Sebelumnya Kim berjalan ke kantor Felix.
"Tuan Felix bisa aku masuk?" dia mengintip. Felix hanya terdiam seperti biasanya dengan sifat cuek.
"Tuan Felix... Sebenarnya aku ingin mengatakan sesuatu..... Anda harus menjemput tuan kecil lagi, sepertinya," kata Kim lalu Felix terdiam dari menatap catatan nya yang di meja.
"Untuk apa... Dia sudah di jemput Acheline."
"Acheline.... Sedang tidak bisa... Lagipula... Tuan kecil sangat menginginkan anda bisa menjemputnya, meskipun keinginan yang kecil tapi itu akan sangat berharga untuknya, anda harus keluar mobil dan menunjukan bahwa nada adalah Ayah dari Tuan kecil, Tuan kecil juga ingin teman teman nya tahu Ayahnya datang menjemput," Kim menatap.
Lalu Felix kembali diam sebentar dan menoleh ke Kim. "Siap kan mobil."
"(Aku tidak tahu ayah akan menjemputku... Aku benar benar sangat senang bisa pulang dengan nya lagi,)" Hwa tersenyum sendiri di bangku tengah mobil dan Felix yang mengemudi melihatnya dari kaca dalam mobil.
"Kenapa kau tersenyum sendiri, apa ada sesuatu?" tatap Felix dari kaca pantulan itu.
"E.... Tidak Ayah.... Ngomong ngomong apa aku akan menjadi kakak? Ingat janji Ayah kan, Ayah akan membuat kan adik untuk ku."
"Tentu... Setelah 9 bulan berakhir, kau akan melihat adikmu."
"Hah kenapa sangat lama?!" Hwa menatap terkejut dengan masih polos.
"Memang sangat lama, semua bayi juga akan seperti itu, jadi kau harus sabar menunggu."
". . . Lalu apa aku juga dulu begitu?"
"Ya tentu."
"Kalau begitu, apa Ayah dan Ibu sabar menungguku keluar?" tanya Hwa, lalu Felix terdiam sebentar mengingat betapa sakitnya Neko saat melahirkan Hwa.
"(Harus mengandung sangat lama, setelah itu merasakan sakit karena melahirkan...) Tentu, kita sabar menunggumu dan hasilnya lelaki manis keluar dengan selamat," balas Felix.
"Lalu... Apa aku bisa menjadi Kakak yang baik nantinya...?"
". . . Kau bisa melakukanya, hanya perlu bersikap seperti kakak pada adikmu."
". . . Apa Ayah memang berpikir begitu?" Hwa menatap dengan tatapan yang tiba tiba menipis membuat Felix melihatnya menjadi memasang tatapan kosong.
"(Kau memang belum tahu pekerjaan orang tuamu ini... Tapi kau harus tahu... Kau akan melakukan hal yang sama seperti aku dan Amai.... Hwa di lahirkan untuk menjadi seseorang yang bisa membedakan sesuatu.... Dia bisa membaca situasi apapun dan belum tentu juga dia bisa menjadi contoh terdekat untuk yang lain nya,)" Felix terdiam berpikir serius.
"(Apa aku membuat hal yang membuat Ayah terdiam seperti itu,)" Hwa berpikir cemas. Dia tak bermaksud mengatakan hal yang di anggap Felix tidak menyenangkan.
"Bagaimana jika memancing?" tawar Felix membuat Hwa terdiam.
"Kau mau bukan?..."
"Memancing... Ayah serius?.... Di mana?"
"Di tempat yang kau mau.... Kau mendengarnya dari teman temanmu bukan?" Felix menatap dengan sedikit senyuman lalu Hwa juga tersenyum manis dan mengangguk.
Sebelumnya Felix juga mendengar perkataan acheline. Saat itu dia masih di kantor dan Acheline datang. "Bos... Aku membawakan dokumen yang kau minta," dia berjalan mendekat meletakan dokumen itu di meja Felix.
"Kau sudah menjemput Hwa hingga pulang?" tatap Felix dengan serius.
"Yup... Dia agak sedikit bercerita padaku... Teman teman nya bilang menangkap ikan besar bersama Ayah mereka.... Dia mengatakan itu padaku dengan seperti sedikit... Menyindir mu yang tak pernah membawanya bersenang senang dengan cara orang dewasa," kata Acheline. Mendengar itu Felix menjadi terdiam.
