Hari selanjutnya, Kim memakai pakaian pelayannya. Ia melihat di tempat pelayanan bar dalam. Dia terus saja melihat banyak orang berlalu lalang dan menatapnya dengan tertawa sambil mengejeknya.
"Hei, pelayan.... Haha..."
"Itu cocok untukmu haha..."
"Sialan kalian," Kim mengepal tangan.
"(Ini benar-benar menjengkelkan.... Aku tak bisa melakukan ini...)" dia hampir putus asa.
Lalu dia melihat ada meja pengiriman makanan dengan wanita paruh baya yang mengatur sekaligus memasak di sana.
"Bibi," Kim memanggil, lalu wanita paruh baya yang ada di sana mendekat.
"Aku diminta ke sini membawa sesuatu untuk mereka," kata Kim, lalu wanita itu memberinya tiga gelas dan apel sesuai permintaan Neko kemarin.
Kim menjadi terdiam bingung. "(Aku belum bilang apa-apa pada bibi ini, kenapa dia tahu permintaan yang belum kukatakan?) E, Bibi.... Bagaimana bisa?" Kim menatap.
". . . Hoho, Nona Neko selalu memakan apel di sini... Jadi, tak perlu bilang," balas bibi itu lalu berjalan pergi, membuat Kim masih terdiam. Ia juga bingung karena apel itu memang tiga, tetapi yang berwarna merah hanya satu; sisanya hijau.
Di tempat lain, tepatnya di ruangan penembakan. Neko sudah duduk di dekat sana di kursi khusus dengan meja.
Di ruangan itu hanyalah hitam dan lapangan penembakan yang masih sepi.
Neko hanya menatap ke bukunya dengan tatapan datar dan biasa, dan di belakangnya berdiri Jun.
Ruangan itu nampak sepi karena tempat itu hanya khusus untuk mereka yang diizinkan, dan itu termasuk milik Neko sendiri.
Sembari membalik lembaran buku, ia melirik ke segala arah. "(Apa yang mau aku jadikan objek pengajaran nantinya? Mungkin aku harus memberitahunya dengan cepat agar dia langsung bisa menguasai hal ini, jika tidak... Dia hanya akan menjadi sesuatu yang tidak berguna dan keras kepala yang buruk,)" ia berpikir sambil menyangga dagu.
Lalu Kim kebetulan membuka pintu. Dia datang dan meletakkan pesanan tadi di meja Neko yang menengadah menatapnya.
"Terlambat dua menit, apa kau lupa di mana tempat ruang penembakan ini?" tatap Neko dengan dingin sambil menutup buku yang ia baca tadi.
"Aku... Sudah kemari secepat mungkin," Kim membalas dengan tatapan membosankan. Lalu Neko mengambil satu gelas dan memberikannya pada Kim yang bingung.
"Habiskan ini untukku."
"E... Tidak, aku tadi... Sudah minum sangat banyak di sana."
"Kau ingin meminumnya atau tidak?" Neko menyela, lalu Kim mengambilnya dan meminumnya, perlahan menghabiskannya.
Setelah itu, gelas terlihat kosong.
Neko merebut gelas kosong itu tiba-tiba lalu meletakkannya di bawahnya. Gelas itu sekarang berdiri di bawah Neko yang masih duduk di kursinya.
"Apa kau bisa fokus menatap gelas ini?" tatap Neko. Lalu Kim mengangguk.
"Kau bisa menghancurkannya dengan tanganmu, jika bisa lakukanlah."
"(Apa dia mencoba mengujiku?) Aku tidak bisa, jika aku menghancurkannya dengan tanganku, tanganku akan terluka."
"Kenapa harus khawatir, bukankah ada paramedis di sini? Hidupmu tak akan terjamin mati hanya karena tanganmu terluka, ku pikir kau sudah mempelajari fasilitas yang ada di sini," tatap Neko.
Lalu Kim terdiam dan membungkuk akan mengambil gelas itu, tapi tiba-tiba tangan Kim terinjak Neko, membuatnya terlutut dan tertekan tangannya, hal itu membuatnya terkejut kesakitan.
Neko mulai menginjak tangan Kim dengan keras. Kakinya juga memakai sepatu agak berhigh heels pendek, membuat tambah sakit dia menginjak Kim.
