Malam itu, ketika mereka akhirnya tiba di rumah, langit sudah sepenuhnya gelap, hanya menyisakan bintang-bintang yang berkelip redup. Pintu rumah terbuka dengan lembut, dan di sana, berdiri Neko, menunggu dengan cemas di ambang pintu. Tubuhnya dibalut gaun rumah yang longgar, perutnya yang membesar terlihat jelas di bawah cahaya lampu teras. Dia mengerutkan dahi melihat kedua sosok yang ia cintai kembali dengan tubuh berkeringat, pakaian mereka penuh dengan noda tanah dan dedaunan yang melekat.
"Kemana saja kalian?" tanyanya dengan suara bingung, meskipun ada nada lega terselip di sana. Matanya memperhatikan wajah Felix yang lelah dan Hwa yang tampak kehabisan energi. Namun, sebelum dia bisa melanjutkan kalimatnya, Hwa sudah berlari kecil ke arahnya, membuka lebar kedua tangannya yang mungil, bersiap untuk memeluk ibunya.
"Ibu!" serunya dengan riang, senyum manisnya terpancar jelas meski wajahnya berkilat oleh sisa-sisa keringat. Namun, sebelum pelukannya bisa mencapai Neko, tiba-tiba saja Felix menarik kerah belakang Hwa, membuat anak itu terangkat dari tanah seperti anak kucing yang dibawa oleh induknya. Tubuh kecil Hwa terayun-ayun di udara dengan ekspresi bingung dan kaget.
"Jangan mendekat ke ibumu jika kau masih kotor," kata Felix, suaranya terdengar serius namun ada guratan lembut di sudut bibirnya. Dia melirik Neko sekilas, senyum tipis terbit di wajahnya, seolah menggoda nya yang kini berdiri di hadapannya.
Neko menghela napas, menatap Felix dengan pandangan yang sedikit kesal. "Hei, jangan begitu... Biarkan dia mendekat, dia pasti lelah..." balasnya, nada suaranya lebih seperti teguran manis. Di matanya, ada kehangatan yang terpancar, meskipun dia tak bisa sepenuhnya menutupi keprihatinannya melihat Hwa yang kini menggantung tak berdaya.
Felix terdiam sesaat, lalu menurunkan Hwa dengan hati-hati. Namun, tatapannya beralih pada perut Neko yang membesar, memandangnya dengan penuh perhatian. Perlahan, dia mengulurkan tangan, berniat menyentuh perut itu sejenak, seakan ingin merasakan kehidupan yang tengah berkembang di dalam sana. Tapi sebelum tangannya sempat sampai, Hwa, yang baru saja mendarat di tanah, berseru dengan nada protes. "Ayah juga belum mandi! Jangan menyentuh Ibu!" teriaknya, suaranya terdengar lucu, tapi juga penuh ketegasan anak-anak yang ingin membela ibunya.
Felix tersenyum kecil, kali ini lebih lebar, seolah tak bisa menahan rasa geli yang menyelinap di dadanya. "Baiklah, baiklah..." katanya sambil mengangkat tangan, menunjukkan bahwa ia menyerah. Namun, dia tak kehilangan kesempatan untuk kembali menggoda Hwa. Dia meraih bagian bawah baju putranya dan mengangkatnya sedikit, memperlihatkan perut Hwa yang mulai terlihat membentuk otot kecil. "Kami hanya melakukan olahraga sederhana saja... Lihat ini..." ujarnya, menunjuk perut Hwa dengan bangga.
"Akh... Ayah!" seru Hwa, wajahnya memerah, buru-buru menarik kembali bajunya ke bawah, menutupi perutnya. Dia melirik ibunya dengan ekspresi malu, seakan meminta perlindungan dari gurauan sang ayah.
Neko menahan tawa, lalu menatap mereka berdua dengan pandangan penuh kasih. "Wah, olahraga nya efektif sekali... Tapi jangan memaksa Hwa terlalu banyak..." katanya, suaranya lembut namun penuh perhatian. Ia tahu Felix sering kali bersikap keras dalam latihan, namun ia juga paham betapa dalam kasih sayang Felix pada keluarganya.
Hwa memeluk Neko dengan erat, mencoba mencari perlindungan dari ayahnya yang selalu saja berhasil membuatnya malu. "Ibu, tolong bela aku..." pintanya dengan suara memelas, mengubur wajahnya di bahu Neko, mencari kenyamanan dalam pelukan ibunya yang hangat.
