Malamnya semuanya tampak terlihat normal, di kamar mereka berdua.
"Ah tunggu," Neko mendorong Felix yang mendekat padanya di ranjang. Mereka saat ini ada di hotel, mereka pergi ke sana setelah makan di restoran tadi.
"Kenapa? Bukankah kita sudah sepakat membuat bayi lagi jika kau siap? Sekarang siap kan," tatap Felix.
Lalu Neko menalan ludah dan memegang kedua pipi Felix mendorongnya mendekat dan mencium bibirnya.
"Jangan terlalu lama, atau Hwa akan menangis karena menunggu adiknya," kata Neko.
"Oh akan kupastikan satu minggu kelar," balas Felix. Ia mencium dalam Neko, mereka memancing gairah masing masing dengan ciuman dalam yang menggoda.
Sementara Hwa yang ada di ranjang nya di kamar tertidur, ia terbangun sambil mengusap matanya di kamar yang gelap.
Ia memegang perutnya. "Kenapa lapar lagi? Padahal tadi sudah makan..." ia heran lalu dengan rasa ngantuk keluar dari kamar dan tak lupa melihat ke arah kamar kedua orang tuanya.
"(Ayah dan Ibu pasti sudah tidur... Aku tak mau mengganggu...)" ia langsung berjalan ke dapur. Padahal Neko dan Felix sedang bercinta dengan hangat di dalam.
Hwa berjalan ke dapur, tapi tak ada orang untuk dimintai tolong, di dapur juga tidak ada makanan untuk di siapkan. "Ugh... Lapar..."
Kebetulan sekali Syung ha akan pulang, dia tak sengaja melihat ke Hwa. "Eh Tuan kecil?"
Hwa langsung menoleh dan senang. "Syung ha, aku ingin meminta tolong... Aku lapar..." tatapnya.
Lalu Syung ha tersenyum dan mengangguk. "Ini tak apa... Mari aku buatkan makan malam..." untung nya ada Syung ha yang belum pulang sehingga Hwa bisa mengatasi rasa lapar di malam hari.
--
2 hari kemudian Neko keluar dari kamar mandi membawa alat pengecek kehamilan. Dia terdiam ketika melihat hasilnya. "(Ha, ini merepotkan,)" dia menghela napas panjang seperti putus asa.
"(Bagaimana bisa ini menjadi sebuah kenyataan besar untuk ku, padahal aku sama sekali tak mempedulikan ini... Aku bahkan belum sempurna untuk berada di sisi Hwa.)"
Tiba tiba Felix membuka pintu membuatnya terkejut.
Felix melihat alat itu masih di tangan Neko, dia mendekat dan mengambilnya.
"Apa yang?!" Neko menjadi panik.
Felix melihat bahwa ada dua garis di sana yang artinya Neko hamil.
"Ha... Ini tidak bercanda bukan, kau benar benar hebat dalam ini," Felix menatap sambil tersenyum senang.
"Aku tidak menduga akan secepat ini..." Neko membuang wajahnya.
"Tak apa, aku lebih suka banyak bayi yang ada di sini," kata Felix seketika Neko menjadi memerah.
Mereka berdua akan memiliki keturunan lagi.
"Lihat saja aku akan melihat bayi lelaki di sini," Felix memegang perut Neko yang masih kecil.
"Kenapa kau terus saja berkata lelaki, apa yang terjadi dengan perempuan?"
"Perempuan boleh saja tapi itu mungkin akan menyaingi kecantikan mu."
"Bisakah kau tidak membuatku seperti ini... Kau mulai membuatku gila dengan perkataan mu," Neko menatap tipis.
"Kalau begitu ingatlah apa kau bilang dalam salju itu, kau masih memikirkan lelaki itu," kata Felix lalu Neko terdiam membuang wajah.
Felix menunggunya lalu dia menarik tangan Neko untuk duduk di sofa dan dia berlutut memegang tangan Neko.
"Aku sudah membuatkanmu sebuah kebahagian kecil dengan munculnya Hwa di sini, aku juga telah membuatmu hidup hingga sekarang, aku juga telah membuatmu menyukaiku... Balasan mu padaku adalah... Lupakan lelaki itu," kata Felix. Lalu Neko menjadi khawatir dan menghela napas panjang.
"Baiklah... Aku akan melupakan nya."
"Bagus, fokuslah pada kehidupan ini sekarang," Felix mendekat dan mencium kening Neko.
