Kami sudah mulai kelelahan, malam mulai menjelma, suara alam yang semakin menakutkan dan rombongan yang mulai berpencar, kora sang pemandu jalan mulai ragu untuk menuntun perjalan kami, dia berusaha supaya kami tidak terserat, namu hutan Mentawai banyak menyimpan misteri, suasana yang mulai gelap kami mulai tak tenang,
"Kaipangan nek NU Abbot sita bajak,
" Bak Ima reu reu Baga MUI, Anai Ita kaenungan leuk ai,
" Tapoi tak segek sita bajak, makolou leuk,
" Tak makolou lek,
Dengan percaya diri yang tinggi, bajak kora menunjukkan jalan sisi kiri yang bersemak karna jalan sudah buntuk,
"Senek bajak,Konan kap, Tut kap aku, ujar bajaak kora,
Sambil melayangkan parangnya ia menuntun jalan kami, tak lama dari situ kami mulai masuk jalur sungai yang gersang, kecemasan kami semakin tumbuh,
"Simakolou lah Jak, ucap Cici sambil tersenyum kecemasan,
"Simakolou Jak, lewati aja ini, sebentar lagi kita sampai, kora menjawab,
Kami pun berjalan menuruni tebing lewati sungai, lalu naik lagi berjalan merangkak penuh hati hati, hembusan nafas yang sudah mulai tidak teratur dan perut yang mulai keroncongan, setalah mendaki tebing.
"Jak istirahat kita dulu, Ama gelangan sita,
Ucap bajak nimus yang mulai pucat dan bersandar di batang pohon dengan baju di pundak,
"Ooi Jak muari sita, amagelangan aku, jawab bajak Pitto Gagai' yang sudah telentang di atas tanah tanpa alas, "
"Kawa Jak muari sita, " dengan sebungkus roti Roma yang sudah di bukak plastiknya kami pun menyantap nya dengan lahap, setelah kurang lebih 10 menit kami istirahat, kami melanjutkan perjalan,
Bajak Pitto dan bajak paburut yang di belakangan jauh tertinggal dari rombongan, terkapar dan mulai menghidupkan api,
Sementara rombongan kami sudah di depan dan bajak kora yang sangat kencang mulai bergegas kembali,
"Sa bajak Joel sama paburut mana, "
Penuh kecemasan berjalan benyambut kami,
"Entah lah Jak masih di belakang, kami kira masih satu rombongan, "kata bajak toinong, "
"Iya udah ayok, saya sudah menemukan rumah nenek goyang, ayo ikut saya, ucap baja kora, "
Rumah yang sudah mulai terlihat dengan hati yang sangat gembira kami bergegas menuju rumah, seorang nenek yang hidup sebatang kara, rambut putih dan kulit yang sudah mulai keriput hidup di tengah hutan sendiri, babi yang berkeliaran, kotoran ayam bertebaran di lantai rumah, tanpa pikir panjang kami menyaoa si nenek,
"Anai leuk Ita teu, bojoik kami mengganggu,
"Tat leuk teu, buk Anai kut Nia edda, Kawa Sakai at kap, galap kap jedda tarasi MUI e pulok at kap boikik teu, ucap si nenek yang kebingungan melihat kami,
Di waktu bersamaan kora sudah bergegas lari untuk mencari 2 orang kami yang terpisah dari rombongan, kukkkkkkk, dengan suara yang sangat keras sebagai penanda bahwa ada seseorang,
Kukkkkkkkkkkk, dengan gema yang sangat tinggi, bajak kora bergegas mencari asal suara, tak lama kemudian api yang mulai terbakar dan tenda yang sudah mulai di siapkan,
"Jak, pona NU kut kap Jak, bak Puari kap jedda e, ubbek kap edda meian kap sita, kora dengan suara berbisik"
"Tak Jak, tat aku soppa at KAI, jenek at lek Ita boikik, iat Bai, pona lek i kut Ita, anan aku maleje, derek ku anan magigri, jawab bajak Joel yang sudah sangat ke lelahan,
"Tak Jak, meian lek sita, Anai kara sapoi tat leuk ma uju ai,
"Elek a Jak, kawa jak, meian sita,"
Mereka pun bergegas dan sampai di rumah, rombongan lain yang sudah mulai berdiuski dengann nenek dengan tawa yang tak henti.