Felix hanya mengangkat bahu, senyumannya tak pernah pudar. "Yeah, yeah, baiklah.... Tidak masalah..." katanya sambil membawa Hwa yang masih merajuk ke kamar mandi, langkahnya ringan seolah semua lelah dari latihan tadi menguap begitu saja saat berada di dekat keluarganya.
Neko menatap mereka dari ambang pintu, senyum tipis terukir di wajahnya. Cahaya lampu kamar yang hangat memantul di wajahnya yang lembut, menyorot kilauan kecil di matanya. "(Aku pikir, aku suka pada hal ini... Kehidupan seperti ini mungkin memang luar biasa....)" pikirnya dalam hati, merasakan kehangatan yang menyusup hingga ke relung hatinya. "(Tak akan ada kendala apapun...)" ia berbisik pada dirinya sendiri, mencoba meyakinkan bahwa kebahagiaan ini bisa ia pertahankan.
Tak lama kemudian, Hwa kembali berlari ke arah Neko dengan langkah-langkah riang, tubuhnya kini segar setelah mandi. "Ibuuu!" serunya, kali ini tidak ada yang menghalangi langkahnya, dan ia langsung merentangkan tangan lalu memeluk Neko yang duduk di sofa kamar.
Neko membelai kepala Hwa dengan lembut, jarinya menyisir rambut lembut anaknya. "Bagaimana harimu tadi, Hwa?" tanyanya, suaranya penuh kelembutan seorang ibu, seolah segala lelah dan kekhawatiran hilang saat melihat senyum putranya.
"Sangat baik...." jawab Hwa dengan wajah cerah.
Lalu, Felix menyusul masuk, membawa secarik kertas di tangannya, wajahnya kembali serius seperti saat membaca sesuatu yang penting.
"Amai, kenapa pemeriksaan bulan ini, dokter mengatakan kau kurang tidur?" tanyanya langsung, tatapannya mengerut saat melihat laporan kesehatan kehamilan Neko.
Neko terdiam sebentar lalu menjawab, "Aku takut mengalami mimpi itu lagi...." balasnya. "Jadi aku mengurangi waktu tidur, tapi itu bukan salahku, pikiranku kacau dan tidak bisa tidur dengan nyenyak..."
Mendengar itu, Felix menghela napas panjang. Lalu berjalan mendekat, dia duduk di samping Neko dan memegang perut Neko dengan pelan. "Mimpi itu pasti merindukanmu. Mimpi itu hanyalah pandangan dari bayi ini... Kau seharusnya tidak perlu takut dan jangan terlalu percaya pada hal itu..." kata Felix.
"Tapi..." Neko tampak masih khawatir. Dia terdiam melihat Hwa yang ada di sampingnya, tertidur memeluknya. Lalu dia melanjutkan perkataannya, "Tapi tetap saja, aku tak akan tahu hal apa yang terjadi nantinya. Setiap kali aku tidur, aku merasa seolah ada sesuatu yang mengintai dalam kegelapan, menunggu untuk menarikku kembali ke dalam mimpi-mimpi itu."
Felix kembali menghela napas panjang dan berdiri. Dia mengambil Hwa dan membawanya. "Untuk apa khawatir? Kau ada di sampingku, dan untuk apa aku di sampingmu jika kau terus merasa tidak aman..." tatapnya, lalu berjalan pergi keluar kamar itu untuk meletakkan Hwa di kamarnya.
Setelah Felix pergi, Neko menatap ke jendela, melihat bulan purnama yang bersinar cerah di langit malam. "Mungkin ada harapan di luar sana," pikirnya. "Mungkin mimpi buruk ini akan berlalu jika aku terus berjuang."
Neko kemudian berbaring kembali, menutup matanya, dan mencoba mengingat semua hal baik yang telah terjadi. Dia memikirkan senyum Felix dan kehangatan Hwa saat memeluknya. Dengan pikiran itu, Neko merasa sedikit lebih tenang, meskipun ketakutannya masih ada.
"(Apakah ini tidak boleh jika aku harus terlalu banyak memikirkan ini.... Aku tak tahu apa yang akan terjadi nantinya... tetapi aku tidak sendirian. Aku punya mereka.)" Neko bertekad untuk menghadapi mimpi-mimpinya dengan keberanian, berharap bahwa hari-hari yang lebih baik akan segera tiba.
