Hari berikutnya, Hwa tampak terdiam, bingung menatap seorang wanita yang berjalan mendekatinya saat dia sedang digandeng oleh Neko.
Sepertinya wanita itu adalah Kikiyo. "Halo, Neko, lama tidak bertemu..." katanya sambil mendekat pada mereka.
"Aku senang kau selamat dari tragedi itu, padahal kabar mengatakan orang-orang di organisasi mati semua..." kata Neko dengan tatapan meremehkan.
"Hei, jangan mengejekku... Aku memang berhasil selamat, tapi aku dengar Felix memintaku bergabung dalam pekerjaannya karena... Seorang... Lelaki kecil..." nada Kikiyo semakin lambat ketika melihat Hwa.
"Hahaha... Ternyata memang benar... Dia sangat tampan..." Kikiyo terpukau melihat Hwa yang terdiam bingung.
Melihat Hwa bingung, Neko mengatakan sesuatu. "Hwa, kenalkan, ini Kikiyo. Dia dokter pribadi kita yang bekerja khusus di bawah naungan organisasi. Dia memiliki banyak obat dan bisa memeriksa setiap penyakit yang kita alami... Alasan Ibu membawamu kemari adalah untuk memeriksa kondisi gigimu," kata Neko.
"Gigiku?" Hwa masih terdiam polos.
"Aku mendengar semua keluhanmu di ponsel, Neko. Kau bilang giginya tumbuh terlalu cepat, dan apakah dia punya gigi Alpha?" Kikiyo menatap Neko yang mengangguk. "Ya, aku khawatir itu menyakiti mulutnya ketika makan."
"Kalau begitu, ikutlah aku, kita akan memeriksanya sekarang..." kata Kikiyo.
Tak lama kemudian, Kikiyo menatap gigi Hwa dengan maskernya. Dia memeriksa satu per satu, dan memang gigi Hwa terlihat sempurna, tapi bagian gigi taringnya memiliki ukuran yang lebih besar dan terlalu tumpul.
"Hm... Apakah ini masih gigi susu?" tanya Kikiyo pada Neko yang berdiri di sampingnya.
"Ya, itu semua masih gigi susu..."
"Hm... Aneh sekali..." Kikiyo menghentikan pemeriksaan dan berdiri, membuat Hwa terdiam merasakan giginya sendiri.
"Ibu... Kenapa?" Hwa masih tidak mengerti, lalu Neko menjelaskan, "Hwa, gigimu mirip dengan gigiku. Tapi ibu tidak tahu apakah kau akan mengonsumsi darah..."
Seketika Hwa terkejut mendengar itu. "Darah?"
"Hei, jangan memberitahunya dulu..." tatap Kikiyo. "Aku masih belum menemukan jawabannya... Ini sungguh sangat aneh... Sebaiknya kita bicarakan ini saja nanti," tambahnya.
"Kalau begitu, Hwa... Pergilah ke kantor Ayahmu... Tinggallah di sana sebentar sementara Ibu mengobrol dengan Kikiyo," kata Neko.
Meskipun agak diam, Hwa mencoba menurutinya. "Baik..."
---
Tak lama kemudian, Felix menatap ponselnya sambil melihat Hwa yang berjalan mendekat ke gedung kantornya.
"Ibumu bilang kau berjalan kemari, untungnya klinik itu dekat dari sini karena dia benar-benar membiarkanmu berjalan sendirian..." kata Felix.
Hwa hanya menatap polos. "Apa yang harus kulakukan, Ayah?"
"Tunggulah di sini sambil menunggu jam pulang... Oh, bisa Ayah minta bantuan?" Felix memberikan dokumen.
"Kau sudah besar, kan?" katanya menguji, membuat Hwa mengangguk pelan.
"Kalau begitu, berikan ini pada Kim di kantornya. Kau sudah tahu kantornya, kan?" kata Felix, lalu Hwa tersenyum dan menerimanya.
"Tentu... Aku bisa melakukannya..." Hwa langsung berjalan masuk ke gedung.
Felix tertawa kecil. "Kekeke... Dia sudah menganggap tempat ini sebagai rumahnya..." Felix lalu melihat ke ponselnya dan menghubungi seseorang, dan dia langsung mengatakan sesuatu pada ponsel itu.
"Hei... Soal wanita itu... Aku masih harus mengingatnya lagi? Tidak... Dia akan menggangguku... Jika Amai tahu, aku tak bisa lagi menghadapinya... Pelacur itu harus mati, jika tidak, dia pasti akan membuat Amai kesal... Aku tak mau Amai tahu soal wanita itu..." entah apa yang dia bicarakan, yang pasti itu berhubungan dengan wanita yang saat itu bertemu dengannya di jembatan.
