Chereads / Bloody Line: Under The Drop of Blood / Chapter 284 - Chapter 284 Not a Faded

Chapter 284 - Chapter 284 Not a Faded

"Hah? Sungguh? Kau hanya menginginkan Felix melihatmu cantik? Tapi... Hiii... Felix saja seperti itu, berat badannya pasti naik... Kau seharusnya malu..." tatap Sheo Jin dengan nada mencela, meskipun ada kehangatan terselip di dalam suaranya. Tatapannya tajam, seolah ingin menelisik lebih dalam isi hati Neko, namun bibirnya melengkung tipis, menunjukkan ketidakpercayaan dan kekesalan yang bercampur.

Neko sekali lagi tertawa kecil. Suara tawanya ringan, nyaris tertahan, seolah menyimpan rahasia yang tak terungkap. Wajahnya terlihat tenang, tapi ada jejak kelelahan yang tersamar di balik matanya yang sedikit cekung. "Aku tahu itu... Itu terjadi sejak aku mengandung 2 bulan, perubahannya sudah terlihat. Aku memang menyadari dia seperti apa yang kau katakan, tapi aku hanya diam saja, aku tak peduli penampilannya seperti apa... Bagaimanapun juga, aku harus belajar mencintainya karena dia yang dianggap takdir lebih baik dari apa pun padaku..." kata Neko, matanya menerawang, memandang cangkir teh hangat di tangannya yang mengepul perlahan, membawa aroma lembut yang menenangkan suasana hatinya. Suaranya terdengar tulus, ada kehangatan dalam nada bicaranya yang menunjukkan ketulusan hatinya, meskipun ada jejak keraguan yang tak sepenuhnya hilang.

Mendengar itu, senyum sinis di wajah Sheo Jin mulai mereda, tergantikan oleh raut serius. Dia terdiam sejenak, mengamati Neko yang kini tampak lebih tenang. "Jadi, kamu menerima Felix yang sekarang? Apakah kau tidak pernah kecewa dia selalu sibuk?" tanyanya lagi, suaranya kali ini lebih lembut, ada keinginan untuk memahami, bukan sekadar mengejek seperti sebelumnya. Tatapan matanya menelusuri wajah Neko, mencoba menangkap emosi yang tersembunyi di balik senyum kecilnya.

Neko menatap ke arah luar jendela, memperhatikan dedaunan yang bergoyang tertiup angin sore. "... Jika ditanya begitu, tentu saja aku lebih banyak tidak sukanya saat dia sibuk. Aku pernah beberapa kali mengeluh soal dia yang sibuk, tapi sekarang aku paham sesuatu. Aku tak harus mengharapkan dia tidak sibuk, aku juga berperan sebagai ibu untuk Hwa... Jadi aku hanya harus menunggunya dan mengajari Hwa bagaimana cara untuk menyayangi ayahnya di saat Ayah-nya sibuk..." kata Neko, suaranya terdengar tegar, namun ada getar lembut di sana, seperti butir embun di pagi hari yang memantulkan sinar matahari pertama. Neko menyandarkan tubuhnya ke kursi, tangan kirinya mengusap lembut perutnya yang membesar, seakan ingin meyakinkan diri bahwa semua ini adalah bagian dari kebahagiaan yang tengah ia jalani.

Sheo Jin memperhatikan reaksi Neko dengan seksama. Senyum tipis terbit di wajahnya, namun kali ini bukan senyum mengejek. "(Selama berbulan-bulan ini, rupanya gadis ini telah berubah, dia mungkin telah mencintai Felix, tapi masih harus belajar lebih banyak lagi. Felix juga hebat sekali berhasil membangun cinta di hati gadis ini...)" pikir Sheo Jin, menahan diri untuk tidak mengucapkan kata-kata tersebut. Matanya menatap lembut ke arah Neko, ada perasaan campur aduk yang bergumul dalam dirinya. "Sangat mudah mengobrol denganmu. Semoga kelahiranmu nanti lancar, apakah sudah di USG? Laki-laki atau perempuan?" tanya Sheo Jin, mencoba mengalihkan pembicaraan ke hal yang lebih ringan, meskipun rasa penasaran itu masih membara dalam dirinya.

