Chereads / Bloody Line: Under The Drop of Blood / Chapter 287 - Chapter 287 Not a Faded

Chapter 287 - Chapter 287 Not a Faded

"Tempat ini ada perubahan ya?" Neko, dengan senyum tipis di wajahnya, memandangi sekeliling. Angin semilir menyapu wajahnya, membawa aroma segar dari buah-buahan yang tergantung lebat di pohon-pohon sekitar. Ia berjalan perlahan, jemarinya menggenggam lengan Yechan yang menuntunnya hati-hati.

Di depan mata Neko, terbentang deretan kebun buah-buahan yang rimbun, cabang-cabang pohon yang penuh dengan buah matang berwarna-warni. Cahaya matahari pagi menembus dedaunan, menciptakan bayangan-bayangan kecil di permukaan tanah. Ia bisa melihat buah-buahan yang tampak segar, menggantung seolah siap untuk dipetik kapan saja.

"Ya, kamu beruntung, Akai. Sekarang musim panen, kamu bisa ke kebun yang lain untuk memetik apel atau buah-buahan lainnya. Oh, apakah kamu mau melihat kedua orang tuaku?" Yechan menatap Neko dengan senyum lembut, cahaya matahari yang menyinari wajahnya membuat matanya bersinar.

"Sudah lama aku tidak melihat..." tambah Neko dengan suara yang hampir tenggelam di antara desir angin dan gemerisik dedaunan. Mereka berjalan menuju kebun anggur, sebuah hamparan luas dengan tanaman anggur yang merambat rapi di atas terali-terali kayu. Daun-daunnya yang hijau dan lebat menari perlahan ditiup angin.

Di sana, Neko melihat pasangan yang sudah tak muda lagi, wajah mereka dihiasi garis-garis halus yang menunjukkan kebijaksanaan hidup. Aron, ayah Yechan, tampak berjongkok sambil menggenggam selang air, menyiram akar-akar anggur dengan hati-hati. Ris, istri Aron, berdiri tak jauh darinya, memetik anggur dengan gerakan lembut, jemarinya lincah memilih buah yang sudah matang.

Mereka menoleh bersamaan ketika Yechan memanggil, "Ayah, Ibu!"

"Yechan..." Aron dan Ris tersenyum lebar melihat putra mereka. Mereka mendekat, dan saat Aron mengenali sosok Neko, matanya berbinar.

"Oh, astaga, apakah ini Nona cantik yang saat itu? Sudah lama tidak bertemu..." Aron memperhatikan Neko dengan tatapan hangat, sementara pandangannya tertuju pada perut Neko yang membulat lembut. Kerutan di wajahnya melunak, tergambar jelas rasa ingin tahunya.

"Oh manis sekali, jadi kamu sudah menikah ya? Berapa bulan bayinya?" tanya Ris dengan suara lembut, penuh kehangatan yang terasa menenangkan. Tatapannya mengarah ke perut Neko, seolah-olah ia membayangkan kehidupan yang tumbuh di dalamnya.

"Ini bayi keduaku, sudah ada 6 bulan..." kata Neko sembari membelai perutnya dengan sentuhan penuh kasih sayang. Hembusan napasnya seolah mengiringi irama angin yang meresapi kebun, menambah ketenangan suasana.

"Itu bagus sekali, kami turut senang... Tunggu!" Aron tiba-tiba berhenti, ekspresi wajahnya berubah seiring kesadaran yang muncul. "Bayi kedua? Ternyata Yechan tidak berbohong soal dia melihat putra pertamamu?!" Wajahnya dipenuhi ketidakpercayaan, seolah sulit menerima informasi yang baru saja terlintas di benaknya.

"Astaga Ayah, aku sudah bilang beberapa kali. Bukankah Akai sangat hebat, dia menjadi ibu yang baik..." Yechan menjawab dengan nada sedikit kesal, namun senyumnya tidak hilang dari wajahnya, menandakan kebanggaan yang ia rasakan terhadap Neko.

"Ya, tentu saja..." Ris tersenyum lembut, lalu meraih tangan Neko. Sentuhannya hangat, penuh kasih sayang yang mendalam. Tatapannya begitu dalam hingga membuat Neko merasakan dukungan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. "Kelak kau akan menjadi ibu yang baik.... Sikapmu juga pasti disukai bayi-bayimu nanti..." katanya, suara itu mengalir seperti melodi yang menenangkan. Neko membalasnya dengan senyum tipis dan anggukan pelan, seolah menjawab dengan rasa terima kasih yang dalam.

