"Hwa," panggil seorang wanita yang mendekat pada Hwa yang ada di dekat mesin penjual minuman di sekolahnya, Hwa meminum susu kotak sambil bersender di dinding, ia menoleh ketika ada yang memanggil.
Seketika ia menjadi tegak berdiri dan membungkukan badan. "Pagi Nona Lin," sapa Hwa dengan sopan.
"(Oh sangat sopan...) Hwa, apa kau benar benar tidak mau bergabung dalam kontes menggambar itu, gambaran milikmu sangatlah bagus."
"Maaf Nona Lin, keputusan ku adalah keputusan orang tuaku, dan keputusan orang tuaku adalah keputusan ku juga, lagi pula aku memiliki bakat itu juga tidak mengerti aku mulai dari mana... Dari awal aku tak punya niat memiliki bakat seperti ini," balas Hwa.
"Apa? Lalu apa cita cita mu Hwa?" tatap wanita itu dengan tak percaya apa yang di katakan Hwa.
Lalu Hwa tersenyum kecil. "Aku tidak tahu, yang pasti aku bisa menjadi seorang yang kuat untuk melindungi ibu ku."
Mendengar itu, wanita itu menjadi terdiam dan menghela napas panjang dengan senyumnya. "(Aku tahu, prioritas lelaki kecil ini adalah masa depan.)"
"Kau memang lelaki yang baik, tetaplah tumbuh Hwa, kalau begitu aku pergi dulu," tambahnya, ia lalu berjalan pergi meninggalkan Hwa.
Hwa terdiam dan kembali bersender di dinding meminum kotak susu nya.
"(. . . Aku sebenarnya tidak tahu apa yang harus aku lakukan untuk jadi lelaki yang kuat, aku ingin melindungi ibu dan mempertahankan senyumnya, karena aku tahu, ibu dan ayah adalah pasangan yang sempurna,)" Hwa menjadi tersenyum sendiri.
---
"(Justru aku malah lebih tertarik pada seni bela diri maupun mempertahankan diri sendiri, semenjak tadi itu, Nona Lin terus saja menggangguku....)" pikir Hwa dengan serius sambil merenung di bangku kelasnya.
"(Tak terasa sudah ada beberapa hari aku selalu memikirkan hal yang sungguh mengganggu akhir-akhir ini,)" ia tampak masih diam hingga ada yang memanggilnya.
"Hwa," panggilan itu membuat Hwa menoleh, rupanya itu adalah Nona Lin lagi.
Hal itu membuat Hwa harus menghela napas panjang karena sudah terlalu bosan menghadapi guru wanita satu itu.
"Hwa, lihat, aku mendapatkan promosi perlombaan di sini," dia memberikan selembaran kertas dengan bersemangat, mendekat sambil berlutut mencoba membujuk Hwa yang hanya terdiam.
"Nona Lin, apa yang sudah kita bahas sebelumnya?" Hwa tampak kesal.
"Hwa, aku mohon, jika kau bergabung dalam perlombaan seni, kau akan memiliki banyak peluang untuk menggali lebih banyak jati dirimu sendiri. Kau tahu kan banyak orang yang sama sekali tak bisa menggambar dengan baik sepertimu," kata Nona Lin dengan memohon, tapi Hwa tetap terdiam.
"Hwa, promosi ini bilang jika kau mengikuti lombanya dan menang, kau bisa memiliki kesempatan masuk ke dalam perguruan seni. Tak hanya satu cabang, tapi juga banyak cabang seni, seperti seni digital, modern, klasik bahkan desain. Aku mohon, Hwa, kemampuanmu ini sangat berharga," Nona Lin menambah permintaannya.
Hwa menghela napas panjang. "(Jika aku tidak menerimanya, mungkin dia akan sungguh sangat kecewa. Tak hanya itu, dia pasti juga akan masih selalu menggangguku dengan hal seperti ini... Padahal aku tak berharap lahir dengan kemampuan ini...) Kalau begitu... Aku pikirkan dulu..." kata Hwa yang pasrah, lalu Nona Lin tersenyum dan berdiri.
"Baiklah, Hwa, aku akan menunggu jawabanmu yang menyetujui itu, ya," dengan senang dia berjalan pergi, dan Hwa bisa kembali tenang dan membuka sebuah buku yang harus dia baca di kelas.