--
Terlihat Kim membersihkan meja kantor Felix. Ia menata setiap dokumen di rak dan merapikan kertas di meja. Sebelumnya ia melihat sebuah bingkai foto di meja Felix. Bingkai itu berisi foto Felix, Neko dan juga Hwa. Kim menjadi tersenyum kecil sendiri.
"(Mereka tampak bahagia yah,)" pikirnya.
Tapi tiba tiba Felix membuka pintu membuat Kim terkejut segera berdiri menjauh dari meja.
"Di mana dokumen nya?" tatap Felix.
"E.... Ada di sini," Kim mengambil satu dokumen di rak lalu memberikan nya pada Felix. Felix menerima itu dan duduk di kursinya. "Kau bisa pergi," kata dia pada Kim. Lalu Kim menundukan badan dan berjalan pergi.
Felix membuka dokumen itu dan kembali menggarap nya. Tapi ia tak sengaja memikirkan wanita yang ia temui di jembatan itu, hal itu membuatnya menggeleng cepat. "(Sialan,)" sambil memegang kepalanya.
Lalu ponsel Felix berbunyi, ia berdiri sambil mengangkatnya. "Ya, ini aku," kata dia di ponsel. Lalu berjalan dan duduk di sofa kantornya. "Itu akan ku masukan di dokumen pertama," kata Felix sambil masih berbicara di ponsel sambil duduk di sofa kantor.
Lalu di sisi lain, Hwa terlihat berjalan masuk setelah di antar Acheline dari sekolahnya dan melihat nya dari tempatnya.
"(Apa ayah sedang menghubungi seseorang?)" dia mendekat perlahan.
"Ayah..." dia menyentuh bahu Felix dan mendekat.
Lalu Felix menoleh. "Ada apa Hwa... Kau sudah selesai mengetahui semuanya?" tatap Felix.
"Haiz apa maksud Ayah, aku tidak mungkin mendengar pembicaraan Ayah."
"Kalau begitu lain kali ketuklah pintu," kata Felix.
"Maaf ayah, kupikir Ayah tahu aku masuk."
"Tak apa, ngomong ngomong kenapa kau ada di sini?" Felix menatap mendekat.
"Um... Apa aku akan punya adik?" Hwa menatap seketika Felix terdiam.
"Siapa yang mengatakan itu?"
"Um... Acheline yang mengatakan itu," balas Hwa. Seketika wajah Felix menjadi dingin lalu menghela napas panjang.
"Ada apa, apa kau ingin seorang adik? (Rencana nya ingin aku jadikan kejutan hingga bayi nya lahir, tapi mau bagaimana lagi, Acheline benar benar merepotkan jika harus begini...)"
"Ya, aku sangat ingin punya adik," kata Hwa dengan semangat. Lalu Felix mengelus kepala putranya itu.
"Baiklah, tunggu saja sampai Ayah dan Ibu membuat adik untuk mu."
"Beneran? Ayah akan membuat adik untuk ku? Aku Sangat tak sabar menunggu adikku lahir... Apa Ayah juga begitu?"
"Yah... Perasaanku sama denganmu," balas Felix.
"Oh benar, aku hanya bertanya tanya, sebenarnya kenapa Ayah sangat sibuk, apa Ayah tak ada waktu untuk menemani ibu?" tanya Hwa. Di saat itu juga Felix terdiam.
"(Di mata orang lain memang lah benar di mulut Amai, dia benar, aku sangat sibuk.... Apa yang harus aku lakukan untuk menutupi kesibukan ku?)"
"Ayah?" tatap Hwa dengan bingung karena Felix terdiam.
"Hwa... Jauh sebelum kau lahir, kau tidak mengetahui tentang perkataan mu itu."
"Oh, jadi Ayah sudah bersama dengan ibu... Apa ibu baik, apa ibu juga bersikap lembut?"
"Jika sekarang dia bersikap baik itu berarti awalnya dia bersikap buruk."
Lalu Hwa yang mendengar itu menjadi terdiam. "(Ayah mengatakan ibu dulu buruk, memangnya buruk seperti apa... Yang ku lihat hanyalah senyuman lembut itu dan selalu berpesan padaku juga untuk menjadi lelaki yang baik. Aku memang tak tahu pasti pekerjaan Ayah tapi aku benar benar tahu pasti kenapa ayah menjadi sibuk. Dia tak mau menyakiti lebih tubuh ibu hanya untuknya,)" pikir Hwa.
"Hwa... Kau mendengarkan bukan?" Felix menatap serius.