Neko terdiam, menatap cangkir teh di tangannya dengan sorot mata yang sedikit sendu. "... Apakah perlu untuk dites?" jawab Neko, suaranya terdengar ragu, seolah ada ketakutan yang tersirat dalam pertanyaannya. Tatapannya kembali tertuju pada Sheo Jin, mencoba mencari jawaban di balik senyum teman lamanya itu. Ada sesuatu dalam dirinya yang ingin mempertahankan sedikit misteri tentang bayi yang dikandungnya, seperti menanti kejutan kecil yang akan datang di kemudian hari.

Sheo Jin mengangkat bahu, lalu tersenyum lebih lebar, meski ada sedikit ketidaksabaran yang tercermin di matanya. "Kenapa? Kamu mau itu sebuah kejutan? Haduh, aku akan mati penasaran jika aku tak tahu jenis bayi itu. Tapi mungkin itu kemauanmu kan, aku juga akan menunggu. Aku hanya tak sabar menantikan bayi yang imut lagi lahir darimu..." kata Sheo Jin sambil tertawa kecil, suaranya menggema di sudut ruangan yang hangat. Meski ia terlihat menggoda, namun ada rasa antusias yang tulus dalam kata-katanya, seolah membayangkan masa depan yang cerah bagi sahabatnya.

Neko mengangguk pelan, bibirnya melengkung dalam senyum lembut, senyum yang hanya muncul ketika seseorang benar-benar merasa dimengerti. "Terima kasih..." balasnya, wajahnya terlihat lebih tenang, seolah beban yang selama ini menekan hatinya perlahan mulai terangkat. Udara sore yang sejuk masuk melalui jendela yang terbuka, membawa serta suara daun-daun bergesekan, menambah suasana damai di antara mereka berdua.

Sheo Jin menyesap sisa teh yang mulai mendingin, kemudian berdiri dari kursi, merapikan sedikit jaket yang dikenakannya. "Baiklah, senang mengobrol denganmu. Felix pasti sedang berusaha keras mengubah dirinya. Jadi aku pergi dulu..." katanya dengan nada ceria, sebelum berbalik dan berjalan keluar dari kafe, meninggalkan Neko dengan pikirannya sendiri.

Neko kembali menatap cangkir tehnya yang sudah hampir habis. Dia menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, menikmati setiap detik kehangatan teh yang masih tersisa di tenggorokannya. Aroma manis dan hangat dari kue apel yang baru saja dipesan menyelusup ke dalam hidungnya, membuatnya merasa nyaman dan terlindungi. "Aku ingin kue apel lagi..." gumamnya pelan, seakan berbicara pada dirinya sendiri, meski suara itu cukup keras untuk terdengar oleh Kim, yang segera mengarahkan perhatiannya ke arah Neko.

Tanpa berpikir panjang, Kim, yang berada di belakang meja pemesanan, berteriak dengan nada ceria yang khas. "Tolong kue apelnya lagi!" serunya pada koki di belakang, mengisi ruangan dengan energi baru. Suara gemerincing piring dan aroma panggangan mengisi udara, memberikan kesan hangat dan akrab yang begitu khas dari kafe kecil itu.

Sementara itu, di tempat lain, Felix berusaha keras di hutan pelatihan. Setiap langkah kakinya menghantam tanah berbatu dengan dentuman yang teratur, menyisakan jejak keringat di sepanjang lintasan yang dilaluinya. Dia berlari melintasi bukit-bukit dengan napas yang teratur, seolah sudah terbiasa dengan kerasnya latihan ini. Di belakangnya, Hwa, tampak terengah-engah, berusaha sekuat tenaga mengikuti jejak sang ayah, meskipun jaraknya semakin jauh tertinggal.

"Hah... Hah... Ayah... Hah... Bisakah kita istirahat dulu...? Ini bukan militer... Kenapa Ayah sangat bersemangat sekali?" tanya Hwa dengan suara terputus-putus, keringat membanjiri wajahnya yang kemerahan karena kelelahan. Dia menatap punggung Felix dengan pandangan penuh harap, seolah berharap ayahnya akan sedikit berbelas kasih dan mengizinkannya untuk beristirahat.

Felix, yang sedang fokus pada latihannya, mendengar keluhan putranya dan memperlambat langkahnya. Dia berbalik dengan senyum di wajahnya yang dipenuhi peluh, lalu mendekati Hwa dengan langkah ringan. Tanpa berkata apa-apa, dia mengangkat Hwa dengan satu tangan, seolah lelaki kecil itu tidak lebih berat dari seekor kucing kecil. "Jika kau ingin ke militer nanti, tentu saja pelatihannya akan begini... Ayo cepat, jika tidak kuat, tunggu Ayah di sini..." katanya sambil meletakkan Hwa di bawah pohon besar yang rindang. Dia merogoh botol minuman dari tasnya dan menyerahkannya pada Hwa, sebelum melanjutkan larinya.