Sementara itu, Hwa masuk ke ruangan itu, di sana ada Kim yang sedang bekerja di depan komputernya. Kim melihat ke pintu karena mendengar pintu terbuka. Seketika ia terkejut dan langsung berdiri. "Tuan kecil, kenapa kau ada di sini?"
"Aku diminta Ayah untuk memberikan ini," Hwa memberikan dokumennya.
"Oh, terima kasih... (Tuan kecil sangat baik dan pendengar yang baik,)" Kim menerimanya.
"Ngomong-ngomong, Kim, apa Ayah memiliki waktu?" tanya Hwa.
"Maaf... Apa maksudmu?"
"Aku hanya bertanya-tanya apa Ayah punya waktu, karena dia selalu sibuk bekerja di sini."
"Apa yang kau harapkan jika Tuan Felix tidak sibuk?" kata Kim sambil menundukkan sedikit tubuhnya untuk berbicara pada Hwa.
"Yah... Mungkin Ayah bisa menemaniku... Karena... Dia tak pernah menjemputku sekolah. Teman-temanku terlihat sangat dekat dengan ayah mereka. Mungkin Acheline saja sudah bagus jika menjemputku, tapi yang aku harapkan adalah dijemput oleh Ayah..." kata Hwa.
"Tapi bukankah Tuan Felix terkadang menjemputmu?" tanya Kim.
"Ayah memang terkadang menjemputku, tapi dia terlalu lama menjemputku sehingga semua temanku sudah terjemput dan pergi, meskipun ada sedikit yang masih belum terjemput. Aku ingin Ayah menjemputku lebih awal agar aku bisa menunjukkan pada semua temanku bahwa Ayah tidak mengerikan, dia mau menjemputku dengan rasa yang lembut," kata Hwa.
Mendengar itu, Kim terdiam. Dia mengingat sesuatu saat sebelum Hwa dilahirkan, Felix pernah mengatakan sesuatu di depannya.
"Saat bayi pertama itu lahir, dia sudah akan bisa merasakan sebuah rasa dari dalam hatinya. Dengan kata lain, dia akan merasa sangat sensitif pada apapun. Meskipun dilahirkan kuat, dia akan menjadi seseorang yang lemah dalam hatinya, sama seperti Amai." Itu adalah perkataan yang dikatakan Felix pada Kim sebelumnya.
"(Jika dipikir-pikir perkataan Tuan Felix memang ada benarnya, Tuan kecil sepertinya sangat memiliki hasrat tinggi dalam keinginannya... Dia pasti menginginkan sebuah kehangatan dari kedekatan Tuan Felix dan Nona Neko,)" Kim terdiam berpikir.
Di sisi lain, Neko berjalan ke gedung Felix dan di sana Felix terlihat merokok di pinggir jalan di depan gedung sambil menempelkan ponsel nya di telinga. Ia juga kebetulan menatap ke Neko dan menurunkan ponsel nya sambil tersenyum kecil.
"Apa yang baru saja kau lakukan?"
Neko mendekat sambil menyilang tangan dan menghela napas panjang. "Aku khawatir, Hwa akan memakan darah ketika dia besar..."
"Hm? Buat apa khawatir... Tidak akan ada juga yang dirugikan..."
"Tapi sudah jelas Hwa lebih mirip dengan mu..." Neko menatap.
Lalu Felix menghela napas panjang dengan senyum kecilnya. "Hei, dengar... Dia adalah keturunan kita... Otomatis kau juga akan menurunkan kemampuan nya padanya.. Tak perlu khawatir... Dia bisa menjaga diri..." kata Felix dengan santai membuat Neko tambah terdiam khawatir.
"(Lupakan itu... Dia benar benar membawa hal ini ke dalam kesantainan nya...)"
--
Hari selanjutnya di sekolah, Hwa keluar dari kelas 4A dengan membawa buku gambar di tangannya. Lalu ada seorang wanita datang. "Hwa..." panggilnya, membuat Hwa menoleh. Siapa lagi jika bukan Nona Lin.
"Hwa, apa kemarin kau mencariku? Maaf aku sedang pulang kemarin."
"Tak apa, Nona Lim, aku mengerti," balas Hwa. Mendengar itu, wanita itu menjadi terkejut.
