"Maaf, aku tidak tahu kau ada di sini, aku membuat mu menunggu lama," kata Neko.
Lalu Felix tersenyum kecil mendengar itu, ia memegang dagu Neko perlahan membuat Neko mengangkat kepalanya menatapnya.
"Kau tahu, aku yakin kau sudah mulai menjadi gadis yang lembut padaku," kata Felix.
Seketika Neko terkejut, ia langsung membuang wajah. "Aku.... Tidak seperti itu," ia mencoba menyangkal. "Lagi pula apa yang kau lakukan di sini?"
"Tentu saja ingin berjalan jalan dengan mu, tempat ini baru bukan? Aku belum pernah kemari. Karena kau sudah tahu dari Hwa, beritahu aku tempat ini."
"Tapi ini sudah hampir malam."
"Apa tempat ini akan tutup? Hwa tidak mengatakan apapun soal malam untuk tempat ini?"
". . . Dia mengatakan nya, dia bilang akan lebih bagus pada malam hari..."
"Kalau begitu ayo masuk saja," Felix mengulur tangan, Neko terdiam, ia memandang wajah Felix yang sangat tulus padanya.
Perlahan ia menerima uluran tangan Felix lalu berjalan masuk bersama. Tepat di sana, gelap malam diterangi oleh banyaknya lampu di taman itu, tak hanya itu. Lampu kelap kelip juga muncul dari taman bunga itu membuat mereka seperti bercahaya.
"Hwa benar, ini terlihat sangat cantik," kata Felix melihat ke atas, melihat lampu lampu bercahaya itu. Sementara Neko hanya terdiam dengan wajah canggung memegang tangan Felix seperti pasangan pada umumnya.
Lalu ia menyadari sesuatu, ia melewati tempat di mana ia melihat bunga mawar tadi. Felix terkejut dan berhenti berjalan ketika merasakan Neko berhenti karena tangan nya tertarik. Felix menoleh dan melihat Neko yang menatap ke satu tempat dengan tatapan kosong. "Apa ada sesuatu?"
"Dimana... Dimana bunga itu?" kata Neko, rupanya bunga mawar tadi telah hilang di sana. Neko menoleh ke sekitar dengan panik dan di saat itu juga ia melihat petugas kebersihan di sana yang membawa setangkai mawar kecil di tangan nya yang telah memakai sarung tangan.
"Itu!!" ia menjadi berlari melepas tangan Felix.
"Amai!?" Felix terkejut melihat sikap Neko yang berlari menemui petugas itu.
"Permisi!!" panggilnya membuat petugas itu menoleh. Petugas itu terkejut ketika melihat Neko karena terpesona. "(Astaga, gadis cantik dan manis.) Ada yang bisa dibantu Nona?"
"Kemana kau akan membawa mawar kecil itu?" tatap Neko.
"Oh ini, bunga ini akan aku berikan ke kedai bunga, tapi karena masih kecil mungkin mereka akan membuangnya."
"Bisakah aku memilikinya?" tatap Neko membuat petugas itu terdiam.
"Nona, ini hanya bunga kecil, anda bisa mendapat kan nya di kedai bunga itu, lagipula bunga ini berduri," kata Petugas itu. Seketika Neko menatap sedih, di saat itu juga petugas itu terkejut melihat aura yang sangat kuat berada di belakang Neko. Rupanya Felix yang menatap nya dengan sangat tajam.
"N... Nona, apa anda ingin mawar ini?" tatap nya.
"Apa aku bisa memilikinya?"
"Y... Ya... Anda bisa memilikinya," tambah pria itu lalu ia memberikan nya pada Neko. Tapi saat Neko akan mengambil bunga itu, ia tertarik Felix ke belakang, alhasil yang mengambil bunga itu adalah Felix.
"A... Aku pergi dulu.... Terima kasih," Petugas itu langsung meninggalkan mereka ketika tahu Neko milik Felix.
Neko terdiam, ia melihat Felix di belakang nya dan di tangan Felix, mawar berduri itu melukai tangan nya.
