Chereads / Tirai Sebuah Cerita / Tirai Sebuah Cerita

Tirai Sebuah Cerita

🇮🇩Katamaya
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 1.8k
    Views
Synopsis

Tirai Sebuah Cerita

Cahaya bulan redup tertutupi awan. Angin sepoi-sepoi berembus seolah berbisik membuat suasana mencekam di jalanan kota yang legang.

Kompleks F, sebuah pemukiman yang terlupakan. Dindingnya kusam dan dihiasi coretan grafiti. Jendela-jendelanya kosong, menatap jalanan yang retak dan ditumbuhi rumput liar. Plakat "Kompleks F" di gerbang utama miring dan hampir jatuh, huruf-hurufnya pudar dan berkarat.

Di balik gerbang, suasana sepi menyelimuti jalanan yang dulunya ramai. Hanya angin yang sesekali menderu, membawa debu dan pasir. Bangunan-bangunan tua masih berdiri kokoh, meskipun terlihat rapuh. Atapnya bocor, catnya mengelupas, dan jendelanya kotor dan kusam.

Sampah dan barang bekas tergeletak di beberapa sudut kompleks. Rumput liar tumbuh subur di pekarangan. Pohon-pohon rindang memberikan sedikit keteduhan di tengah kompleks yang kumuh.

Kompleks F bukan tempat yang ideal untuk ditinggali. Namun, beberapa keluarga masih bertahan hidup di sana. Mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki pilihan lain.

"Ma apa masih jauh?" tanya sekar.

Sudah hampir setengah jam kami berjalan menuju rumah, Setelah liburan akhir pekan yang baru saja kami lakukan cukup melelahkan.

"Bentar lagi sampi kok, semangat Mama."

Sebenarnya aku, ibuku, dan adik perempuanku, Sekar sedang melakukan perjalanan pulang sejak siang tadi. Tapi saat di tengah jalan, boneka mainan milik sekar tertinggal di penginapan. Seolah sudah tidak ada jalan lain selain kembali mengambilnya.

"Ma ..., aku capek." Sekar berhenti berjalan dan duduk di sembarang tempat. Jika dihitung perjalanan dari terminal bus terakhir sampai rumah, dengan langkah kaki orang dewasa mungkin membutuhkan sekisar 25 menit. Tapi apa boleh buat, aku hanya anak usia 7 tahun dan Sekar, dia berumur 3 tahun lebih muda lagi.

Ini akun menjadi kali ke-4. kami istirahat.

"Bu …." Aku menatap ibu meminta pendapat.

"Istirahat dulu." Ibu menepi dan merebahkan badannya di pinggir ruko yang sudah tutup sejak senja tadi. Ibu memanggilku, "Vid, hibur adikmu."

"Iya."

Tiga menit melaju cepat. Aku masih menghibur Sekar dengan cadaan-candaan kecil. Sudah tidak ada transportasi yang beroprasi kalau dilihat dari keadaan sekitar, mungkin jarum jam sudah melebihi angka sebelas malam.

"Kita lanjut jalan! " ucap ibu.

Sekar tersenyum kecut seketika hendak protes.

"Ayo bentar lagi sampai rumah," lanjut ibu.

Tubuhku terasa hampir beku kedinginan. Walaupun kami sudah mengenakan jaket seakan tidak berarti. Terutama Sekar dia terlihat sangat kedinginan walaupun sudah mengenakan jaket berlapis dua.

Lngkah kaki kami terasa samar, seakan adanya kehadiran yang tidak biasa dibalik kesunyian malam ini. Aku berhenti mencoba memeriksa sekitar.

"Ada apa Kak ?" tanya sekar bingung.

Seolah ada yang mengikuti kami di segala sisi. siapa? preman gangster atau hanya hipotesisku.

"Tidak, tidak ada apa-apa."

"Berhenti!" teriak ibu.

Ibu melihat sekitar, ikut memastikan. Apa dugaanku benar. Ibu juga merasakannya, hanya Sekar yang terlihat masih bingung.

"Keluar kalian!" lanjut ibu.

"Hebat juga kau nyonya, dapat merasakan kehadiran kami." Seoang pria dengan tubuh kekar usia paruhbaya keluar dari celah bayangan gedung sebelah kanan kami.

"David bawa Sekar pergi dari sini!"

"Bahahahah …!" Pria paruhbaya itu tertawa terbahak-bahak meremehkan kami.

"Sudah terlambat nyonya, tidak ada jalan untukmu kabur. "

"Cetak!" Pria itu menjentikkan jarinya. Lantas satu, dua , lima, sepuluh, banyak sekali mereka. Mereka mengepung kami dari segala sisi, seakan singa yang memburu mangsanya.

Ibu mengambil pisau lipat dari tas gendongnya dan memberikan tas itu padaku. Ibu mengacungkan pisau tadi pada pria paruhbaya itu.

"Oh ..., tenanglah nyonya jangan buru-buru," pria itu menatap satu persatu bawahannya, Memberikn kode khusus. Palu, tongkat bisbol, stun gun, knuckle, bahkan pistol revolver versi magnum 357.

