Chereads / Bloody Line: Under The Drop of Blood / Chapter 288 - Chapter 288 Not a Faded

Chapter 288 - Chapter 288 Not a Faded

Sementara itu, di sisi Felix, angin berhembus lembut, menyapu dedaunan yang jatuh di jalan setapak. Matahari yang mulai merendah memancarkan sinar oranye keemasan, menciptakan bayangan panjang dari tubuhnya yang tegak, namun diam tak bergerak. Udara sejuk menyentuh kulitnya, tapi perasaan di dadanya tidak turut menenangkan, malah terasa berat, seperti ada sesuatu yang tidak bisa ia lepaskan. Matanya menatap jauh, mencoba mengabaikan semua pikiran yang berputar di dalam kepalanya. Tapi semuanya berubah ketika ia mendapati sosok yang tidak asing di kejauhan: Cheong.

Cheong, pria dengan mata tajam dan raut wajah yang selalu tampak serius, kini berdiri hanya beberapa meter darinya. Mereka tidak saling menyapa, tapi ada keheningan di antara mereka yang begitu padat, seolah angin pun enggan untuk mengalir melewati. Di samping Cheong, seorang gadis dengan rambut terurai, wajahnya polos, dan mata yang berbinar penuh rasa ingin tahu, memegang erat tangan Cheong. Choka, gadis yang di matanya masih membawa kepolosan dari urusan Cheong ke arah Felix. Dia tampak penasaran, tetapi ada sesuatu yang lebih dalam di balik tatapan polos itu—seperti rasa ingatan yang samar tapi mengusik.

Felix hanya bisa terdiam, menatap kembali pada keduanya. Tidak ada yang mengira bahwa pertemuan ini akan terjadi, bahwa mereka akan saling berhadapan di bawah langit yang mulai berwarna merah muda keunguan. Keheningan itu terasa seperti jeda yang panjang, di mana waktu seperti berhenti sesaat, memberi ruang bagi segala perasaan yang tak terucapkan untuk melintas.

Namun, pandangan Choka yang berbeda dari kedua pria dewasa itu akhirnya memecahkan sunyi. Dia menatap Felix dengan mata yang besar dan bersih, seolah sedang berusaha mengingat sesuatu yang sulit dijangkau. "Ayah?" suaranya terdengar lembut, namun cukup untuk mengguncang keheningan. Ia menarik tangan Cheong, mencoba memastikan perhatiannya. Lalu, ia mengarahkan tatapannya yang bingung pada Felix. "Tuan, kamu adalah orang yang tidak aku sengaja tumpahkan minuman di mobilmu saat itu," katanya dengan nada suara yang penuh rasa bersalah dan kejujuran.

Seketika, atmosfer yang tegang itu berubah, mencair seolah-olah disapu oleh ombak yang lembut. Kata-kata polos dari Choka meresap ke dalam percakapan yang tak pernah terjadi, seperti hujan pertama setelah musim kemarau. Cheong mengerutkan dahi, wajahnya menunjukkan ketidakpercayaan yang tak dapat disembunyikan. Tatapan tajamnya berpindah dari Choka ke Felix, yang hanya bisa mengangguk kecil, seolah membenarkan apa yang diucapkan gadis itu.

"Jadi, karena itulah syalmu kotor saat itu? Karena orang serakah itu?" Nada suara Cheong lebih dingin dari angin senja yang berembus di sekitar mereka. Matanya yang tajam menelisik Felix, mencoba membaca lebih dalam dari sekadar permukaan. Felix hanya tersenyum tipis, sebuah senyum pahit yang lebih mirip garis di wajahnya, mengingat kembali pertemuan singkat yang dulu terasa sepele itu. Ia memandangi Choka lagi, gadis yang dulu mungkin hanya dianggap sebagai bagian dari kebetulan.

Choka sendiri masih menatap Felix dengan kebingungan yang tak bisa ia sembunyikan, tapi senyum kecil tersungging di bibirnya. "Ya, Ayah, itu memang salahku. Aku harap Tuan itu memaafkanku, dan aku tidak menyangka kita bisa bertemu lagi," suaranya yang kecil membawa kesungguhan, sesuatu yang menyentuh hati kedua pria itu dalam cara yang berbeda. Tatapan polosnya begitu kontras dengan ketegangan yang bergema di antara mereka.

Felix menghela napas panjang, udara dingin memenuhi dadanya. Di depan tatapan kedua pria dewasa itu, rasa pasrah akhirnya mengalir keluar, bagai desahan angin terakhir sebelum badai mereda. "Itu bahkan baik-baik saja," katanya, suaranya terdengar lirih dan letih, seperti seseorang yang telah memikul beban terlalu lama.