Hwa mengamati ayahnya yang semakin menjauh, hanya bisa terdiam sambil mengatur napasnya. Di bawah naungan pohon, ia bersandar, merasakan angin sepoi-sepoi yang membawa kesejukan pada tubuhnya yang lelah. "Ha... Aku juga ingin kuat seperti Ayah... Aku ingin meneruskan kekuatan Ayah, tapi aku lelah dengan caranya... Apa yang harus kulakukan?" gumamnya pelan, ada nada kekecewaan yang tersembunyi dalam suaranya.

Beberapa menit kemudian, Felix muncul di sisi lain, melewati Hwa yang masih duduk di bawah pohon besar. Langkah kakinya terdengar berat, namun tetap teratur, menggema di antara pepohonan yang mulai dibayangi kegelapan. Wajahnya dipenuhi dengan tetesan keringat yang jatuh perlahan, membasahi pipinya yang memerah oleh lelah. Dari awal, dia tidak menyentuh air minum yang dibawanya; dia hanya terus berlari, terfokus sepenuhnya pada ritme napas dan gerak tubuhnya yang kuat.

Sementara itu, Hwa, yang sudah menunggu selama berjam-jam, mulai merasa resah. Angin sore berhembus lebih dingin sekarang, membawa serta bayangan malam yang mulai merayap. Dia melingkarkan tangan di sekitar lututnya, menggigil sedikit saat kegelapan mulai mengambil alih. Ketika akhirnya melihat sosok ayahnya muncul dari kejauhan, Hwa menghela napas lega, lalu berteriak, suaranya melayang di udara yang semakin gelap, "Astaga Ayah! Ayolah! Hari sudah mulai gelap!"

Teriakan Hwa berhasil menghentikan langkah Felix yang tadinya mantap. Dia menoleh dengan tatapan yang serius, lalu mengangkat wajahnya ke langit yang mulai kehilangan sinarnya. Langit berwarna oranye berganti menjadi ungu tua, perlahan tersaput bayang hitam malam. "Oh, sudah mau gelap..." gumamnya pelan, seakan baru saja terbangun dari lamunan panjang. Dia memang seringkali kehilangan waktu ketika fokus berlatih, membiarkan tubuhnya bergerak dengan keras kepala. Namun kali ini, ia sadar bahwa sudah terlalu larut untuk terus melatih diri. Akhirnya, dengan langkah yang lebih tenang, Felix mendekati putranya.

"Baiklah... Ayo pulang..." katanya sambil mengusap keringat di wajahnya dengan handuk kecil yang terlingkar di lehernya. Suaranya terdengar lembut, berbeda dari nada tegas yang biasa ia gunakan saat berlatih. Ada kehangatan yang tersirat, seolah lelahnya mulai luluh oleh pemandangan anaknya yang menunggu dengan penuh kesabaran.

Hwa berdiri, sedikit meregangkan tubuhnya yang lelah setelah lama duduk di tanah. Tapi sebelum mereka benar-benar beranjak, rasa penasaran merayap di benaknya. Dia menatap ayahnya dengan raut polos yang khas. "Apakah Ayah merasakan suatu perubahan?" tanyanya dengan nada ingin tahu, matanya berbinar dalam keremangan senja, berharap mendengar jawaban yang mengungkap sesuatu dari latihan panjang ayahnya.

Felix terdiam sejenak. Hawa malam mulai terasa lebih dingin, menggigit kulitnya yang basah oleh keringat. Dia menundukkan kepala, lalu perlahan memegang perutnya, seakan mencari perubahan yang tidak kasat mata, mencoba merasakan sesuatu yang mungkin berbeda dari sebelumnya. "Belum..." jawabnya dengan suara datar, namun terdengar ada tekad yang tersirat di sana, seolah keyakinannya untuk terus berusaha belum goyah. "Besok akan kita lanjutkan..."

Kata-kata itu membuat Hwa terkejut, bibirnya sedikit terbuka dan matanya membesar. "Apa?!" dia tampak tak percaya.

Felix tertawa kecil. "Kenapa, layaknya kau tidak biasa saja punya Ayah yang begini..."

Hwa yang mendengar itu menjadi semakin menciut nyalinya. "(Oh astaga... Kenapa Ayah jadi begini...)"