"Sungguh, kami benar-benar kagum padamu. Padahal kamu kemari pertama kali merupakan seorang gadis yang tampaknya perawan, dan sekarang, kamu kemari membawa status seorang ibu tapi wajahmu masih terlihat begitu muda..." kata Aron, kekaguman jelas terlihat di matanya yang sedikit berkaca-kaca.

"Iya... Haha... Padahal kami berencana menjodohkanmu dengan Yechan..." tambah Ris dengan tawa kecil yang terdengar lirih, namun memiliki kesan nostalgia.

Seketika Neko dan Yechan terkejut. Neko langsung menatap ke arah Yechan, matanya mencari jawaban yang tersembunyi di balik sorot mata Yechan. "Benarkah begitu? Yechan?" tanyanya, suaranya terdengar lembut namun penuh rasa ingin tahu.

"A... Aku... Aku.... Ibu, Ayah! Aku sudah bilang jangan bicarakan itu!!" Yechan merespons dengan wajah yang memerah, lalu berbalik, meninggalkan mereka dengan langkah tergesa. Bayangannya perlahan menghilang di antara barisan pohon anggur yang rimbun, membuat suasana menjadi hening.

"Yechan?!" Neko terkejut tak percaya, pandangannya terpaku pada sosok Yechan yang semakin menjauh. Hatnya berdegup kencang.

Sementara itu, Aron dan Ris saling pandang, raut wajah mereka penuh penyesalan. "Astaga, kami tak sengaja..." kata mereka, saling berbisik dengan nada panik, tangan mereka tanpa sadar saling meremas. Mereka tampak seperti sepasang orang tua yang berusaha meluruskan kesalahpahaman yang tak disengaja.

Neko yang mendengar itu terdiam, pandangannya menunduk, menatap perutnya dengan rasa khawatir yang tak bisa disembunyikan. "Jadi, memang benar? Kupikir selama aku di sini pertama kali, aku dan Yechan hanya sebatas teman saja..." gumamnya pelan, suara itu hampir tenggelam di antara desir angin dan gemerisik daun anggur.

Aron terdiam sejenak, kemudian menghela napas dalam-dalam sebelum berkata dengan suara yang rendah. "Putra kami, dia memang seperti itu... Dia belum pernah tertarik pada wanita sama sekali, malah dia justru lebih bagus dalam bergaul sosial daripada menjalin hubungan. Menurutnya, kau adalah seorang gadis yang sangat ia sukai, tapi dia malu untuk mengatakannya. Dia bahkan selalu bilang padaku bahwa dia jatuh cinta padamu. Tetapi, fakta yang menyakitinya, dia saat itu pulang dari kota, menangis sejadi-jadinya..." Suara Aron terdengar bergetar, menyimpan kesedihan yang dalam di setiap kata yang diucapkannya.

Seketika Neko berwajah tak percaya. "Apa maksudmu? Apakah itu saat Yechan bertemu denganku ketika aku membawa putraku?" tanyanya dengan nada yang sedikit gemetar, memaksa dirinya untuk memahami apa yang baru saja ia dengar.

Lalu Ris, dengan nada penuh rasa iba, menjawab. "Ya, dia menangis sangat cengeng sekali, mengatakan bahwa kamu sudah punya putra, dia juga bilang kamu terlihat sangat bahagia. Harapannya seperti pupus, tapi aku yakin, Yechan tidak akan pantas untukmu yang memilih pria yang lebih baik. Yechan sudah menerima segalanya... Kami hanya tak mau dia murung terus...." Mata Ris memancarkan keprihatinan, memandang Neko dengan simpati yang mendalam.

Neko yang mendengar itu kembali terdiam, seolah merasakan beban emosi yang baru. Ia berbalik perlahan, memandang jalan setapak yang dilalui Yechan. "Aku akan menyusulnya...." katanya dengan suara pelan, namun penuh tekad. Lalu, dia berjalan pergi, langkahnya mantap di antara anggur-anggur yang bergoyang lembut tertiup angin. Aron dan Ris hanya bisa saling berpandangan, tatapan mereka dihiasi kekhawatiran yang mendalam.

Sementara itu, Felix terlihat sudah selesai melihat-lihat vila itu. Matahari kini tertutup awan tipis, membuat cuaca tampak sedikit mendung namun tetap sejuk. Ia berdiri di teras, pandangannya tertuju pada taman di depan vila, di mana Dongsik, anjing yang penuh semangat, bermain bersama anak-anak. Felix terdiam sejenak, pikirannya melayang jauh, melihat kebahagiaan sederhana yang terpancar dari tawa anak-anak itu. "(Anjing itu, pasti dirawat dengan sangat baik...)"