"Kau lebih memilih babak belur daripada berdarah, ini yang kau minta, kau pikir aku sedang menguji kepintaranmu," kata Neko melepas tangan Kim yang kesakitan.
Kim masih kesakitan memegang tangannya yang terluka, bahkan sampai merah gelap. "(Sialan, ternyata benar, dia sedang mengujiku, tak hanya mempermainkan ku dari awal, rupanya di pertengahan dia ingin mengujiku, ini menyakiti ku, tapi aku yakin dia sengaja melakukan yang terbaik untuk ku meskipun ini menjengkelkan.)"
Neko masih terdiam dingin menatap, lalu ia memberikan pistol pada Kim.
"Pakai tanganmu itu, bidik kertas itu," tunjuk Neko di papan tembakan yang sudah ada di jarak bermeter jauhnya.
"(Sial... Dia benar-benar menghancurkan tulang jariku, untung nya ini bisa sembuh nantinya, dia juga tak sungguh sungguh melakukan nya,)" Kim hanya bisa menahan sakit di tangannya, lalu berdiri menyesuaikan posisinya untuk menembak, tapi karena tangannya yang kesakitan itu, bidikannya menjadi meleset. Di akhir peluru, ia menjatuhkan pistolnya sambil kesakitan pada tangannya.
Neko hanya terdiam dingin menatap itu, lalu ia mengambil gelas kosong tadi yang masih di bawahnya. Ia memegang dengan satu tangan dan tiba-tiba, ia memecahkannya dengan remasan tangan kanannya, membuat Kim terkejut. Pecahan itu menempel di tangannya, membuat tangannya terluka dan mencucurkan darah. Neko mengambil pistol pelatihan dan dengan cepat tanpa membidik langsung melempar peluru itu, terkena tepat di tengah kertas target itu.
Hal itu membuat Kim terkejut tak percaya. "(Dia.... Dia membidik dengan sangat tepat padahal tangannya benar-benar terluka parah. Dia tidak merasakan kesakitan sama sekali.)"
"Lemparkan apel itu di depanku," kata Neko.
Lalu Kim mengambil apel utuh itu. Tapi Neko berhenti. "Hei, jangan ambil yang merah, ambil yang hijau," tatap Neko, membuat Kim terdiam. Lalu ia mengambil apel yang hijau dan langsung melemparnya ke atas dengan cepat, apel itu hancur tertembak oleh Neko.
Dia meletakkan kembali pistol itu dan menatap Kim, ia menunjukkan tangannya yang terluka pada Kim.
"Jika kau ingin bersamaku nanti, saat kau melihat sesuatu yang terbuka dan merah di bagian tubuhku, segeralah ambil sesuatu untuk menutupinya," kata Neko.
Kim agak terdiam. Dia antara masih belum percaya dengan apa yang terjadi dan ia lihat, tapi ia menggeleng sadar dari hal itu, lalu melihat sekitar dan menemukan kain. Ia mengambilnya dan menutup tangan Neko yang berdarah itu.
"Apa kau sudah mengerti apa yang aku lakukan tadi?"
" . . . Kau tidak melakukan pembidikan karena kau sudah sangat hafal tempat di mana kertas itu. Hal itu membuatmu tak ragu membidik sama sekali," kata Kim.
Seketika Neko merubah wajahnya menjadi kesal.
"Kepintaranmu sama sekali belum terlihat, aku tak bisa melakukan ini. Kira-kira dalam penembakan, kau tak perlu menggunakan otak untuk mengatur target, tapi gunakan mata dari lirikan kanan dan kiri. Jika kau ingin tepat, sekarang kau hanya harus fokus pada kertas itu," Neko menunjuk, lalu Kim menatap kertas target itu.
"Kunci itu di matamu," kata Neko. Saat masih mengamati, Neko menarik kerah baju Kim dan mendekat ke wajahnya, membuat Kim terkejut.
"Sekarang..." Neko memberikan pistol, lalu Kim menoleh dan langsung menembak kertas itu. Siapa sangka itu mengenai target.
Neko tersenyum kecil lalu mengambil potongan apel mentah tadi yang sudah dikupas Jun tadi dan memakannya. Ia berjalan pergi dari sana sambil diikuti Jun, meninggalkan Kim yang masih di dalam.
"Aku... Melakukannya... Itu beneran?" Kim masih tak percaya.
