Chereads / Drop Blood: Amai Akai / Chapter 107 - Chapter 107 Caged The Beast

Chapter 107 - Chapter 107 Caged The Beast

Esoknya, Satori memutuskan untuk ke tempat Neko. "(Aku memutuskan kemari, agar aku bisa meminta maaf padanya... Aku harap, dia tidak membenciku.)" Ia mengumpulkan keberanian hingga mengetuk pintu Neko. Butuh beberapa lama untuk pintu itu terbuka, dan Neko sendiri yang membukanya. Kebetulan, dia sedang tidak bekerja karena libur.

". . ." Dia menatap diam. Suasana menjadi diam karena Satori mendadak canggung.

Neko begitu juga, dia terdiam, tak tahu situasinya. "(Aku selalu menunggunya datang hanya untuk mengatakan sesuatu...) Aku minta maaf."

"Aku minta maaf."

Tiba-tiba, mereka malah mengatakan "maaf" bersamaan, kalimat minta maaf bersamaan membuat suasana semakin terdiam.

"Um... Yang seharusnya minta maaf itu aku. Aku melemparkan air padamu," Satori menatap.

"Tidak, aku yang salah karena perkataanku benar-benar membuatmu kesal."

"Itu bukan kesalahan. Aku tahu itu adalah kata-kata yang selalu kamu gunakan, jadi itu bukan suatu masalah. Bagaimanapun juga, aku benar-benar minta maaf. (Kupikir dia akan mengusirku, rupanya dia juga mengatakan minta maaf... Apa yang sebenarnya terjadi...)"

". . . Ha... Baiklah, itu baik-baik saja..." balas Neko yang mengalah.

"Akhirnya... Aku benar-benar tak bisa tenang karena aku tak bisa minta maaf padamu. Aku selalu memikirkan hal ini, dan aku sangat lega ketika berhasil mengatakan permintaan maaf padamu. Apa kamu benar-benar tidak kesal ataupun marah?" Satori menatap.

"Ini baik-baik saja. Lalu bagaimana dengan keadaanmu? Kau baik-baik saja? Aku dengar, kau akan pergi ke Seoul? Bagaimana hubunganmu dengan tunanganmu?" tanya Neko yang terus bertanya. Meskipun dia bertanya, dia menggunakan wajah datar dan dingin.

"(Um... Dia banyak bertanya... Mungkin aku harus menjawabnya, semuanya... Tanpa terkecuali...) Um... Aku baik-baik saja, terima kasih sudah mengkhawatirkanku. Sebenarnya, aku ingin bercerita bahwa Tuan Roiyan benar-benar memperbaiki hubungan kita malam itu. Dia benar-benar sangat perhatian dan menggunakan nada lembutnya. Dia juga berjanji tak akan memikirkan orang lain lagi agar hubungan ini tidak kembali kacau. Dengan begitu, kedua ayah kami bisa tenang dalam menjalani bisnis mereka," kata Satori dengan sangat senang.

Lalu Neko mengangguk. "Aku senang itu terjadi..." balasnya.

Tapi suasana kembali terdiam dengan posisi yang sama. "(Um, apa yang harus aku obrolkan berikutnya... Aku tak tahu lagi. Oh... Aku kemari juga ingin berkunjung. Bagaimana jika aku ajak lebih dekat lagi... Aku hanya harus meminta izin darinya,)" Satori terdiam, hingga ia memberanikan diri mengajukan permintaan.

"N-nona Akai, bisa aku bermain di sini?" Satori tersenyum sambil menunjukkan kotak kecil. Neko lalu terdiam bingung.

Tak lama kemudian, terlihat Satori membuka kotak itu di meja Neko. Di dalamnya berisi jarum dan benang wol. "Lihat ini, hehe..." Dia menunjukkan pada Neko yang hanya menatapnya polos dari tadi.

"Kau suka merajut?" Neko menatap.

"Ya, ini kesukaanku... Bagaimana denganmu? (Sebenarnya aku sengaja membawa rajutan untuk mengobrol dengannya kali ini, karena ini juga termasuk dalam hal tenang, cocok untuknya yang juga selalu tenang.)"

". . . Tidak begitu... Dibandingkan melakukan hal lain, aku lebih memilih membaca," balas Neko untuk pertanyaan tadi.

"Membaca, ya. Kau begitu senang membaca dan belajar, dan sepertinya kau memang memiliki usaha untuk mendapatkan sesuatu."

"Apa maksudmu?" Neko melirik.