Lalu dia kembali melihat ke arah langin. "Mungkin aku akan berjalan sebentar..." dia memutuskan berjalan jalan keluar. Melihat bagaimana pandangan nya menilai desa itu sangatlah sejuk pada saat mendung tanpa hujan.

Tapi di jalan, dia bertemu dengan sesuatu yang tak terduga membuat langkahnya berhenti sejenak. Siapa yang menyangka, dia akan bertemu dengan seseorang yang penting membuat nya terdiam polos mengenali sebentar hingga dia menatap serius, sepertinya orang itu tampak serius di depan nya.

Di sisi lain, Yechan duduk di bukit kecil, memandang langit yang sedikit mendung. Awan-awan kelabu perlahan bergerak, menutupi cahaya matahari yang menyelinap di baliknya. Tatapannya penuh kesedihan, namun juga terisi dengan kelegaan yang samar-samar. Dalam sunyi itu, suara langkah kaki mendekat dari belakangnya, membuat Yechan menoleh dengan terkejut. Dia melihat Neko, wajahnya lembut namun penuh rasa ingin tahu. "Yechan..." Neko memanggil dengan suara pelan, terdengar hampir seperti bisikan yang membawa kelembutan angin.

Seketika, Yechan terkejut dan menoleh ke belakang, matanya melebar saat melihat sosok Neko berdiri di sana, dengan napas yang sedikit terengah akibat mendaki. Dia segera berdiri, rasa khawatir terlihat jelas di wajahnya. "Akai, kenapa kamu ada di sini? Kamu akan lelah naik..." Suaranya terdengar penuh keprihatinan. Dengan cepat, dia berjalan mendekati Neko, seolah ingin memastikan bahwa Neko tidak kelelahan di tengah kondisi kandungannya.

"Aku baik-baik saja..." Neko menjawab dengan suara yang lembut, wajahnya tetap tenang dengan tatapan yang polos. Meski demikian, ada sedikit kekhawatiran yang tersirat di balik senyumnya. Angin di bukit kecil itu bertiup perlahan, membawa aroma tanah yang lembap setelah hujan semalam.

Yechan memandang Neko dengan sorot mata cemas. "Kamu sedang mengandung, kenapa kemari...?" desisnya, sambil memegangi lengan Neko dengan lembut, seperti ingin memastikan dia aman. Ia menuntun Neko ke sebuah batu besar yang terletak di dekat sana, batu yang terlihat kokoh dan datar. Dengan hati-hati, Yechan membantu Neko duduk di atasnya, sementara tangan Neko perlahan menyentuh perutnya yang membesar, seolah merasakan gerakan lembut dari bayi di dalamnya.

Setelah mereka berdua duduk, Neko menarik napas dalam-dalam, matanya menatap Yechan dengan serius. "Yechan, sekarang aku tanya padamu, ada apa denganmu?" Tatapannya lembut namun tajam, mencoba menembus dinding perasaan Yechan yang tampak tertutup rapat. Namun, Yechan hanya terdiam, matanya tertunduk, memandang ke tanah berbatu di bawah kakinya. Jemarinya menggenggam erat rumput liar yang tumbuh di sela-sela batu, seolah mencoba mengalihkan kegelisahan yang berputar di dalam pikirannya.

Keheningan menyelimuti mereka, diiringi hanya oleh suara angin yang menggoyangkan daun-daun di pohon sekitar. Neko menatap Yechan, menunggu jawaban yang tak kunjung datang, namun ia tak ingin memaksa.

Akhirnya, Neko melanjutkan dengan nada suara yang lebih pelan, hampir seperti bisikan yang dibawa angin. "Yechan, kau tahu kan, bahwa aku kemari saat itu hanya ingin menenangkan diriku. Aku tidak tahu apakah aku akan bertemu denganmu atau tidak. Aku minta maaf jika membuat perasaanmu terluka..." Suaranya bergetar sedikit di akhir kalimat, seolah menyiratkan penyesalan yang ia simpan selama ini.

Mendengar itu, Yechan mengangkat wajahnya, menatap Neko dengan sorot mata yang bercampur antara kesedihan dan ketegaran. "Tidak, Akai..." Jawabannya terdengar mantap, namun ada kekosongan di balik nada suaranya. Neko terdiam, memperhatikan perubahan ekspresi Yechan.