Titik, alam semesta diciptakan melalui titik kecil panas yang disebut Singularitas gravitasional. Titik itu kemudian menjadi terlalu panas dan akhirnya meledak. Dari ledakan itu pun akhirnya tercipta ruang dan waktu. Ledakan itu kemudian menyebarkan titik-titik kecil lainnya bernama Quark. Quark lalu akan saling mengikat meciptakan atom yang kemudian berakhir menjadi bintang. Dari bintang-bintang itu pula akan tercipta galaksi dan akan berakhir menjadi makhluk hidup, salah satunya adalah manusia.
Didunia ini terdapat 8 miliar manusia. 8 miliar kehidupan. 51,74 juta diantaranya berada disebuah wilayah kerajaan bernama Zevescia. Kerajaan yang dikenal akan pemburu mereka dan para assasinnya.
Crash!!
"Haahhh… Hahhh…"
"Itu cukup brutal kau tau pangeran" Sosok yang dipanggil pangeran itu kemudian menoleh kearah asal suara. Terlihat sosok pria bersurai merah berjalan menghampirinya.
"Terserah" Ujar sang pangeran yang hanya dihadiahi kekehan kecil. Pria itu, Meeryn yang merupakan orang kepercayaan sang pangeran berdiri disamping sang pangeran. Uluran tangan diberikan yang diterima sang pangeran.
"Apakah para barbarian itu masih tersisa?" Pertanyaannya hanya dijawab gelengan kepala Meeryn. Sang pangeran mengangguk paham. Dengan tidak adanya para barbarian yang tersisa, maka mereka bisa pulang kembali ke ibukota.
Sang pangeran mengabaikan para pengawal tenda miliknya. Fokusnya kemudian teralih kearah peta perbatasan negara mereka. "Masuk" Ujar sang pangeran saat mendengar suara bawahannya dari luar. Seorang pria paruh baya memasuki tendanya.
"Salam kepada matahari kecil Zevescia" Ucapnya memberikan salam penghormatan. Pangeran itu menganggukkan kepalanya sebagai bentuk hormat kepada sosok yang lebih tua.
"Ada kabar apa dari Starlit?" Starlit, ibukota dari Zevescia. Tempat sang pangeran dilahirkan dan dibesarkan. Sudah lama sekali sejak ia berada di Starlit. Kapan terakhir kali ia mengunjungi kampung halamannya? Mungkin sekitar 3 hingga 5 tahun yang lalu. Entahlah, ia tidak mengetahuinya. Peperangan antara ia dan pasukannya dengan suku Serka telah menyita semua perhatiannya. Namun kini, suku barbarian terbesar didaerah itu berhasil mereka taklukan. Hanya tinggal memenggal kepala sang kepala sukunya. Dan Rajnish, sang pangeran mahkota kerajaan Zevescia sudah tidak sabar untuk melakukannya.
"Yang mulia, anda diminta untuk kembali ke kerajaan"
***
"Selamat pagi Kanjeng Ratu" Sosok wanita berparas cantik itu tersenyum kembali kearah para dayang yang berpapasan dengannya. Kanjeng Ratu itu kemudian lanjut berjalan. Saat melewati taman kerajaan, ia melihat sesosok gadis yang sangat familiar. Setelah ia lihat dengan lebih teliti, gadis itu adalah putri dari Mahapatih kerajaan mereka. Saat hendak memanggilnya, tiba-tiba saja putra tertuanya muncul entah darimana. Senyuman simpul terbit diwajahnya saat menyadari kedekatan dari putri Mahapatihnya dengan putranya.
"Mereka terlihat akur" Ujarnya. Seorang dayang pribadinya tersenyum cerah saat mendengarnya. Dayang itu kemudian menceritakan kedekatan sang Gusti Raden Mas itu dengan sang putri Mahapatih. Kanjeng Ratu yang mendengarnya merasakan hatinya menghangat. Setelahnya, sang Kanjeng Ratu pun kembali melanjutkan perjalanannya.
Terdengar sebuah suara tawa dari taman kerajaan. Suara itu berasal dari seorang pemuda penyandang gelar Gusti Raden Mas. "Hahaha… Roro Athali anda sangat pandai bermain pedang bukan?" Ujarnya. Athalia, putri dari Mahapatih kerajaan Amarta itu hanya tersenyum simpul mendengarnya.
"Tentu Raden, lagipula tugas hamba adalah melindungi anda Raden. Jadi sudah semestinya saya pandai bermain pedang" Jawab Athalia sembari menyiapkan kuda-kudanya. Raden yang mendengarnya pun tertawa kecil. Ia merasa geli saat mendengar bahwa ia yang merupakan seorang pria dilindungi oleh seorang wanita yang merupakan putri Mahapatih kerajaannya.
Keduanya kemudian kembali berlatih pedang dengan serius, hingga sang Mahapatih, ayah dari Athalia menghampiri keduanya. Ia menyampaikan pesan yang diberikan Prabu Amarta. Mendengarnya, pemuda penyandang gelar Gusti Raden Mas itu langsung pergi untuk menemui sang Ayah untuk menjalankan titah sesungguhnya. "Ayahanda" Ucap Raden memberikan salam pada Prabu.
Prabu kemudian memberikan perintah kepada seluruh bawahannya untuk keluar meninggalkan keduanya. Begitu sudah sepi, Prabu kemudian bangkit dari singgasananya dan pergi mendekati jendela. "Putraku, apakah kau sudah mendengar kabar dari kerajaan Timur tentang retakan yang muncul disalah satu wilayah mereka?" Tanya sang Prabu sembari menatap keluar jendela. Atau lebih tepatnya, tatapannya hanya tertuju pada satu titik. Mendengarnya, sang Raden langsung mengetahuinya. Ia kemudian mengangguk, mengiyakan bahwa ia mengetahui kabar dari kerajaan Timur itu.
"Retakan yang sama telah muncul di desa Kusuma. Saya ingin kamu pergi mengeceknya sendiri" Raden itu kemudian menyatukan kedua tangannya. Tanda bahwa siap menjalani titah dari sang Ayah.
"Baik Prabu. Hamba akan pergi mengeceknya sesegera mungkin" Dengan begitu, Raden itu langsung pamit undur diri.
Sesaat setelah perginya sang putra, seorang pria berumur memasuki ruang utama kerajaan Amarta itu. Pria itu kemudian mengucapkan salam kepada pemimpinnya itu. "Mahapatih Harjuna, saya ingin anda mengirim putri anda, Athalia untuk pergi menemani Raden Wijaya" Perintahnya.
"Baik Prabu, saya akan memerintahkan putri saya sesegera mungkin" Jawab sang Mahapatih.
***
"Raden!"
"Tenang Roro, saya akan baik-baik saja" Ucap sang Raden menenangkan Athalia. Gadis bergelar Roro itu hanya bisa mengangguk pasrah mendengarnya. Raden pun mendekati retakan itu. Ukurannya jauh lebih besar daripada ukuran retakan di kerajaan Timur. Selain itu, kali ini retakan itu berada lebih dekat dengan tanah, tidak seperti yang berada di kerajaan Timur yang retakannya berada jauh dari tanah.
"Bagaimana menurut anda Roro?" Tanya sang Raden meminta pendapat Roronya itu. Athalia terdiam sebentar, ia menatap retakan itu sesaat. Athalia kemudian memberikan pendapatnya mengenai retakan itu.