Kemudian Felix datang dan melihat Neko masih terdiam di tempatnya seperti khawatir akan sesuatu. Membuat Felix menghela napas panjang dan berjalan mendekat, duduk di sampingnya. "Amai, aku sudah bilang, jangan terlalu banyak berpikir... Itu tidak baik untuk bayinya... Bahkan untukmu."
"Kau yang membuatku harus berpikir soal ini..." Neko menatap kesal.
"Baiklah, baiklah... Aku minta maaf, okey?" Felix membelai pelan perut Neko. Neko yang mendengar itu menjadi terdiam, lalu dia perlahan merasakan tangan Felix yang menyentuh lembut, membuatnya menutup mata nyaman. Tanpa sadar, dia meletakkan kepalanya di dada Felix, dan mereka tampak sangat dekat.
Felix yang merasakan hal itu menengadah sambil menutup mata dan menghela napas panjang. Dia juga memijat matanya. "(Ha... Aku memang sudah berhasil, aku sudah berhasil membuat Amai mencintai ku, tetapi, apakah ini akan berubah? Aku hanya harus berpikir pelan bahwa ini semua akan baik-baik saja, aku yakin... Tak akan ada yang membuatnya khawatir, aku akan memberikan kebebasan padanya... Untuk ke depannya aku harus mulai berkembang juga...)"
Tapi ia mendengar suara Neko yang pelan. "Kau membuat ku harus memiliki banyak bayi, kau juga harus menjadi seseorang yang baik tidak hanya untuk ku..."
Felix yang mendengat itu menjadi menatap kepala Neko, merasakan getaran di hatinya sembari mencium kepala Neko. "Tentu saja, Amai. Aku ingin kita menjadi orang tua yang bahagia, sama seperti mereka yang akan tumbuh dewasa, aku yakin ini tidak akan pudar," jawab Felix sambil merangkul Neko lebih dekat. "Tapi kita juga harus siap untuk segala tantangan yang akan datang. Mempersiapkan diri untuk menjadi orang tua bukanlah hal yang mudah."
Neko membuka mata perlahan mendengar itu lalu menengadah menatap nya sembari mengangguk, mengingat betapa banyaknya hal yang harus mereka pelajari. "Aku tahu... Kita harus bisa saling mendukung, bukan? Dengan semua ketakutan dan kekhawatiran ini, kita harus bersatu."
"Benar. Aku akan selalu ada di sampingmu, Amai. Kita akan menghadapi semuanya bersama," kata Felix, matanya bersinar penuh keyakinan. "Setiap langkah yang kita ambil, aku ingin kamu tahu bahwa aku mencintaimu. Dan apapun yang terjadi, kita akan selalu memiliki satu sama lain," tambahnya.
Mereka berdua berbagi senyum hangat, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, Neko merasa lebih tenang. Dia tahu bahwa meskipun ada tantangan di depan, mereka akan menghadapinya dengan cinta dan dukungan satu sama lain.
"Oh, bisakah aku meminta sesuatu?" tatap Neko membuat Felix terdiam kembali menatap ke arahnya.
"Ada apa?"
"Aku ingin ke vila di desa selatan, aku pernah ke sana ketika mencari Matthew, dan aku ingin ke sana lagi. Aku ingin bertemu Dongsik,"
"Dongsik?" Felix sepertinya tidak mengerti hal itu.
Neko menjadi tertawa kecil. "Itu adalah anjing yang menarik, aku meminta Yechan menjaganya. Dia pasti kembali ke rumahnya saat ini, karena dia sebelumnya bilang padaku bahwa dia ada urusan di kota ini, tapi kemudian memutuskan akan kembali ke rumah... Aku ingin kita ke sana, aku yakin kau akan menyukai nya juga..." kata Neko.
Felix yang mendengar itu menjadi ragu. "Aku tidak yakin, bukankah kita bisa melakukan hal lain seperti membeli vila di pantai yang lebih besar, desa kecil hanyalah apa," balasnya membuat Neko terdiam dan menghela napas panjang dengan kecewa.
"Baiklah jika kau tidak mau..." dia menyerah. Tapi Felix kemudian tersenyum kecil. "Hanya bercanda... Baiklah, besok kita akan pergi..." balas Felix seketika Neko terkejut.