"Ah, tidak apa-apa. (Tidak mungkin aku bilang aku tahu rencananya soal perebutan museum.) Ah, Nona Akai, cobalah untuk merajut. Aku akan mengajarmu," Satori memberikan perangkat satu lagi.

Tak lama kemudian, mereka merajut bersama di sofa.

"Ini begitu aneh," kata Neko, menghentikan merajutnya.

"Hm...?" Satori menoleh bingung.

"Kenapa kau tiba-tiba ingin kemari? Apa ada sesuatu?" Neko menatap.

"(Eh... Dia benar-benar tidak memahami situasi sama sekali...) Em, aku hanya ingin berkunjung..." Satori berhenti bicara ketika ponselnya berbunyi di sakunya. Dia mengambilnya dan melihat bahwa itu dari Choka, lalu ia mengangkatnya.

"Satori, kau ada di mana? Aku sudah beberapa kali menekan bel apartemenmu, tapi tak ada orang sama sekali. Kamu bilang, kamu ada di apartemen, kan?" tanya Choka dari ponsel.

"Ah, kemari saja. Aku sedang ada di apartemen atas," Satori membalas.

"Siapa?" Neko menatap.

"Hanya teman kampus. Jangan khawatir. Dia tidak akan mengganggu," Satori membalas, lalu suara bel Neko berbunyi. Satori beranjak dan membukanya, membuat Neko terdiam.

"Choka, kamu benar-benar kemari," Satori menatap senang.

"Um... Ini apartemen atas, kan? Kupikir aku salah tadi. Kenapa bisa ada di sini?"

"Hehe, tak ada apa-apa. Lalu bagaimana denganmu? Apa ada sesuatu?" tanya Satori.

"Ya, ayahku ingin memberikan ini untukmu," Choka memberikan bungkusan dari Cheong.

"Ah, terima kasih. Kenapa begitu baik sekali."

"Tak masalah. Ayahku memang seperti itu, dia pria yang baik, hehe... Oh, ngomong-ngomong, kamu sedang bersama siapa?" Choka melihat di dalam dan rupanya Neko berjalan mendekat. Seketika, Choka terkejut. "(N-nuna,)" ia terkaku dengan Neko yang hanya diam menatap dingin.

". . . Ada apa, Choka?" Satori menatap bingung melihat ekspresinya.

"N-nuna, kenapa kau ada di sini?" kata Choka, menatap tak percaya pada Neko.

"Aku memang tinggal di sini. Bagaimana denganmu?"

"Aku juga tinggal di sini. Di daerah ini," Choka membalas dengan wajah yang merah sambil membayangkan saat dia memeluk Neko.

"Serius? Dengan siapa kau tinggal?"

"Ayahku."

"(Oh benar... Aku hampir lupa bahwa gadis ini adalah putri dari Cheong... Kenapa aku begitu buruk sekali dalam mengingat?) Kalau begitu, itu bukan masalah dan bukan yang harus dibahas. Sebaiknya kalian pulang," kata Neko dengan tatapan dingin. Dia mendadak merubah nada bicaranya pada mereka yang terdiam.

"Eh, tapi bagaimana soal rajutan tadi?" Satori menatap.

"Aku sibuk. Lain kali saja," Neko membalas.

Choka terdiam sambil gemetar ketika ia masih membayangkan bahwa dia tadi melihat bayangan hitam sudah menempel di Neko.

"Sebaiknya kalian berdua pergi," kata Neko.

"Eh... Kenapa?" Mereka bingung.

"Apa aku perlu mengulangi ini? Aku ada urusan," kata Neko.

"Tapi Nuna... Aku ingin mengobrol lebih dalam bersama mu," Choka menatap. Dengan tatapan manisnya, membuat Neko terdiam.

"Maafkan aku," kata Neko yang seketika menutup pintu, membuat mereka berdua terdiam.

"Apa yang terjadi?" Satori menatap Choka yang terdiam gemetar.

"Choka, kamu baik-baik saja?" dia menatap menyadarkan Choka dari ketakutan gemetarnya.

"Satori, maafkan aku. Aku hanya... Aku telah membuatnya membenci kita. Apakah kamu melihat bahwa ketika aku sampai di sini, dia sudah langsung bersikap begitu? Kenapa dia begitu? Jelaskan padaku, aku tak mau Nuna membenciku," Choka panik.

"Choka, tenanglah dulu. Jelaskan padaku kenapa kamu bisa kenal dengan dia. Aku benar-benar tidak tahu kamu kenal dengan dia," tatap Satori.