"Benar-benar aneh..."
Tak lama kemudian, Hwa keluar dari sekolahnya dan melihat mobil Felix yang terparkir. Felix keluar dari kursi pengemudi.
"Ayah," Hwa langsung bersemangat mendekat.
"Bagaimana sekolahmu?" Felix menerima Hwa dengan baik.
"Um..." ketika ditanya begitu, Hwa ragu menjawab apa yang membuat Felix terdiam bingung.
Namun ada yang memanggil, "Tuan Park!!" ternyata itu Nona Lin lagi, membuat Felix menoleh, tetapi Hwa malah memasang wajah kesal lagi.
Felix terdiam menatap wanita itu yang mendekat.
"Siapa kau?" tatap Felix.
"Ah, kupikir Anda sudah tahu, aku Lin, wali kelas sekaligus guru seni di sekolah anak Anda ini," Nona Lin mengulurkan tangan, tapi Felix tidak langsung menerimanya.
Setelah beberapa saat, akhirnya ia menerima uluran tangan Nona Lin. "Ada apa? Mengenai putraku?"
"Ya, benar sekali..." Nona Lin langsung semangat.
Namun Hwa memegang tangan Felix. "Ayah, ayo pergi..." dia menatap khawatir membuat Felix bingung pada situasinya.
"Tunggulah sebentar lagi, Tuan Park. Sebenarnya putra Anda harus masuk ke dalam perlombaan menggambar sekaligus seni lukisan. Aku tahu dia punya bakat luar biasa, karena Hwa ragu, aku ingin meminta Anda untuk memberikannya semangat..."
Felix yang mendengar itu menjadi tersenyum kecil dan masih menggandeng tangan Hwa yang kecil, lalu menjawab, "Bagus sekali jika Hwa suka pada seni," tatapnya.
"Ah, benar kan, apa aku bilang," Nona Lin senang.
Namun Felix menyela, "Tapi, apakah kau yakin bahwa dia tertarik pada seni?" tanyanya seketika membuat Nona Lin terdiam dan langsung menatap ke arah Hwa.
Lalu Hwa mengatakan sesuatu dengan ragu, "Aku... tak pernah suka seni... Aku lebih suka mempelajari hukum," tatapnya, seketika membuat Nona Lin terdiam lagi.
"Hwa lebih tertarik pada hukum. Dia akan aku masukkan ke sekolah hukum. Untuk urusan menggambar, seharusnya itu tidak mengganggu, dia hanya akan menjadikannya sebagai waktu luang."
"Hukum? Tapi... lelaki sekecil itu..." Nona Lin meragukannya.
Hwa yang mendengar itu menjadi meremas tangan ayahnya karena kesal, lalu mengatakan sesuatu, "Aku ingin membantu Ayah menyelesaikan urusan bisnis yang ilegal dan selalu bersikap seimbang di mata keluarga!!" tatapnya dengan penuh tekad.
"E... apa?" Nona Lin benar-benar masih tak percaya.
"Kau sudah dengar sendiri, jadi sampai jumpa," Felix membawa Hwa pergi.
"(Tunggu... apa situasinya?!)" Nona Lin masih tidak mengerti.
Setelah itu di dalam mobil, Hwa masih merenung di samping Felix yang mengemudi. "Hei, jangan jadi seperti Ibumu, kau harus ceria," tatap Felix mencoba menghibur Hwa yang kemudian menatap padanya.
"haiz, Ayah... aku masih kecil kenapa aku bisa di hadapkan hal begitu?"
"Karena kau putra Park, putra dari Amai Akai juga... Suatu saat kau akan menjadi sosok yang melebihi kemampuan kedua orang tuamu, memilikimu adalah hal yang paling bahagia untuk kami Hwa, jadi tak perlu khawatir kau bimbang pada pilihan mu sendiri. Umurmu masih panjang, kau bisa memilih lebih baik," Felix memang pandai dalam menenangkan membuat Hwa tampak tenang dan mengangguk senang.
"Ya, kalau begitu, aku akan menjadi apapun saat orang lain memintanya karena aku lebih suka jika mereka melihat ku berbeda beda, itu tak akan mengganggu pilihan hidup ku," dia mulai bertekad lalu Felix membelai kepalanya.
