang coklat keemasan tampak berkilau diterpa sinar matahari. Dongsik menggonggong dengan ceria, ekornya melambai-lambai seakan ingin menunjukkan betapa gembiranya dia melihat Neko.

Neko terdiam sejenak, memperhatikan anak-anak Dongsik yang bergerak lincah di sekitar kaki mereka. "Benar-benar hebat sekali, di mana betinanya?" tatap Neko, suaranya pelan namun penuh rasa ingin tahu.

"Ah itu, sebenarnya, betinanya mati... dia terkena sakit. Tapi Dongsik tetap kuat kan!" Yechan menatap Dongsik dengan pandangan lembut, ada nada kesedihan di balik ucapannya. Dongsik yang mendengar itu hanya menggonggong kecil, seolah-olah mencoba meyakinkan Yechan bahwa dia baik-baik saja meski kehilangan betinanya.

Neko tersenyum kecil melihatnya, merasa tersentuh oleh kesetiaan Dongsik. Anjing itu terus mengendus Neko, seakan mencoba mencari tahu sesuatu.

"Nona, sudah lama tidak bertemu, kenapa perutmu besar? Apakah itu kehidupan baru?" mungkin itu yang akan dikatakan Dongsik.

"Baiklah Dongsik, kita ke dalam dulu," kata Yechan, menuntun Neko masuk ke dalam vila. Langit yang mulai berubah warna menjelang sore, menciptakan bayangan panjang di lantai kayu vila. Neko duduk di sofa yang empuk, menghela napas panjang sambil menatap langit-langit vila. "Ha... melelahkan..." bisiknya, matanya sedikit terpejam menikmati ketenangan sejenak.

Sementara itu, Yechan sibuk di dapur, membuka rak dan lemari es satu per satu. Namun, ia terkejut ketika mendapati semuanya kosong, tak ada bahan makanan sedikit pun. "Akai, kenapa kosong? Apakah kamu tidak belanja untuk persediaan di sini?" tatapnya dengan alis yang berkerut, berusaha menutupi rasa cemasnya.

Seketika Neko baru ingat dan menepuk dahinya pelan. "Oh, benar... tapi, di mana pria itu?" Neko melirik sekeliling, matanya mencari-cari sosok Felix yang biasa mengurus keperluan rumah.

"Mungkin dia juga keluar..." kata Yechan sambil berjalan mendekat, namun tiba-tiba terdengar suara pintu yang terbuka. Felix muncul di ambang pintu, menatap Yechan dengan tatapan yang tidak terlalu bersahabat. Plastik belanjaan penuh bahan makanan tergenggam di tangannya. "Kenapa kau ada di dalam sini?" tanyanya dengan nada datar, jarinya menunjuk ke arah Yechan.

"Oh, ternyata Tuan Park membeli beberapa bahan makanan," Yechan berkata dengan suara ceria, seolah-olah penemuan itu adalah hal yang menyenangkan. Ia langsung mengambil plastik belanjaan dari tangan Felix dengan sigap, menyebabkan Felix terdiam sejenak. Matanya yang tajam menatap kosong ke arah tangan yang sekarang hampa. Rasa bingung dan sedikit kesal terlihat di wajahnya, sementara Yechan sudah melangkah cepat ke arah dapur, mengabaikan kehadiran Felix seakan-akan mereka sudah saling mengenal lama.

"Hei?" Felix menatap kesal, rasa frustrasi mulai menggerogoti pikirannya. Ia merasa seperti anak kecil yang kehilangan mainan kesayangannya, tak bisa memahami kenapa tiba-tiba ada orang asing di rumahnya dan bagaimana bisa orang itu langsung masuk tanpa memberi tahu. Namun, saat pikirannya teralihkan, suara lembut Neko memanggilnya.

"Dari mana saja?" Neko bertanya, suaranya penuh kehangatan dan kepedulian. Ia duduk di sofa, terlihat nyaman dan santai. Mata Neko berkilau, mencerminkan rasa ingin tahunya, sementara dia melihat Felix dengan tatapan lembut. Tangan Neko menepuk pelan sofa, mengisyaratkan Felix untuk duduk di sampingnya, menciptakan suasana yang akrab dan menenangkan.

Felix menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Dia berjalan menuju Neko dan duduk di sampingnya, merasakan kehangatan yang memancar dari tubuh Neko. Tanpa sadar, ia melingkarkan tangannya menjadi bantal untuk Neko, memberikan dukungan tanpa kata-kata. "Haa... hanya keluar membeli makanan. Aku tahu kita tak ada makanan... dan, kenapa lelaki itu bisa masuk?" tanyanya sambil melirik ke arah Yechan yang sibuk di dapur, suaranya penuh keraguan dan sedikit skeptis.

"Biarkan saja, dia akan memasak makanan enak. Ngomong-ngomong, kau berjalan ke mana saja?" Neko sudah mengobrol dengan baik padanya.

"Hanya berjalan mengikuti jalan, kemudian menemukan supermarket kecil... juga..." Felix mendadak berhenti, pikirannya berputar cepat saat nama Cheong melintas di benaknya. Bayangan wajah Cheong muncul, mengisi pikirannya dengan berbagai perasaan campur aduk. Ketika dia memikirkan Cheong, rasanya seperti ada meriam yang siap meledak di dalam otaknya, mengacaukan semua rasa tenang yang sebelumnya ada. Kekesalan dan kebingungan melanda, membuatnya sulit untuk melanjutkan kalimatnya.

"Juga?" Neko menatap bingung, ingin tahu lebih banyak tentang apa yang mengganggu Felix. Matanya yang besar tampak bersinar, mencerminkan ketidaksabaran dan kekhawatirannya. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar pertemuan biasa.

"Aku bertemu Cheong..." balas Felix langsung begitu saja, tanpa ragu, seolah-olah kata-kata itu meluncur dari bibirnya tanpa bisa dia kendalikan. Saat dia mengucapkannya, suasana di ruangan itu seketika berubah. Neko benar-benar terdiam, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Rasa terkejut dan ketidakpastian memenuhi ruangan, menciptakan ketegangan yang bisa dirasakan oleh keduanya.

Neko mengerutkan dahi, mencoba mencerna informasi yang baru saja dia terima. Dalam pikirannya, pertemuan itu bisa membawa banyak konsekuensi. Dia tahu betul bagaimana dinamika antara Felix dan Cheong bisa memengaruhi hubungan mereka, dan saat ini, Neko hanya bisa menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.