"Um... Um... Itu ketika aku pergi ke Jeongju untuk diminta ayah pindah sementara. Di sana aku akan aman dari terkaman rekan-rekan bisnisnya yang bisa saja mengejarku ketika sudah selesai. Aku pindah kemari lagi. Ketika di Jeongju, aku mengenalnya. Begitulah aku bisa kenal dia," kata Choka.

"Jadi begitu, dunia ini sempit sekali... Tapi tak apa lah, kita mengenal seseorang yang paling unik, kan?" Satori menatap lembut.

"Um, dia memang sangat unik dan begitu menarik... Tapi... Apa kamu sadar ketika dia mengubah nada bicaranya, ketika aku bicara aku tinggal bersama ayahku, dia langsung mengubahnya?" tatap Choka.

"Hm... Mungkin ini berhubungan dengan ayahmu. Apa jangan-jangan ayahmu kenal dengan Nona Akai?" Satori menatap.

"Um... Aku belum mengetahui itu pasti... Tapi apa benar ayah kenal dengan Nuna?" Choka menatap bingung.

"Bagaimana jika kamu nanti tanya?"

"Aku kasihan pada Nona Akai... Dia pasti sedang merasakan sesuatu karena mood-nya tadi berubah," kata Satori.

Sementara itu, di balik pintu, Neko masih terdiam di sana, berdiri membelakangi pintu mendengarkan mereka dengan menundukkan wajah. Dia menghela napas panjang. "(Tentu saja dia mengenalku, tapi aku sama sekali tidak sudi jika aku harus dibilang mengenalnya. Kenapa ini semakin membingungkan, banyak orang yang malah ikut campur, kenapa tidak biarkan aku menyelesaikan pekerjaan ku sebelum aku benar benar mati strees...)" ia tampak kesal.

Setelah itu, tampak Choka berjalan ke suatu gedung besar di kota yang bergaris batasan distrik. Dia berjalan dengan tenang dan senang.

Lalu membuka pintu milik Direktur cabang. Di sana, tepatnya di dalam, ada Cheong yang duduk di kursi menatap ke kertas di mejanya sambil memakai kacamata. Dia lalu menoleh ke pintu ketika mendengar suara, lalu tersenyum kecil dan melepas kacamatanya.

"Di antar siapa kemari, sayang?" tatapnya dengan lembut.

"Ah, ayah, aku kemari sendiri... Hehe."

Cheong menjadi menggeleng pelan. "Lain kali, kau harus diantar yang lain. Kau tak bisa ke mana-mana sendiri begitu," tatapnya.

Lalu Choka menurunkan senyumnya dan menundukkan wajah. "Maafkan aku... (Ayah memang selalu melarangku begitu... Dia bilang terlalu berbahaya dan yang lainnya.)"

"Bagaimana dengan kuliahmu?" tatap Cheong.

"Um... Ini baik-baik saja. Semua terjadi seperti biasa... Oh benar, bagaimana dengan pekerjaan ayah, apakah itu masih sibuk?" Choka berjalan mendekat.

"Ini akan sangat sibuk sekali," Cheong menyenderkan punggungnya di kursinya.

"Seharusnya ayah tak boleh memaksakan diri," Choka mendekat dan memegang bahu Cheong. Dia memukul pelan untuk memijatnya.

"(Sebaiknya aku bertanya sekarang saja, jika aku tidak bertanya sekarang, aku hanya akan penasaran terus...) Um... Ayah..." Dia memanggil lagi membuat Cheong menatap ke arahnya.

"Um... Apa aku bisa bertanya sesuatu?"

"Tentang apa?"

". . . Um... Apa ayah kenal dengan seseorang yang bernama Akai?" Choka menatap.

Cheong terdiam sebentar. "Yeah, ada apa?" balasnya membuat Choka terkejut.

"(Ternyata ini suatu kebetulan jika aku harus tahu hal ini...) Ayah benar-benar kenal dengan dia?"

"Ya, apa kau bertemu dengan dia?" Cheong menatap.

"Um, hanya saja... Kami sudah dibilang akrab. Aku bisa menganggapnya sebagai teman... Sebenarnya, apa hubungan ayah dengan dia? Kenapa aku selalu melihat kebencian di dalam tubuhnya ketika membahas soal ayah?" tatap Choka dengan penasaran meskipun dia juga agak takut dikira ikut campur.

". . . Jika dulu dia masih bersama ku, mungkin kau tidak akan lahir. Dia malah akan membunuh ibumu," kata Cheong membuat Choka terkejut.

"(Apa... Sebegitu bencinya dia... Kenapa dia begitu kejam?!!!)" Choka menatap tak percaya.