"Kau hebat..."
"Hehe, oh ya Ayah, ngomong ngomong bisakah aku belajar cara melindungi diriku? Aku ingin bisa bertarung," tatap Hwa.
Hal itu membuat Felix terdiam sebentar. "Bertarung? Kau masih terlalu kecil..."
"Tapi, aku ingin belajar...." Hwa menatap memelas.
Felix kembali terdiam dan berpikir sejenak. "(Aku tak tahu harus menjadikan nya sebagai apa nantinya... Cukup sulit mendidik nya di saat aku sendiri sibuk... Untung nya dia bukan tipe anak anak yang terlalu manja, antusiasme nya tinggi dalam bidang apapun itu... Tak apa kan jika aku mulai memberitahunya dunia pria? Amai tak akan kesal bukan?)" pikir Felix dengan merencanakan sesuatu.
Kemudian dia tidak membawa Hwa pulang melainkan dia parkirkan mobil nya di tempat kantornya dan itu membuat Hwa bingung.
"Ayah? Kenapa kita tidak pulang?"
"Kau bilang ingin belajar sesuatu," tatap Felix sambil mengunci mobilnya dan berjalan duluan. "Biar ku tunjukan sesuatu..."
Dengan diam, Hwa berjalan mengikutinya juga hingga mereka bertemu dengan Kim.
"Ah, Tuan Felix selamat sore..." dia menyapa dan menatap ramah pada Hwa juga.
Lalu Felix menatap ke Hwa. "Hwa, kedepan nya, kau mungkin bisa meminta Kim mencarikan seseorang yang dapat mengajarkan mu cara bertahan hidup dengan bela diri yang baik..." kata Felix.
Seketika Kim terkejut mendengar itu. "(Eh, apa dia mencoba meminta ku untuk mencari orang yang bisa bela diri? Tunggu!! Tuan Kecil, ingin bela diri?!)" Kim tampak tak percaya.
Sementara itu di sisi Neko, dia menutup sebuah kotak putih berisi banyak kantong asi, dia juga menghela napas panjang. "Astaga... Aku benar benar lelah...."
Lalu Syung ha datang dan mendekat. "Apakah anda sudah selesai memompa asinya?"
"Ya, kirimkan ke rumah sakit..." Neko mendorong kotak itu lalu Syung ha menerimanya.
"Ini benar benar hebat bukan Nona, anda memproduksi asi sangat banyak bahkan ketika Tuan Kecil sudah tidak menyusu, kualitas asi anda juga baik. Aku sampai di puji puji pada pihak rumah sakit karena kualitas asi anda... Mereka sangat senang menerima donasi asi anda..." tambah Syung ha. Rupanya Neko masih memproduksi asi dan menyumbangkan nya untuk rumah sakit karena asinya terus saja keluar.
"Haiz.... Aku tak suka jika harus memompa nya setiap saat...." Neko tampak mengeluh.
"Jika anda tak ingin memompa, anda akan kesakitan... Aku pikir itu sudah di hisap Tuan Felix malam malam..." Syung ha menatap menggoda.
Seketika Neko terkejut. "Apa yang kau bicarakan! Berani sekali!!" Neko tampak murka seketika Syung ha mengambil kotak itu.
"Aku... Aku pergi dulu....!" dengan panik melarikan diri.
"Cih...." Neko membuang wajah dengan kesal lalu mengambil buku dan membacanya untuk mengisi waktu kosong nya. Tapi ia juga berpikir sesuatu. "(Tapi... Jika aku terus memproduksi asi dengan jumlah banyak... Itu akan terus menggangguku, apalagi jumlah yang aku donasikan sudah sangat banyak... Pria itu (Felix) melarang ku untuk tidak menyumbangkan ke rumah sakit lagi, mereka akan ke enakan tapi sebaliknya dia malah mengatakan akan meminum semua asi ku, tapi bukankah dia terlalu sibuk... Hanya satu pilihan lain yang tepat.... Bayi lagi...)" pikirnya sambil berwajah merah. Di sini sudah di ketahui bahwa Neko sudah menerima kesepakatan akan membuat bayi lagi.
"(Aku harap... Ini pilihan yang tepat...)" pikirnya sekali lagi sambil memegang buah dadanya dengan khawatir.