"Hei, bangun..." terdengar suara samar ketika Felix masih tertidur terbaring menghadap langit-langit. Suara itu lembut namun penuh urgensi, seperti sinar matahari yang mencoba menembus tirai gelap malam. Tapi sebuah tangan putih yang cantik terus menampar-nampar pelan pipinya, dan berteriak pelan beberapa kali, mengisi suasana pagi dengan kehangatan. "Sudah kubilang bangun, ini sudah sangat pagi!"
Seketika, Felix membuka mata dan melihat Neko yang rupanya membangunkannya. Rasa kantuk masih menyelimuti pikiran dan tubuhnya. Dengan sedikit kesulitan, dia mengangkat tangannya untuk memegang keningnya, berusaha mengusir rasa sakit yang muncul akibat tidur terlalu larut malam. "Ugh... Jam berapa sekarang?" suaranya serak, mencerminkan kebingungannya.
"Ini masih pagi, jangan khawatir. Aku hanya mengingatkanmu apakah kita bisa segera bersiap untuk pergi?" Neko menjawab dengan nada ceria, sambil berjalan lincah menuju lemari baju. Dia memancarkan energi positif, wajahnya bersinar seperti matahari pagi yang menyinari dunia. Felix tidak bisa tidak terpesona oleh kecantikan dan ketegasan Neko saat dia memilih baju dengan hati-hati, membolak-balikkan pilihan yang ada seolah itu adalah keputusan penting yang harus diambil.
Felix yang masih mengumpulkan nyawanya, akhirnya bangun duduk dengan kepala yang terasa berat, seakan ada awan gelap yang menggelayut di pikirannya. "Haa... Apa yang kau bicarakan? Pergi ke mana?" tanyanya, masih terlihat mengantuk, seolah terjebak dalam antara dunia mimpi dan kenyataan.
Tapi mendadak, dia dilempari baju dari Neko, yang tiba-tiba melontarkan pakaian ke arahnya, menciptakan momen lucu di pagi hari itu. Felix hanya diam ketika baju itu mendarat di wajahnya, merasakan tekstur lembut kain yang bersentuhan dengan kulitnya.
"Kau sebenarnya mau atau tidak? Jika tak mau, aku hanya akan meminta Kim untuk menemani ku, jadi aku anggap kau tidak mau," Neko berkata, tatapannya tajam dan penuh kesal, seolah menantang Felix untuk memberikan jawabannya. Ada nada penuh determinasi dalam suaranya, menunjukkan betapa seriusnya dia untuk menjalankan rencananya.
Seketika, Felix langsung berdiri, rasa semangat baru muncul dalam dirinya. "Ba... Baiklah... Baiklah, kita akan ke sana... Sabarlah, aku akan bersiap dulu..." dia mendekat ke Neko dan mencium keningnya, sebuah gestur lembut yang menandakan perasaannya yang dalam. Lalu, dia berjalan pergi dengan langkah mantap, sementara Neko tahu itu adalah kecupan paginya yang penuh kasih.
Tak lama kemudian, Felix menutup bagasi mobil dengan baju rapinya, matanya berkeliling untuk memastikan bahwa semuanya sudah siap. Dia sudah memasukkan barang-barang di sana, merasa puas melihat hasil kerja kerasnya. Lalu dia beralih menatap Neko, yang berjalan pelan menuruni anak tangga, dengan dibantu Kim yang setia. Keduanya menciptakan pemandangan yang harmonis, seolah mereka adalah bagian dari lukisan indah di pagi hari.
"Nona Neko, apakah ini baik-baik saja? Aku bisa ikut anda untuk menjaga perlindungan..." Kim menyuarakan ketidakpastiannya, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tulus.
Tapi sebelum Neko membalas, Felix membalasnya lebih dulu. "Itu tak perlu... Kau mengatakan itu layaknya aku tak bisa apa-apa... Cukup jaga Hwa di sini saja..." tatapnya sambil mendekat dan mengulurkan tangan pada Neko yang menerima sentuhannya dengan senyum kecil.
Kim yang mendengar itu menjadi agak kesal, tapi ia berusaha menahan emosinya karena Felix adalah atasan-nya. "Aku mengerti itu, semoga perjalanan kalian baik-baik saja..." Dia membungkukkan badan, menunjukkan rasa hormat meski ada sedikit rasa frustrasi di dalamnya.
