"(Aku pikir, mendekati gadis yang tinggal di jalanan kotor ini akan sangat mudah karena tubuhnya juga pasti akan ikut menjadi korban jalanan ini. Aku juga berpikir, dia telah melakukan banyak tidur bersama banyak lelaki, tapi saat aku menggali informasi lebih lanjut, rupanya gadis itu masih bersih dan juga perawan. Dia memang perawan, tapi sepertinya hatinya tak mau mengakui bahwa tubuhnya masih bersih. Aku tak tahu apa yang membuatnya tidak bisa menerima keadaan di luar sana, bukankah di luar sana bisa mempedulikan tubuh dan keperawanannya daripada harus tinggal di dalam jalanan yang kotor ini?)" Yohan berpikir diam di mejanya sambil melihat gelas kosong. Lalu Gremp datang lagi menatap.
"Yo, kawan, kenapa kau masih di sini saja? Apa gadis itu muntah lama atau tidur di kamar mandi?" tanyanya dengan nada agak bercanda.
"Aku tidak tahu pasti, tapi aku tidak bisa mengganggunya," Yohan membalas dengan wajah seriusnya.
"Baiklah, itu kemauanmu sendiri. Lagipula, apa kau sudah dengar berita ilegal dari kemarin?"
"Berita yang mana?"
"Sindikat Rusia itu... Dia sudah kembali kemari, pria besar, kejam, dan seorang penagih utang tanpa adanya gelar mafia. Dia murni penagih utang. Aku yakin, sebentar lagi gadis itu akan diincar," kata Gremp.
"(Kata-kata ini lagi... Aku sudah mendengarnya beberapa kali,)" Yohan mengepal tangan dengan erat di bawah meja, menandakan dia menyembunyikan kekesalannya. "Memangnya apa hubungannya Nuna dengan dia?" Yohan menatap.
"Gadis itu bukanlah gadis biasa... Sepertinya kau harus lebih tahu soal Amai Akai, maupun Luna, nak," kata Gremp.
Tapi di saat itu, Yohan terkejut mengingat nama asli Neko. "(Amai Akai?)" dia benar-benar berwajah terkejut dan kembali berpikir. "(Tunggu... Tunggu... Nama Amai Akai! Itu nama yang disebutkan oleh Tuan Park. Dia memintaku mencari gadis yang dicirikan olehnya. Jika bingung, dia juga memberitahuku bahwa namanya Amai Akai...!!)"
"Ada apa, Yohan?" Gremp menatap bingung melihat ekspresi tidak percaya Yohan.
"Ti... Tidak!" Yohan langsung menggeleng.
Tapi tiba-tiba ada suara keras dari kamar mandi. Hal itu membuat mereka terkejut dan langsung menoleh. Yohan tak melihat Neko keluar dari kamar mandi. "(Kemana Nuna? Apa jangan-jangan suara tadi, itu dia!!)" ia langsung berdiri dan berlari menyusul ke dalam.
Di dalam kamar mandi terlihat orang mengantri.
"(Kenapa ada banyak orang?)" Yohan mencoba melihat apa yang terjadi. Dan dia terkejut melihat Neko dipangku seseorang di bangku kamar mandi. Pria itu mencium pundak Neko dengan sangat dekat. Neko tampak bernapas panas dan memegang kedua pipi pria itu. Dia akan mendekatkan bibirnya ke leher pria itu.
"Gaaakkkhhh!!" Yohan langsung berteriak panik, membuat semuanya menoleh padanya, termasuk Neko.
"Yohan...." Neko menatap polos.
"Apa yang kau lakukan?" Yohan mendekat dengan wajah masih tak percaya.
"Aku haus... Aku baru saja memuntahkan semua minuman itu, jadi sekarang aku ingin darah..." kata Neko dengan wajah yang imutnya.
"(Ha... Dia memuntahkan minumannya... Astaga... Sepertinya aku harus mengawasinya dengan ketat lagi nantinya... Ini hanya mencium bau... Tapi tunggu, meskipun begitu, Nuna tetaplah gadis yang bersih, aku harus berusaha membawanya pergi.) Nuna, ayo pulang," Yohan mengulur tangan.
Neko lalu terdiam sebentar melihat uluran tangan itu, lalu membalas setuju. "Baiklah," dia akan menerima uluran tangan Yohan, tapi pria tadi menahan tangan Neko. "Hei kawan, kau harus mengantri... Aku baru mulai di sini. Bahkan aku baru saja menyentuhnya tadi, beri aku waktu, man," dia menatap dengan serius dan tak mengizinkan Yohan mengambil Neko.