Cheong kemudian menatap Choka, matanya yang biasanya penuh kewaspadaan kini tampak sedikit melunak saat menatap gadis itu. Ada keraguan yang membayang di wajahnya, seolah-olah ia sedang mengukur sejauh mana harus mengungkapkan kebenaran. "Choka, apa kau tahu dia siapa?" tanyanya dengan hati-hati, tatapannya menajam lagi saat ia beralih ke Felix. Suaranya terdengar serius, tetapi ada ketulusan yang jarang ia tunjukkan.

Choka terdiam sesaat, matanya berusaha memahami sesuatu di balik pertanyaan itu. "Hm, sekilas aku hanya berpikir mungkin itu kenalan Ayah, karena kalian saling menatap dari tadi, apakah aku benar?" Suaranya bergetar sedikit, cerminan dari kebingungannya. Ia tak pernah melihat ayahnya seperti ini, penuh rahasia yang tak bisa dijangkau.

Cheong menghela napas panjang, sebuah beban yang tertahan terlepas bersama udara yang ia hembuskan. "Dengar, kau ingat saat kau cerita soal seseorang yang kau sebut sebagai Akai?" Tatapannya berubah lebih lembut saat menyebut nama itu, seperti ada sesuatu yang lebih rapuh di dalam dirinya yang terbuka sesaat.

"Oh, Nona Akai, kenapa? Sudah lama aku tidak melihatnya..." jawab Choka dengan polos, mengerutkan kening saat memikirkan sosok yang samar di benaknya. Cheong kemudian meraih bahunya pelan, mengarahkan pandangannya kembali pada Felix yang berdiri dengan tubuh tegap namun raut wajah yang terlihat semakin berat.

"Dia pasangannya," kata Cheong dengan suara yang hampir berbisik. Saat itu, dunia di sekitar mereka seolah hening, bahkan kicau burung yang biasanya riuh ikut tenggelam dalam keheningan. Choka terkejut, bibirnya sedikit terbuka saat menatap ke arah Felix yang lebih besar dari ayahnya. Ia seolah tak percaya pada apa yang baru saja didengarnya, wajahnya berubah pucat, penuh dengan rasa tak yakin yang melingkupi pikirannya.

Felix hanya bisa mengalihkan pandangannya, menghindari tatapan gadis itu yang seakan menembus langsung ke hatinya. Dalam sekejap, kenangan-kenangan lama yang pernah ia kubur dalam-dalam kembali menghantuinya, membawa rasa pahit yang tak terhindarkan. Seandainya ia bisa menghindar, ia pasti sudah melakukannya.

Cheong melanjutkan dengan suara yang berat, menatap jauh ke arah langit yang mulai redup. "Kau mungkin tidak tahu kondisinya seperti apa, tapi mungkin pria itu memang pilihan terbaik gadis itu. Dia terlalu berbahaya jika kita berinteraksi dengannya," katanya, lebih kepada dirinya sendiri, meski ia tahu Choka mendengarnya dengan penuh perhatian.

Choka yang mendengar penjelasan Cheong hanya bisa terdiam, matanya berkedip perlahan seolah mencoba memproses kata-kata itu. Angin sore menyentuh wajahnya, membawa dingin yang menyelusup ke dalam perasaannya. "Aku benar-benar baru tahu itu," ujarnya lirih, suara yang biasanya riang kini terdengar lebih pelan, seperti bisikan yang tersapu angin. Pandangannya bergeser ke arah Felix, sosok pria yang sekarang terasa begitu asing, seolah ada banyak rahasia yang tersembunyi di balik tatapannya.

Namun, saat suasana terasa makin tegang, tiba-tiba Felix berbicara, suaranya terdengar dingin dan penuh ketegasan, seakan menembus keheningan senja itu. "Jangan berharap aku memiliki sikap belas kasihan di sini, hanya cukup jaga jarak saja..." Nada suaranya tidak meninggalkan ruang untuk bantahan, dan tatapannya yang tajam membuat udara di sekitarnya terasa lebih berat. Kata-kata itu seperti tamparan yang keras, memecah kesunyian di antara mereka. Tanpa menunggu respons, ia melangkah dengan tegas, melewati mereka seperti bayangan yang menghilang di bawah cahaya yang memudar.