"Tangan mu!" Neko menatap panik dan akan mengambil mawar itu tapi Felix malah menggenggam mawar itu. "Kau juga akan terluka, biarkan aku saja yang membawanya," kata Felix dengan tatapan serius.
Lalu Neko terdiam, ia menatap bunga itu. "Apa kau tahu maksud ku seperti ini?"
"Tentu, aku sudah mengenalmu dari dulu. Kau tak perlu malu bercerita padaku apa yang kau pikirkan saat ini, jika kau mengalami mimpi buruk yang tidak bisa diceritakan, maka kau tak perlu menunjukan wajah yang membuat ku khawatir tentang hal itu, kau hanya perlu bersikap seperti biasanya dengan bercerita dengan ku, kau dilahirkan bukan untuk menjadi milikku melainkan menjadi yang terbaik disisi ku dan aku dilahirkan bukan untuk melihat mu menangis, marah dan tertawa sesuka hati tapi ini kewajiban ku membuat mu mengekspresikan segalanya," kata Felix dengan membungkukan sedikit badan nya untuk menatap Neko dengan menunjukan mawar itu yang masih di tangan nya.
Lalu Neko terdiam. "Mimpi itu menyiksa ku, emosi orang lain juga begitu, mimpiku benar benar memberitahu ku dengan penuh emosi. Itu membuat ku takut akan arti yang ada di dalam nya, itu sangat berkaitan dengan sebuah takdir-- yang pudar..."
". . . Bukan emosi siapapun yang menyiksa mu tetapi harapan mu sendiri, segala sesuatu di dunia menyembuhkan mu tetapi kau satu satunya yang menolak untuk melepaskan diri sendiri. Dan juga, hal hal yang kau pedulikan akan selalu menyiksamu, bunga tidak harus tumbuh menjadi mawar dan dia tak harus menjadi milik mu," balas Felix.
Neko terdiam, ia melihat ke sekitar dan rupanya banyak pasangan yang menikmati malam di taman itu dengan berciuman. Neko menjadi terkejut dan tak jadi melihat ke sekitar, ia lalu melihat Felix yang menatapnya tulus dari tadi.
"Kau tahu, kau juga banyak berubah, menjadi pria kejam tiada duanya dan sekarang aku selalu melihat mu memasang wajah itu setiap kali kau di rumah, tetapi aku yakin kau tidak memasang wajah itu untuk siapapun lagi... Kau memberikan itu hanya untuk ku dan Hwa," kata Neko. Ia juga tersenyum kecil lalu mendekat menarik kerah Felix dengan pelan dan mencium bibir Felix.
Felix lalu mengangkat Neko dengan tangan satunya dan menggendong Neko di bahunya, mereka masih mempertahankan ciuman itu membuat semua orang dan beberapa ada di sana melihat mereka dengan menganggap mereka pasangan yang cocok.
"(Arti dari bunga mawar biru itu adalah dia lebih senang jika aku bahagia setelah aku menangis karena di balik kesedihan pasti akan mendatangkan rasa bahagia karena hal yang buruk tidak akan pernah terjadi lagi. Dia lebih suka melihatku menangis karena aku tak pernah menunjukan ekspresi itu pada orang lain lagi.)"
"(Aku tak ingin kehabisan waktu, walaupun terus terpisah dengan seseorang yang seharusnya selalu ada di sisiku, potongan kertas di tangan ku tak akan terbakar selama aku tidak mendekatkan nya di korek api, kita tidak sendirian, kita pasti akan mengukir langit malam tanpa bintang yang hanya diterangi oleh cahaya bulan. Terlihat rapuh walaupun bercahaya. Bisakah kau melihatnya? Masa depan yang aku impikan dan tidak akan pernah pudar.)"
"Kalau aku berhenti memikirkan nya, aku tidak akan terpikirkan bahwa luka membuatku kuat, ketakutan membuatku berani dan patah hati membuatku lebih bijak."
--
"Acheline...." panggil Hwa sambil menatap langit malam penuh bintang dengan Acheline di samping nya. Mereka ada di taman belakang rumah Felix yang besar, Hwa memakai jaket tebal menatap bulan yang hampir terlihat ketika awan mulai pergi untuk tidak menutupinya.