Lalu mereka memulai perjalanan, dan yang menyetir adalah Felix, meski dia masih menguap lebar, menciptakan suasana aneh antara mereka. Neko menatapnya, matanya yang penuh perhatian seolah ingin menuntun Felix keluar dari kabut kantuknya. "Hei, tidak biasanya kau masih mengantuk pagi-pagi begini?" tatapnya, ada kekhawatiran yang tersembunyi di balik nada suaranya.
"Ha... Entahlah, aku banyak pikiran..." Felix tampak terlihat kurang tidur, bibirnya mengerucut, memperlihatkan ketegangan yang disimpannya.
"Tunggu? Bukankah kau tidur dengan waktu yang sama denganku?" Neko menatap bingung, mengangkat alisnya, ingin tahu alasan di balik kelelahan Felix.
"Sheo Jin menghubungiku di tengah malam, dia terus bertanya soal letak dokumen dan apa yang harus dia lakukan selama aku bersantai di sini. Aku yakin ini bukan bersantai namanya...." Dia menggelengkan kepala, merasa frustasi dengan tanggung jawab yang terus mengikutinya.
Neko yang mendengar itu hanya bisa tersenyum tipis, mencoba menghibur Felix dengan kehadirannya. "Padahal aku sudah berharap kau tidak akan sibuk," tatapnya, ada kerinduan yang mendalam di balik kata-katanya.
Mendengar itu, membuat Felix menatap ke arahnya, tapi ia tersenyum kecil juga, menyadari betapa Neko memperhatikannya. "Aku melakukan ini hanya untukmu. Aku pastikan akan menemani mu, selama kau mau meminta..." dia berkata dengan nada lembut, menunjukkan betapa pentingnya Neko dalam hidupnya.
Neko menjadi terdiam, merenungkan kata-kata Felix, lalu menatap ke kaca melihat perjalanan mereka. "(Aku terlihat sudah bahagia saja di sini dan aku benar-benar senang di sini....)" pikirnya, merasakan kebahagiaan yang menyelimuti hatinya. Keberadaan Felix, meski masih terjebak dalam rutinitasnya, memberi Neko harapan dan kehangatan yang ia cari.
Tak lama kemudian, mereka akhirnya sampai, mobil Felix berhenti di depan Vila Neko yang lama. Vila itu berdiri anggun di tengah pepohonan rindang, dengan dinding berwarna putih yang sedikit memudar oleh waktu, dan atap merah bata yang melengkung indah. Di sekelilingnya, taman yang telah dirawat dengan baik memancarkan nuansa nostalgia, dengan tanaman hijau yang lebat dan bunga-bunga berwarna cerah yang bermekaran di berbagai sudut. "Jadi, ini Vila mu? Tidak terlalu buruk..." Tatapnya pada Neko yang hanya tersenyum rindu. Senyumnya menunjukkan kerinduan akan kenangan manis yang terjalin di antara mereka di tempat ini.
"Jadi, di mana aku bisa membuka gerbangnya? Bagaimana mobil kita bisa masuk?" Tatap Felix sekali lagi, suaranya penuh rasa ingin tahu. Gerbang besi yang tinggi menjulang dengan ukiran halus, seakan menjaga rahasia di baliknya.
"Aku meminta Yechan untuk ke sini karena dia yang membawanya, tapi ke mana dia?" Neko juga bingung. Wajahnya menunjukkan sedikit kepanikan saat menatap sekeliling. Tapi ia terkejut ketika melihat Yechan yang berlari mendekat, langkahnya cepat namun teratur. "Itu dia..." Dia tampak senang, membuat Felix terdiam melihat tingkah Neko, yang kini bersinar dengan semangat.
Tak lama kemudian, Yechan menutup gerbang dengan remot otomatisnya. Suara "klik" halus terdengar, dan gerbang terbuka perlahan, mengungkapkan jalan setapak berbatu yang mengarah ke vila. Yechan melihat mobil itu berhenti di depannya, dan kemudian Felix keluar dari pintu mobil, langsung melihat Yechan dengan tubuh gagahnya, yang memberikan kesan ketegasan dan kepercayaan diri.
Hal itu membuat Yechan terkejut kaku, dia langsung menundukkan badan dengan hormat. "Selamat pagi Tuan, aku adalah Yechan..." Tatapnya dengan rasa hormat yang tulus, namun hatinya berdebar-debar di hadapan sosok yang tampak mengesankan itu.