Choka hanya bisa menatap punggung Felix yang menjauh, sosok yang tampak begitu besar dan tegar, namun ada kesepian yang samar di dalamnya. "Dia tampak seperti pria yang lebih dewasa, kenapa Ayah tak mengajaknya ngobrol, bukankah Ayah mengenalnya?" tanyanya dengan penuh rasa ingin tahu. Tatapannya kembali ke Cheong, berharap menemukan jawaban yang bisa menjelaskan semua keganjilan yang ia rasakan.

Cheong mengalihkan pandangannya dari Felix yang semakin jauh, lalu menatap Choka dengan raut wajah yang lelah, seperti seseorang yang menanggung beban kenangan yang sulit dilupakan. "Choka, kita di sini untuk bersenang-senang berlibur. Kau yang meminta untuk kemari, jadi jangan melirik orang lain," katanya, mencoba menenangkan suasana, meski nadanya terdengar sedikit getir. "Itu adalah konflik lama jika harus mengobrol dengannya, lagipula ini juga berkaitan dengan orang yang kau sebut Akai itu."

Mendengar jawaban Cheong, Choka sedikit mengangguk, meski ia masih terlihat bingung. Ada ketidakpahaman yang menggelayut di matanya, namun ia berusaha menerima apa yang dikatakan ayahnya. "Baiklah deh, itu tidak masalah," ucapnya dengan senyum tipis yang berusaha dipaksakan. Ia menarik tangan Cheong, mencoba mengalihkan perhatian mereka berdua dari bayang-bayang masa lalu yang terasa begitu dekat. "Mari, aku tunjukkan sesuatu yang hebat. Aku sudah mengenal tempat ini lebih baik dari dulu karena aku sering kemari," lanjutnya, suaranya sedikit lebih ceria, meski ada nada canggung yang tertinggal.

Cheong mengangguk, mengikuti langkah Choka yang kini lebih ringan. Di tengah-tengah upayanya untuk mengalihkan pikiran dari pertemuan tak terduga tadi, pandangannya sesekali mencuri ke arah langit yang mulai memudar, menyembunyikan segala kekhawatiran di balik senja. Namun, di dalam benaknya, pikirannya terus saja terhenti pada sosok Neko, sosok yang kini terasa begitu jauh namun dekat dalam ingatan. "(Aku tidak menyangka akan bertemu dengannya di sini. Jika dia ada di sini, pastinya Amai juga ada di sini, tapi ke mana?)" pikirnya, matanya menyapu area sekitar, seolah berharap menemukan jawaban di antara keramaian.

Choka yang menyadari kegelisahan ayahnya, berhenti berjalan sejenak. Ia menoleh ke arah Cheong yang tampak tenggelam dalam pikirannya, lalu memanggil dengan nada sedikit kesal, "Eh, hei Ayah, kenapa tidak memperhatikan aku?" Tatapannya penuh protes, seperti seorang anak yang tidak suka diabaikan.

Cheong tersadar dari lamunannya, mengalihkan pandangan dari langit ke wajah Choka yang tampak sedikit mengerucut. "Maaf, hanya saja..." jawabnya, suaranya terdengar bimbang. Ia kemudian terdiam, seolah mencari kata-kata yang tepat. "Apakah kau tak mau bertemu orang yang kau sebut sebagai Akai?"

Pertanyaan itu membuat Choka mengerutkan kening, kebingungan tercermin di wajahnya yang telah dewasa. "Hm, kenapa Ayah menjadi mencarinya, apakah Ayah juga ingin bertemu dengannya?" tanyanya balik, matanya menyelidik, seolah mencoba membaca apa yang tersembunyi di balik tatapan ayahnya.

Cheong terdiam, membiarkan kata-kata itu menggantung di antara mereka. Ia menoleh ke arah langit yang mulai gelap, melihat cahaya terang yang perlahan muncul, seolah mencari kekuatan di balik cahayanya yang redup. Dengan napas panjang yang dilepaskannya, ia akhirnya menjawab, "Yeah..." Suaranya sarat dengan kelelahan yang tak bisa disembunyikan, seakan ada kerinduan yang ia pendam terlalu lama, menunggu untuk dilepaskan.

Di antara hembusan angin dan cahaya senja yang mulai menghilang, Choka hanya bisa menatap ayahnya dalam diam, mencoba memahami apa yang tersimpan di balik kata-kata itu. Di tengah-tengah keheningan mereka, ada banyak hal yang tidak terucap—mungkin kenangan, mungkin penyesalan—tetapi semuanya membentuk bayangan yang melayang di antara mereka, menyelimuti perasaan yang tak pernah benar-benar terungkap.