"Apa kau orang pertama?" Yohan melirik.
"Tentu, aku melihat gadis ini sendirian mabuk di kamar mandi ini. Dia berteriak 'peluk aku', jadi aku melakukan ini," balas pria tersebut. Untungnya dia belum melakukan apa-apa pada Neko karena dia baru saja mulai.
"Apa maksudmu?! Kau pikir dia itu murahan! Dia harus dijaga!" Yohan menatap kesal.
"Ha, siapa peduli? Memangnya siapa kau? Aku tak akan memberikannya padamu sebelum aku selesai di sini," pria itu semakin memegang erat Neko, membuat Neko mulai terganggu juga.
"(Apa... Dia tak mau menyerahkan Nuna. Nuna juga sepertinya tak bisa melawan karena dia masih mabuk,)" Yohan menatap Neko yang terdiam.
"Haiz... Ehem...(Aku harus membuat Nuna membantuku agar dia bisa pergi.) Nuna, jika kau ikut denganku, aku akan—memberikan semuanya hingga kau puas, termasuk... yang kau inginkan," kata Yohan sambil menunjuk lehernya sendiri, bermaksud dia akan memberikan darah pada Neko.
"Sungguh?" Neko menatap dengan biasa karena wajahnya masih mabuk.
"Ya... sungguh."
"Bawa aku, Yohan..." Neko mendorong kepala pria tadi dan berdiri dari tubuhnya.
"Whoooaa..." Pria itu terkejut terdorong.
"Ya..." Yohan menggendong Neko di dada. Neko melingkarkan tangannya memeluk Yohan.
"Apa kau bercanda? Kau tak bisa pergi!" pria tadi protes.
"Tutuplah mulutmu, miliknya lebih enak," kata Neko sambil memeluk kepala Yohan.
"Hah... Nuna..." Yohan terkejut dan berwajah merah. Karena wajahnya bertabrakan dengan dada Neko yang empuk. "(Tapi perkataannya tadi... Apa dia sungguhan? Apakah darahku memang enak untuknya?)"
---
"Uh..." Neko menjadi gemetar di gendongan Yohan yang menaiki tangga apartemen. "Nuna, apa kau kedinginan?" Yohan menatap.
"Berikan aku..." Neko mendekatkan wajahnya dan mendadak mencium pipi Yohan yang terkejut.
"Nu-nuna!?"
"Antar aku tidur ung..." Neko memeluknya, dan dia malah tertidur begitu saja.
"(Huf... Dia imut saat seperti ini,)" Yohan menghela napas, lalu melanjutkan menaiki tangganya.
Setelah masuk, Yohan meletakkan Neko di ranjang, tapi Neko terus menahan kepala Yohan, sehingga kepala Yohan tak bisa ditarik. Dia harus terus merasakan empuknya dada Neko.
"(Menidurkan dia seperti ini rasanya sangat beruntung sekali, tapi... E... Aku terlalu banyak menerima ini... Mungkin aku coba berdiri,)" Yohan akan pergi tapi.
". . . ?" Yohan terdiam tak bisa membangunkan tubuhnya, hingga Neko menekan kepalanya di tidur, seketika Yohan tersentuh dada Neko.
"Oh ya ampun... (Ini sangat lembut, besar, dan begitu wangi...)" Yohan malah merasakan itu, hingga ia tak sadar bahwa dia memeluk Neko dan menekan wajahnya di dada Neko.
"(Ukuran ini sangat memuaskan... Sangat lembut dan begitu... Uh... Aku ingin menggigitnya...)" Yohan memikirkan dada Neko sebagai mochi yang lembut, membuatnya tertarik untuk menggigitnya.
Tapi ia tersadar. "(Astaga, apa yang aku pikirkan? Aku... Aku hampir saja berpikir aneh... Aku harus melepaskan tangan ini,)" Yohan masih dalam posisi yang sama. Lalu ia memegang lengan Neko untuk melepaskan pelukan kepala itu. Seketika, ia terkejut sendiri karena ketika dia menyentuh lengan Neko, ia merasakan kulit es yang sangat dingin.