"Hm?" Acheline membalas lembut dengan duduk di samping nya. Sudah menjadi tugas wanita itu untuk menemani Hwa.
Hwa terdiam sebentar mengingat lalu mengatakan sesuatu. "Apakah... Aku salah jika hanya aku yang memiliki nilai bagus dalam kelas ku?"
Acheline terdiam mendengar itu dan mulai penasaran bertanya. "Kenapa?"
". . . Setiap kali aku dapat nilai bagus, teman teman ku tak menyukai ku, bahkan para guru di sana hanya mempedulikan ku, tidak bagi mereka... Apakah itu alasan guru guru memperhatikan ku, dan alasan mengapa teman teman ku membenci ku?" Hwa menatap.
Acheline yang mendengarkan tehtu saja terkejut. Dia agak bingung sambil berpikir. "(Aku tidak tahu rasanya tapi... Aku tahu bagaimana menggambarkan nya...) Hm... Begini, ibarat nya jika kau ingin berada di lingkungan baru, maka kamu harus menyesuaikan mereka.... Sama seperti bagaimana kau ingin mencari teman yang sama dengan mu, jika kau merasa tak ada teman yang sama, atau dalam artian lain mereka lebih rendah, maka kau juga harus merasa rendah... Jika kamu tahu jawaban nya, kenapa harus di jawab jika teman teman mu saja tak tahu jawaban nya, itu akan menjadikan mu buruk di mata mereka. Terkadang, seseorang yang pintar perlu untuk berbaur dengan mereka yang ada di bawah nya...." kata Acheline.
Hwa terdiam mendengar itu. "Aku tak pernah berharap dilahirkan dengan kondisi begini... Aku hanya berharap, aku memiliki keluarga yang sederhana, aku ingin Ayah dan Ibu merasa bahagia hanya dengan memiliki ku, tapi sepertinya, ibu masih perlu waktu untuk mencintai Ayah sepenuhnya, aku tidak mengerti kenapa sikap ku begini, apakah aku bisa menjadi orang yang baik nantinya... Atau tidak..." kata Hwa.
Seketika Acheline jadi terpikir sesuatu. "(Benar juga, Hwa pasti memiliki sikap keturunan dari Bos dan Amai, jika dari kecil mereka berdua memiliki sikap yang buruk, maka Hwa kebalikan nya, saat Hwa besar nanti, apakah dia akan menjadi sosok yahg buruk...)" pikirnya, tapi ia menggeleng. "Tidak, tidak..."
Hal itu membuat Hwa menatap nya.
"Tidak Hwa, tidak... Berjanjilah pada Ayah dan Ibumu, kau akan menjadi lelaki yang baik...!" tatap Acheline sambil memegang kedua bahu Hwa yang terdiam.
"Tapi...."
"Tak ada tapi tapi..." Acheline menyela. "Kamu sudah tahu kan bahwa Ibu mu mengandung bayi lagi, kau akan memiliki adik dan kau juga akan menjadi kakak. Kau akan di tuntut untuk menjadi baik dan merupakan panutan untuk adikmu, orang tua mu pasti berharap lebih dari itu. Tak peduli berapa nilai mu di sekolah, tak peduli kau mau mendapatkan nilai buruk apa di mata orang. Tapi sikap mu harus nomor satu di dalam keluarga, bagaimanapun juga, kau akan menjadi penerus Ayah mu, meskipun dia baik tapi dia harus bersikap tegas pada waktunya bahkan pada orang tertentu. Jika kau ingin membuat pandangan orang sama, maka pilihlah sikap baik dalam hatimu, jangan biarkan itu pudar, kecuali jika kau berharap orang orang menilai mu secara berbeda, begitupun juga sikap mu, Hwa..." kata Acheline.
Hwa terdiam mendengar itu. "(Sepertinya aku harus banyak belajar untuk bisa mencerna kata setiap orang dewasa, termasuk Acheline...)"