"Lari David… Lari…!" teriak ibu.

"Tapi."

"Lari …! "

Seruan langkah kaki saling bersahutan. Aku menarik lengan Sekar .Lari menjauh, keluar dari kepungan mereka tanpa ada perlawanan, "bukan kami targetnya?"

"Bos!"

"Biarkan saja"

Suara mereka terlintas samar di telingaku terbawa oleh angin. Aku sempat membawa tas yang diberikan ibu tadi. Tanganku cekatan mencari handphone menelepon siapa saja yang bisa dihubungi .

"Ayah mana, nomer ayah …!"

"Kak?"ucap Sekar

Aku masih berlari secapat mungkin dan sejauh yang ku bisa sampai di ujung perempatan. Aku berhenti sejenak menarik napas mencoba berpikir tenang.

"Kak?"

Aku putuskan, apa pun yng terjadi selanjutnya urungkan untuk nanti. Aku harus bertindak," Sekar di sini dulu ya, kamu telepon papa. Kakak mau kembali ke sana sebentar jemput mama."

"Kakak sih, Mama malah di tinggalin."

"Hehehe …, maaf tadi…, Kakak kebelet." Aku memberikan handphone ibu yang tengah memanggil ayah kepada Sekar.

"Sekarang kan Kakak sudah ndak kebelet, Sekar di sini dulu ya. Sekalian bilang sama papa minta panggillin 911. Bisa? "

"Bisalah, Kakak kira Sekar masih anak kecil. Bilang gitu saja nggak bisa, "jawab Sekar agak kesal.

"Makasih Sekar. "Aku berlari kembali ke tempat tadi.

Kurang dari satu menit, atmosfer pertarungan terasakan. Aku mengumpulkan semua tekat yang ada.

"Berhenti kalian!" jeritku

Ibu yang sudah kewalahan tersungkur tak berdaya. Aku akan membalas mereka.

"Beraninya kau kembali bocah, sudah tidak sayang nyawa rupanya!"

"Kalianlah yang tidak sayang nyawa, berani menggangu kami !" potongku.

"Masih kecil sombong sekali kau. Ayahmu tak pernah mengajari tata krama ya?" lanjutnya.

"Dor!" Timah panas meluncur menembus kepalaku. Itulah yang akan terjadi beberapa detik ke depan, tapi tidak jika aku sudah mengetahuinya.

Aku melihatnya, aku selalu melihatnya. Itu bukan salah lihat, apalagi mimpi. Itu adalah keistimewaanku. Mataku bersinar terang melawan hukum dunia menembus waktu. Melihat beberapa detik setiap gerakan yang akan mengenaiku.

Di kanan, di kiri, merunduk …

"Dor ... Dor … Dor!" peluru calibre 9,07 mm itu melesat cepat mengenai udara kosong.

Satu dua tembakan masih bisa kuhindarinya. Badanku meliuk lincah melakukan monuver mendekati pria tadi. Wajahnya mulai terlihat tegang.

Aku minggigit lengan pria itu sampai pistol magnum 375 itu terlepas darinya. Serangan senjata yang lain seakan simfoni yang memenuhi langit malam, tidak bisa mengenaiku.

Tusukan pisau, palu dari arah kanan, semua terlihat jelas. Aku masih bisa menghindari semua serangan itu dengan memanfatkan semua celah yang ada.

"Dia jago bos!" keluh mereka.

"Tetap serang, jangan berhenti , dia hanya bocah!"

Walau aku dapat melihat serangan mereka, aku hanyalah anak usia tujuh tahun. Setaminaku terbatas, gerakanku juga mulai melambat. Satu orang anak melawan belasan gangster sangatlah tidak adil bahkan bagi orang dewasa sekalipun.

"Dor!" Aku dapat melihatnya. Timah panas yang dimuntahkan menembus dadaku.Tidak dapat menghindar, aku sudah mencapai batas maksimal. Kugunakan lengan kananku untuk melindungi titik fatal.

Darah segar mengalir deras. Aku reflek memegang erat lenganku kesakitan. Namun tidak ada kata istirahat dalam pertempuran. Mereka menyerang buas tanpa henti.

"Buk.,teng.,buk!"badanku serasar emuk. Jangankan untuk berdiri membuka mata pun sudah kesulitan,"Apakah ini akhirnya?'

"Inilah akibatnya bocah , berlagak sombong pada orang tua"

"Hahahahaaa…!"tawa yamg lain.

Semua berlalu begitu cepat.tidak ada yang bisa diubah lagi. Itulah yang terpikirkan olehku, mataku terpejam menghilangkan kesadaran yang tersisa.

Mobil Ford Everest berwarna merah melaju dengan kencang dan tiba-tiba terbanting, mengeluarkan suara berdecit panjang yang membuat kuping terasa ngilu, mobil tersebut berhenti di seberang jalan, di sisi yang berlawanan dengan tempatku terbaring.

Seorang pria dengan perawakan kekar keluar dari dengan rambut terkucir keluar dari mobil tersebut."Hentikan menjauh kalian dari putraku!"