"(Tubuhnya sedingin es.) Nuna, apa kau kedinginan?" Yohan menatap, tapi Neko hanya terdiam menutup mata. "(Dia benar-benar sedingin es. Apa tubuh gadis sepertinya memang sangat dingin? Apa yang harus aku lakukan... Selimut saja mungkin tidak cukup...)" ia panik, hingga ia terdiam kaku ketika pandangannya terhiasi oleh wajah Neko yang menawan ketika tidur pulas begitu. Seketika, dia menelan ludah.
"Nuna... Kamu tertidur dan tidak jadi meminum darahku... (Tapi yang harus aku khawatirkan, dia sedingin es. Aku harus melakukan cara... Ha... Naik saja lah,)" Yohan naik ke ranjang lalu memeluk Neko saat tidur.
Lengannya menjadi bantal untuk Neko. Yohan terus saja menatap wajah Neko yang tertidur pulas.
"(Bagaimana jika dia bisa membuat jantungku berdebar, tapi memang sejak pertama kali bertemu... Jantungku serasa berdebar rasanya. Apalagi memandang maupun berada di dekatnya...)"
"Umh...." Neko tiba-tiba menggerakkan kepalanya dan kembali diam tidur. Untuk sesaat, Yohan bisa melihat wajah manis Neko. "(Aku juga penasaran... Apa Nuna memiliki wajah yang sama ketika dia kehilangan jiwa mengerikannya? Aku juga memikirkan bagaimana dia menjalani kehidupan jika tak ada satu pun orang yang mau bersikap sepertiku... Aku juga agak bodoh karena baru pertama kali bekerja untuknya yang seharusnya cocoknya pada yang tahu segalanya... Dan apa aku benar-benar bisa menyentuhnya? Apakah ini tak apa... Kenapa aku bicara banyak sekali? Aku terlalu penasaran,)" Yohan menggerakkan tangan satunya untuk memegang pinggang Neko.
Neko yang tidur menghadapnya menjadi terdiam pulas.
"(Punggungnya sangat manis juga,)" Yohan mengelus pelan punggung Neko. Tapi belaianya menjadi diam meraba karena ia merasa ada sesuatu di kulit Neko.
"(Ini apa? Apa dia memiliki luka?)" dia semakin meraba. Rupanya, Yohan belum tahu bahwa Neko memiliki luka tato itu yang masih ada di punggungnya. Bekas luka yang tidak akan pernah hilang.
"(Apa ini... Kenapa aku sangat penasaran melihat ini, kenapa ini seperti sesuatu yang berbeda, apa ini bekas luka?)" Yohan terus meraba dan tak sadar bahwa jarinya yang besar dan keras itu membuat Neko seperti tertekan keras di punggung kecilnya.
"Ugh...." Neko membuka mata seketika, membuat Yohan terkejut.
"Nu... Nuna... Kau bangun... Maafkan aku!!" Yohan langsung bangun dan duduk, menundukkan badan pada Neko yang juga bangun dan duduk.
Neko menatapnya dengan lirikan. "Apa yang baru saja kau lakukan pada punggungku? Kenapa rasanya sangat sakit, huh?" Neko memegang punggungnya sendiri.
"Ah, maaf. Biarkan aku memijatnya," Yohan mendekat memegang punggung Neko, tapi ia terdiam dengan masih ada rasa penasaran.
"Jika kau tidak niat, aku pergi," Neko bangun dari ranjang.
"Tu... Tunggu, Nuna... Tidurlah lebih banyak, kau masih mabuk."
Neko tidak mempedulikannya dan berdiri keluar dari ranjang, meninggalkan Yohan yang bingung.
Neko terdiam menatap jendela sambil membelakangi Yohan. Jendela malam yang sangat gelap, dia lalu menghela napas panjang.
"Pergilah saja," kata Neko yang akan berjalan, namun tiba-tiba Yohan memeluk perut Neko dari belakang dan menariknya kembali ke kasur. Hal itu membuat Neko terpaku.
"Kau tidak bilang bahwa aku tak boleh menyentuhmu," Yohan menatap serius.
Seketika, Neko menatapnya dengan senyuman kecil. "Oh ya... Tunjukkan padaku," dia berkata dengan gigi tajam menggodanya.
Yohan menjadi menelan ludah, lalu menunjuk lehernya. Seketika, Neko langsung menggigit lehernya, membuat Yohan langsung terdiam kaku merasakan sakitnya itu.
"(Ha... Aku akan pingsan lagi,)" dia tampak lemas hingga akhirnya jatuh di ranjang.