"(Astaga... Aku tak sabar mendengar jawaban iya dari Hwa...) Em... Jadi... Kenapa kau kemarin memanggilku, Hwa?"
"Aku hanya ingin tahu, apa waktunya masih banyak, karena aku masih harus berpikir untuk ikut kontes nya atau tidak...?"
Seketika Nona Lin kecewa. "Haiz... Apa kau benar benar niat Hwa? Aku sudah mencoba meyakinkan mu..."
"Aku hanya... Sedang mencobanya."
"Benarkah? (Apa lelaki kecil ini sedang main-main... Menggambar bukan sesuatu yang mudah... Apalagi dia main main soal menerima kontes itu... Aku geram ingin memaksanya ikut...)" Nona Lin terdiam berpikir dan melihat buku gambar yang ada di tangan Hwa.
"Oh itu... Bisa aku melihatnya, Hwa?" dia menatap.
"...Maafkan aku, Nona Lin, tapi ini... Aku sangat malu untuk menunjukkannya."
"Ada apa, Hwa? Tak apa-apa... Bisa kau tunjukkan padaku? Aku tak akan marah. (Siapa tahu aku bisa curi curi gambarnya agar di kirim diam diam di kontes...)" Lin berlutut menatap. Lalu Hwa memberikannya dengan ragu.
Nona Lin membukanya dan seketika dia sungguh terkejut karena di lembar pertama adalah sebuah gambar arsiran pensil berbentuk bunga yang sangat cantik, dan di lembar kedua, wajah seorang wanita yang sangat cantik. "(I... Ini sangat banyak... Dari mana dia mendapatkan imajinasi seperti ini... Gambarnya terlihat sangat nyata!! Sudah kuduga kan... Dia memang berbakat...)"
"Nona Lin... Aku harus pulang sekarang," kata Hwa dengan polos.
"O... Oh ini, maafkan aku. Semoga selamat sampai tujuan," kata Nona Lin sambil memberikan buku gambar Hwa.
"Terima kasih, aku pergi dulu," Hwa membungkukkan badan lalu berjalan pergi.
Setelah Hwa pergi, Nona Lin segera mengambil ponselnya. "Kemarin aku menawari Ayahnya, lebih baik sekarang aku menawari Ibunya saja untuk Hwa masuk ke kompetisi melukis."
Sementara itu Neko mengangkat teh hangat di gelas meja dapur. Ia lalu melihat jam dinding.
"(Kenapa Hwa belum pulang?)"
Lalu ponselnya berbunyi di meja, ia berjalan pelan mengambilnya.
"Halo... Apa benar ini orang tua Hwa?" tanya orang itu yang rupanya Nona Lin.
". . .Ya... Apa Hwa ada masalah?"
"Tidak ada, di sini Hwa memiliki keterampilan yang sangat bagus dalam menggambar apa dia bisa saya masukan ke kelas menggambar bersama yang lain nya?"
"(Hwa... Bukan kah ini sudah kesekian kalinya guru menawari hal itu?)" Neko terdiam sebentar.
Di sisi lain Hwa berjalan pulang di gerbang, ia lalu menoleh belum di jemput oleh siapapun. Dan ia juga melihat slaah satu teman nya di jemput oleh ayah nya.
"Ayah..." dia berlari mendekat lalu ayahnya menggendongnya dengan penuh kasih sayang. Hal itu membuat Hwa terdiam melihat mereka.
"(Aku tahu.... Aku harus menunggu untuk hal itu.... Selama 10 tahun aku baru bisa berpikir seperti ini... Kenapa Ayah tak pernah melakukan itu padaku... Atau aku hanya lupa saja karena masih kecil dulu... Ibu yang sangat sayang kepadaku... Dia selalu tersenyum setiap hari,)" Hwa menatap langit dengan bibir yang datar.
Lalu ada sebuah mobil berhenti di pinggir jalan dekatnya. Hwa awalnya terdiam lalu terkejut tak percaya ketika yang keluar adalah Felix.
"Ayah...."
Felix berjalan mendekat dengan senyuman kecil padanya.
"Ayah... Apa Ayah benar benar datang menjemput ku lagi?" Hwa mendekat dengan senang. Lalu Felix mengelus kepalanya. "Kau menginginkan ini bukan, sekarang kau sudah mendapatkan nya," kata Felix.
"Tapi... Apa Ayah akan menjemput lagi nanti?" Hwa menatap.
"Tentu saja... Tak hanya menjemput, mari lakukan hal yang baik..." tatapnya seketika Hwa senang.