"Apa dia ingin aku membawanya menangkap ikan besar, aku bisa membelinya lebih besar."
"Bukan membeli, Bos, tapi memancing... Mungkin Hwa bisa mengatakan tempat nya di mana karena dia sudah banyak mendengar cerita dari teman teman nya, memancing juga akan menghabiskan waktu untuk mengobrol."
--
"Baiklah, di sini tempatnya. Nampak seperti danau yang besar," kata Felix sambil keluar dari mobil. Ia saat ini ada di lapangan luas dengan lokasi di tepi danau yang sangat besar.
Lalu Hwa turun dan melihat sekitar lalu ia memasang wajah bingung. "Um... Ayah, di mana peralatan memancing nya?" tatap nya.
Lalu Felix melihat sekitar dan menemukan kedai peralatan memancing. "Kita sudah bawa," balas Felix, ia akan membeli peralatan nya di sana.
Setelah itu mereka mulai memancing di tepi danau.
"Ayah, apa aku bisa bertanya sesuatu?" tatap Hwa yang saat ini duduk di samping Felix yang agak berjarak. Dengan Hwa yang memegang tongkat memancing dan Felix merokok menoleh padanya.
"Ayah, bagaimana caramu mendapatkan ibu?" tanya Hwa. Lalu Felix terdiam sebentar.
". . . Ada apa... Apa kau mau mendapatkan perempuan seperti ibu?"
"Tentu saja, ibu sangat cantik, senyumannya sangat indah, aku harap ada yang sama seperti nya."
"Yeah... Jika kau ingin mendapatkan perempuan yang seperti itu, kau harus menjadi seorang pahlawan untuk orang yang kau anggap sebagai yang tersulit dalam hidupnya."
"Jadi ayah menjadi pahlawan untuk ibu, apa ibu memiliki masalah sebelum aku lahir?"
"Itu tak bisa di jelaskan, jika itu tak terjadi, kau mungkin tidak disini sekarang dan tidak akan ada yang membuat senyuman untukmu," kata Felix. Lalu Hwa terdiam dengan senyum kecilnya.
"Yeah... Kau benar Ayah, aku akan mencoba sepertimu."
"Ada apa... Kau menyukai seseorang?" Felix sedikit melirik.
"E.... Tidak," Hwa langsung terkejut.
"Apa kau yakin?"
"Aku tidak tertarik pada siapapun Ayah, dan juga.... Apa aku bisa berkata sesuatu?" kata Hwa sambil menundukan wajah membuat Felix terdiam.
"Aku rasa, aku ingin pindah sekolah," tambah Hwa.
". . . Kenapa kau berpikir begitu?"
"Aku sudah lelah dengan mereka yang terus menawari ku hal aneh, mereka terus bilang bahwa gambaran ku sangat bagus, padahal aku tidak berharap pada guru melihatnya."
"Jika kau pindah pun, belum tentu juga mereka akan melihatmu dari sisi apa, Hwa."
"Tapi paling tidak mereka tidak tahu seberapa dalam hebatnya aku, aku hanya ingin di samakan oleh mereka, aku tak mau di tinggikan," kata Hwa. Lalu Felix terdiam, ia melepas rokoknya dan menatap putranya itu yang dari tadi hanya menatap ke air bawah.
"Memang tidak salah kau mencoba merendah, tapi jika kau terlalu merendah, jangan salahkan dirimu sendiri jika kau akan di manfaatkan orang lain nantinya."
". . . Apa suatu saat nanti... Aku bisa melakukan apa yang di lakukan Ayah?" tanya Hwa.
Felix kembali terdiam, ia melihat ke arah air di bawah mereka. "Kau... Tidak boleh menjadi seperti Ayah..."
Mendengar itu Hwa menjadi terdiam.
"Ayah akan melarang mu... Untuk menjadi seperti Ayah... Ingatlah itu baik baik... Kau juga tidak boleh menjadi seperti Ibu... Dan akan ada saatnya kenapa Ayah mengatakan hal ini padamu.... Hwa," kata Felix.
Lalu Hwa kembali terdiam dan melihat ke arah air berhenti menatap Felix.