"(Aku mengerti sekarang, jika target tak memiliki suara maka pasti memiliki tempat terbuka. Hanya target jarak jauhlah yang berisik karena mereka menyerang dengan suara pistol. Saat hal penyerangan itu terjadi, dia memanfaatkan pendengarannya untuk suara penguncian. Saat aku fokus tadi, dia mencoba menghancurkan fokusku dengan menarikku, tapi dia sangka hal itu membuatku bisa membidik dengan cepat... Siapa dia?)" Kim masih berpikir diam.
Tapi ponselnya berbunyi dari saku, membuatnya mengambil dan melihat siapa itu yang rupanya bertuliskan Chay, adiknya.
Dia lalu mengangkatnya dan Chay langsung bicara.
"Halo kakak, bagaimana kabarmu hari ini?"
"Ah, aku baik-baik saja, bagaimana denganmu? Kau sedang ada di kampus?"
"Ya, aku sedang berjalan ke kelas. Oh ya, hari ini aku ingin bilang bahwa akan ada ujian peningkatan, jadi, aku ingin meminta kakak mendoakanku agar aku bisa mendapatkan nilai yang baik ke depannya," kata Chay.
Lalu Kim tersenyum sambil mengangguk. "Ya, pasti akan aku lakukan...." Kim membalas.
"Terima kasih. Apa kakak ada di tempat kerja? Kakak sedang apa sekarang?" tanya Chay.
Kim terdiam sebentar melihat sekitar lalu kembali membalas. "Aku berlatih di sini."
"Wah, kakak berlatih fisik, pasti pulang-pulang langsung kuat."
"Apa maksudmu? Aku sudah kuat dari lahir... Aku sudah melindungimu hingga sebesar sekarang kan."
"Hehe, iya, iya... Kakak memang yang terbaik. Kalau begitu, aku pergi dulu," kata Chay.
"Ya, hati-hati dan semoga lulus ujian," Kim membalas, lalu panggilan tertutup dan dia kembali menyimpan ponselnya sambil menghela napas panjang.
"(Benar-benar sangat melegakan mendengarnya bisa ke kampus. Biayanya memang belum dimintai, tapi tetap saja harus dibayar segera....) Aku harap dia sama seperti yang lainnya, diperlakukan baik meskipun kita sama-sama tak memiliki orang tua...." Ia terdiam, lalu mengingat sesuatu yang membuatnya kesal. Pandangannya terhenti ketika melihat buku di meja dekat apel tadi. Tepatnya, buku yang dibaca Neko tadi.
Ia terdiam lalu mengambil buku itu yang berjudul sesuatu yakni: Kupu-Kupu yang Tidak Pernah Terbang.
"Apa maksudnya?" ia bingung lalu membuka lembarannya dan menemukan suatu kalimat:
"Seorang kupu-kupu yang memiliki sayap sobek dari lahir, mampu menjahit sayapnya sendiri dengan daun dan benang laba-laba. Laba-laba adalah kenalan tanpa terbangnya. Dia bisa melakukan sesuatu, bukan karena kemampuan dari lahir, tapi karena terpaksa."
"(Terpaksa? Apa maksudnya?)" Kim menjadi terdiam lalu kembali membaca hingga tak tahu bahwa ada yang datang.
"Hei, pelayan!!" panggil seseorang, membuat Kim terkejut dan langsung menoleh pada yang memanggil.
Rupanya beberapa orang penjaga maupun pengawal yang akan berlatih menembak. "Hei, kau, daripada diam saja, kau harus menembak." Mereka melemparkan pistol, membuat Kim menerimanya.
"Hei, apa yang kau lakukan? Dia pasti tidak bisa.... Wkwkwk," salah satu meremehkan, lalu mereka tertawa.
Kim menjadi kesal. Seketika, dia langsung mengarahkan pistolnya ke bagian agak jauh target papan. Alhasil, itu benar-benar mengenai target, membuat beberapa penjaga itu terkejut melihatnya.
Lalu Kim tersenyum sombong. "Ini yang namanya usaha.... Dari perkataan kalian yang tak berguna," tatapan yang lalu meletakkan pistol itu dan berjalan pergi sambil masih memegang buku tadi, sementara beberapa pengawal tadi masih terdiam tak percaya.