Felix hanya diam menatapnya, dia melewati Yechan untuk membuka pintu milik Neko, membantu Neko keluar dengan sikap lembut yang menunjukkan perhatian. "Yechan, lama tidak bertemu..." Neko menatap dengan senyuman lembut, dan seolah ada sinar hangat di antara mereka, membuat Yechan juga tersenyum haru. "Akai.... Benar, lama tidak bertemu..." Dia mendekat, tapi ia terkejut melihat perut Neko yang membesar. "Pe... Perutmu? B... Bukankah kamu sudah punya putra?" Yechan menatap tak percaya, teringat saat-saat mereka bertemu Hwa.
"Haha.... Ada bayi lagi.... Hehe..." kata Neko, suaranya ceria namun ada ketulusan di dalamnya, seolah mengajak Yechan untuk merayakan kebahagiaan baru ini.
"Akai, aku benar-benar senang, kamu telah menjadi seseorang yang hebat..." tatapnya dengan penuh kekaguman. "Dengan..." tambahnya sambil menatap Felix, seolah ingin menggali lebih dalam tentang sosok di samping Neko.
Felix lalu mengulurkan tangan untuk berjabat, gerakannya tegas namun bersahabat, membuat Yechan perlahan menerimanya. "Park Choisung..." tambah Felix dengan nada formal namun hangat.
"Ah, Tuan Park... Aku senang pada hubungan kalian..." Yechan menatap ramah, tetapi Felix hanya terdiam menatap tajam, membuat Yechan terkejut tak tahu harus apa. "(Rupanya suaminya memiliki aura yang sama seperti akai pertama kali dulu....)" pikir Yechan dalam hati, merasakan ketegangan yang tak terucapkan di antara mereka.
"Yechan, aku ingin berjalan-jalan... Apakah kamu mau menemani ku?" tatap Neko, suaranya lembut, namun ada ketegasan yang membuat Yechan merasa terhormat.
"Ah, tentu... Tapi bagaimana dengan... Tuan Park?" tatap Yechan, merasa bingung dengan dinamika yang terjadi.
Felix menyilangkan tangan berpikir, wajahnya menunjukkan sikap skeptis. "Aku akan ikut..." balasnya, menambahkan lapisan ketegangan baru dalam percakapan.
"Tak perlu..." Neko langsung menyela, membuat Felix terdiam menatap. Tapi tatapan Neko lebih tajam, matanya berkilau penuh keyakinan. "Kau awalnya tak suka kemari, jadi tak perlu ikut.... Yechan bisa menjagaku..." tatapnya, ada nuansa perlindungan dalam suaranya.
Felix terdiam kesal, ada kepingan kemarahan di lehernya. "Oh, begitu, huh..." Dia bahkan menatap tajam ke Yechan yang tak tahu harus apa. "Em... Emm...."
Seketika Felix menarik kerah Yechan. "Ah!" membuat Yechan terkejut apalagi Neko. Dalam situasi tegang itu, udara terasa semakin berat, seolah semua mata memusat pada konfrontasi ini.
"Jadi kau yang membuat Amai ingin kemari... Kau ini orang apa sehingga membuatnya ingin ke mari? Padahal aku bisa membeli Vila lebih mahal dari ini... Hanya desa kecil saja..." tatap Felix dengan tajam dan memprovokasi, suaranya menggetarkan suasana, menciptakan bayangan ketidakpastian di antara mereka.
"Hei, sudahlah! Dari awal aku hanya ingin kemari..." Neko menatap melerai, wajahnya menunjukkan kebangkitan emosi yang kuat, lalu menarik tangan Yechan. "Ayo pergi, Yechan..."
Seketika Felix terdiam, dia lalu menghela napas panjang, seolah semua ketegangan dalam dirinya mulai mereda. "(Hanya lelaki yang pengecut, aku tak akan khawatir pada Amai, dia pasti akan baik-baik saja di tangan lelaki itu...)" Ia terdiam, mencoba mengelola emosi yang berkecamuk dalam pikirannya. Tapi ia mendengar suara gonggongan anjing membuatnya menoleh dan rupanya itu Dongsik.
"Woff..." Dengan suara ganas membuat Felix terdiam dan tertarik padanya. "Anjing yang terlihat kuat..." Dia mendekat, tetapi sebelum mendekat, ada suara gonggongan kecil lainnya yang rupanya anak-anak Dongsik juga ikut mendekat, membuat Felix terkejut. "Oh,.... Ayah yang kuat..." tambahnya, merasakan kehangatan dalam kebersamaan yang tak terduga ini.