"Ya, aku sudah tahu itu, Ayah," Hwa mengangguk. Wajahnya benar benar tak menunjukan kepolosannya sama sekali.
"Bagus jika kau mengerti itu."
"Tapi Ayah, bisakah aku bertanya sesuatu lagi?" tatap Hwa.
"Ajukan."
"Um... Apa ayah memang benar benar seorang gangster?" tatap nya dengan ragu. Seketika mata Felix menjadi lebar, ia terdiam mengira putranya sudah tahu bahwa dia sangat kejam dalam dunia mafia.
"Dari mana kau mendengar kata itu?"
"Teman teman ku yang bicara, saat aku menceritakan Ayah memiliki tato, mereka langsung menganggap Ayah mengerikan apalagi saat Ayah menjemputku, mereka bercerita takut pada tubuh Ayah yang besar."
"Haiz... (Terlalu,)" Felix menjadi putus asa dengan perkataan itu.
"Ta... Tapi jangan khawatir Ayah, aku tetap suka Ayah, Ayah tidak mengerikan sama sekali... Aku tidak menganggap Ayah adalah sebuah kejahatan," kata Hwa dengan senyumnya. Seketika Felix tersenyum kecil, ia kembali membelai kepala putranya. "Itu bagus, itu baru putra Ayah," kata Felix.
"Hehe terima kasih Ayah, bagaimana pun juga Ayah adalah Ayah ku, dan aku sangat bangga memiliki Ayah seperti mu," tambah Hwa.
"(Itu adalah kalimat terbaik yang belum pernah aku dengar sebelumnya, lelaki kecil ini tahu bagaimana menyalakan suasana,)" pikir Felix.
Lalu Hwa menoleh ke sekitar. "Ayah, bisa aku mengatakan sesuatu?"
"Tentu."
"Apakah sudah ada 10 tahun untuk ku datang kemari, ke kantor Ayah, melihat Ayah setiap hari meskipun aku tidak ada niatan mengganggu," kata Hwa sambil melihat sekitar kantor Felix yang luas itu.
Lalu Felix terdiam, ia berdiri dan berjalan ke mejanya sendiri mengambil bingkai kecil yang berisi ia, Neko dan juga Hwa. "Ketika kau dewasa nanti, Ayah ingin mendengar kau berkata. 'Aku akan memulai apa yang harus aku citakan' Di saat itu juga kau akan mengerti sudah berapa lama kau hidup bersama dengan kedua orang tua mu."
Lalu Hwa terdiam mendengar itu, ia lalu mengepak tangan. "(Aku ingin memulainya dari sekarang, aku juga ingin melihat Ayah dan ibu masih ada saat aku dewasa nanti,)" pikirnya sambil menundukan wajah.
Felix meletakan kembali bingkai nya dan mengambil dokumen di mejanya. "Karena kau di sini, bisa kau bantu Ayah," Felix memberikan sebuah dokumen pada Hwa yang kebingungan.
"Bawa ini ke ruangan di sebelah, akan ada orang menerimanya... Kau bisa bukan? (Meskipun aku tahu Hwa masih berumur kecil tapi aku memberikan tugas mudah ini untuk melihat seberapa dia mendengarkan ku,)" pikir Felix.
"Baiklah Ayah... Aku akan pergi," balas Hwa. Lalu dia berjalan keluar.
"(Amai memiliki pemikiran yang tidak akan bisa di ucapkan, jika Hwa adalah putra nya pastinya dia akan mewarisi kemampuan Amai, tapi aku masih belum yakin,)" pikir Felix dengan serius.
Lalu tak lama kemudian ponselnya berbunyi, ia melihat itu dari neko lalu mengangkatnya.
"Di mana Hwa? Apa dia di sana?" tanya Neko yang langsung bicara.
"Jangan khawatir, dia tengah bermain di sini, lagi pula kenapa kau bertanya soal dia saja... Bagaimana dengan ku?" kata Felix.
"Haiz... Terserah, terserah saja kau mau membawa pulang Hwa kapan, aku akan menunggu di waktu makan malam nanti."
"Kau memasak apa lagi nanti malam?"
"(Kenapa kita jadi basa basi?) Jika kau rindu aku, pulanglah sekarang dari pada basa basi tidak jelas di telepon," kata Neko yang langsung menutup ponselnya membuat Felix terdiam dengan senyum kecilnya.
"(Gadis itu tahu aku sedang ingin bicara dengan nya, karena itulah aku basa basi bicara hal lain.)"