"(Apa Ayah melarang ku.... Menjadi lembut seperti Ibu dan menjadi kuat seperti Ayah... Lalu apa yang dia inginkan untukku.... Tapi dia bilang... Aku akan tahu kenapa aku tidak boleh menjadi sepertinya... Mungkin Ayah bukan orang baik yang seperti aku pikirkan.... Aku melihat Ayah dan Ibu adalah pasangan yang baik, aku percaya Ibu dulu adalah gadis yang sangat baik dan aku percaya Ayah dulu adalah pria yang sangat baik juga. Tapi mengapa Ayah melarang ku bersikap sama seperti mereka. Mungkin memang benar, Ayah dan Ibu memiliki sifat yang buruk. Suatu saat nanti Ayah akan kembali bilang yang terlihat baik sekarang pastinya terlihat buruk dulu, Ayah pasti tidak membolehkan aku menjadi dirinya di masa lalu karena itulah dia melarang ku untuk menjadi sepertinya.)"
"Apa kau sudah membuat kematangan tujuan mu?" tanya Felix dalam kesunyian danau dan hal itu membuat Hwa terdiam, dia malah terpikirkan kalimat itu. "(Tujuan...?)"
Dengan melihat pun Felix bisa tahu, dia lalu menghela napas panjang. "Tidak mudah menjadi dewasa Hwa..." tatapnya membuat Hwa juga menatap.
"Dewasa?"
". . . Setiap orang memiliki ujian hidup yang berbeda... Hanya perlu menikmati hidup mu dan jadi orang ketiga dalam sikap mu sendiri yakni tenang dalam segala hal..." kata Felix.
". . . Lalu, kenapa Ayah melarang ku untuk menjadi seperti Ayah... Maupun Ibu?" Hwa bertanya.
Felix menjadi terdiam berpikir hingga dia menjawab perlahan. "Suatu saat nanti... Jika kau sudah mengenal kehidupan mu... Kami hanya berharap, kau bisa mengendalikan dirimu sendiri... Manfaatkan masa muda mu... Kehidupan mu akan baik jika kau menjalani semuanya secara normal, jangan terlalu ikut campur urusan orang-orang yang tidak penting... Ayah akan setuju jika kau lebih memilih pendidikan dari pada fisik..." kata Felix.
"Jadi, Ayah melarang ku agar tidak mengutamakan pelatihan fisik?"
"Ayah tidak akan melarang... Ayah hanya mereset mana yang harus kau pilih dan kau tahan dalam kehidupan mu.... Selanjutnya hanya pilihan mu yang tepat..." balas Felix.
Dan di saat itu juga umpan nya bergerak membuat nya langsung menarik pancing nya, dengan sekali tarikan, Felix bisa mendapatkan ikan besar membuat Hwa terkesan.
"Itu hebat!!" dia tampak senang.
"Sama seperti ikan ini... Kau hanya harus tenang jika ingin memancing... Jika merasa bosan, mengobrolah tentang kehidupan... Sehingga ikan akan ikut mendengarkan..." kata Felix yang berdiri meninggalkan Hwa untuk meletakan ikan itu.
Hwa bahkan masih terdiam dengan perkataan Felix. "(Kehidupan pasti akan lebih sakit dari pada apapun...)" pikirnya dengan khawatir, lalu ia tak sengaja melihat ikan ikan yang mendekat ke umpan nya.
Hwa menjadi tak sabar, "ayo... Makan umpan ku...." ia tampak menahan gerak nya. Tapi ikan ikan itu seperti tak tertarik pada umpan nya jadi mereka hanya sekedar lewat saja.
Hal itu membuat Hwa kecewa. "Apa yang salah?" dia menatap Felix yang kembali duduk.
"Tariklah," tatap Felix membuat Hwa menarik umpan nya lalu Felix menempelkan umpan baru.
"Ketika kau merasa hidup mu sudah tak menarik, hanya perlu mengganti keadaan. Di mulai dari mengganti hobi, penampilan dan bahkan kekuatan yang harus di tunjukan... Maka, akan ada orang yang mau melihat mu... Bahkan tertarik pada jebakan mu.... Begitulah cara orang buruk bekerja... Mereka akan melakukan apapun untuk menarik perhatian seseorang yang ia obsesikan..." kata Felix yang melempar ujung benang Hwa.
Seperti apa yang dia katakan. Ujung umpan Hwa dimakan membuat Hwa terkesan. "Ayah... Kau benar benar begitu hebat..." tatapnya dengan antusias lalu Felix membelai kepalanya dan mengacak acak nya.
"Jangan terlalu menganggap ku hebat... Kau tahu, orang hebat pasti punya keburukan sendiri..."