Ezra Fauzian adalah pemuda berusia tujuh belas tahun yang tengah menempuh pendidikan di SMK Predikat Hebat, jurusan Sastra Mesin. Sebagaimana hari-hari biasanya, pagi itu terasa seperti mimpi di atas awan kelabu, langit mendung yang menggantung di atas kepala.
Sejak beberapa pekan terakhir, Ezra merasakan kejenuhan yang mendalam. Ia merasa hidupnya hanya berputar dalam lingkaran monoton: bangun, sekolah, pulang, tidur, dan ulang lagi.
Sudah 2 minggu ini dirinya tercatat tidak nampak lagi di sekolahnya.
"Apa iya bakal terus begini-gini saja ya?"
Ezra menoleh sekitar kamarnya dengan perasaan hampa.
Di meja belajar kecilnya, tumpukan buku-buku Sastra Mesin tergeletak berdebu, tidak tersentuh sejak beberapa waktu yang lalu.
Poster-poster idolanya yang menghiasi dinding kamarnya terlihat samar di bawah lapisan debu yang mulai menumpuk.
Ezra duduk di tepi tempat tidurnya, "...yah lagian mau gimana lagi kan? Sepeda yang dulunya hadiah ulang tahun dah dijual pula, mana jarak tempuh ke sekolah sekitar 5,2 km."
Ezra menarik nafasnya dalam-dalam, "....bukan salahku juga kalo dialfa akhir-akhir ini kan? Kondisiku sendiri saja seterpuruk ini."
Sejak kepergian ibunya tiga tahun lalu, Ezra hidup bergantung pada uang saku tipis yang dirinya peroleh dari pekerjaan part-time setiap malam entah menjaga warung ataupun menjual barang-barang miliknya sendiri.
Dirinya teringat tentang cita-citanya bagaimana dulu dirinya sangat ingin menjadi fotografer, di dalam benak pikirannya jika menjadi seorang fotografer maka dirinya bisa lebih sering mengabadikan foto-foto bersama keluarganya.
Nyatanya, justru orang tuanya cerai dan Ezra diasuh oleh ibunya seorang, lalu setahun kemudian ibunya menderita penyakit komplikasi dan berpulang lebih dulu sebelum dirinya dapat mewujudkan impiannya.
"...huft, ternyata berat juga ya jadi perintis..." Ezra menatap langit-langit kamarnya.
Ezra mencoba menciptakan ketenangan di keheningan yang dia ciptakan di dalam kepalanya.
"Disaat-saat kayak gini, adakah yang bakal setidaknya... nyariin ya?"
Ezra merogoh-rogoh meja sekitarnya, lalu meraih handphonenya.
"...sekarang jam empat lebih tujuh menit, masih pagi ya."
Ezra membuka media sosial dan melihat-lihat kabar terbaru teman-temannya.
"Ternyata mereka tetap hidup bahagia ya, meski aku nggak ada," batin Ezra.
Ezra membuka pesan grup sekolahnya, mencoba mencari tahu apakah ada yang memperhatikan ketidakhadirannya.
Banyak pesan-pesan yang belum terbaca, sebagian besar hanya obrolan ringan dan tugas-tugas sekolah.
Dari sekian pesan tagihan tugas maupun tagihan uang kas kelas.
Ezra tersorot pada satu pesan, ada satu pesan dari Faustine, teman sekelasnya yang cukup dekat.
Paustin X SM : "Jrah, kamu kemana aja? Udah dua minggu nggak kelihatan di sekolah. Ada masalah?"
Ezra menatap pesan itu cukup lama sebelum akhirnya membalas,
Anda : "Iya, Tin. Lagi banyak pikiran. Nggak ada yang serius, cuma lagi butuh waktu sendiri."
Faustine merespon dengan cepat.
Paustin X SM : "Kalo butuh bantuan atau teman ngobrol, kasih tahu aja ya."
Lalu chat diakhiri dengan Faustine yang memberikan sticker lucu.
Ezra tersenyum tipis. Setidaknya ada yang peduli.
Ketika hendak menutup pesan tersebut, tiba-tiba muncul notifikasi aneh di emailnya.
"Email kategori spam... loh,"
Ezra kembali membaca dengan seksama, "...jual umur untuk uang? Alah yang bener aja!"
"...."
"...ehh, tapi mungkin gak sih?"
Ezra membuka browser dan mengetikkan kalimat "jual umur untuk uang" di kolom pencarian.
Tak disangka, banyak hasil pencarian yang muncul.
Sebagian besar terlihat seperti iklan palsu atau artikel clickbait, matanya tersorot pada satu situs yang menarik perhatiannya.
Situs itu menawarkan layanan untuk "menukar waktu hidup dengan uang," lengkap dengan testimoni dari orang-orang yang mengklaim telah melakukannya.
"Apakah ini benar-benar mungkin?" pikir Ezra sambil mengklik tautan tersebut.
Halaman situs terbuka dengan tampilan yang sederhana. Ada kolom pendaftaran yang meminta informasi pribadi dan jumlah waktu hidup yang ingin ditukar.
Ezra merasa ragu dan sedikit takut.
"Emangnya apa yang tak takutin yha? Lagian orang udah susah gini, yakali kan makin susah..."
Dengan kondisi yang dialaminya saat ini, apa yang dirinya miliki untuk kehilangan?
Ezra mulai mengisi formulir pendaftaran. Setelah semua informasi terisi, dirinya sempat ragu sejenak sebelum akhirnya menekan tombol "Submit."
"Apapun yang terjadi, semoga ini bisa membawa perubahan," gumam Ezra.
---------------
Notifikasi: SUBMITTED!
Terima kasih, Ezra!
Pendaftaran Anda telah berhasil. Kami akan memproses permintaan Anda sesegera mungkin. Harap tunggu konfirmasi selanjutnya.
---------------
Setelah itu, Ezra menutup browser dan bersandar di kursinya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi setidaknya sekarang ia memiliki sesuatu untuk ditunggu.
"Akhir-akhir ini, beneran lagi susah. Jualin barang apa lagi ya...?"
Ezra pergi ke luar untuk mencari udara segar, saat tiba di area kosannya dengan langkah gontai. Pikiran tentang waktu yang tersisa dan barang-barang yang bisa dijual terus berputar di kepalanya. Sesampainya di luar pintu kamarnya, ia melihat Mpok Airin, pemilik kos, sedang menyapu halaman.
"Eh baru muncul orangnya. Noh ada surat barusan aja dateng, cek aja di loker."
Ezra mengangguk, merasa sedikit penasaran. Ia segera menuju ke loker surat yang ada di dekat pintu masuk. Di sana, ia menemukan sebuah amplop berwarna cokelat dengan namanya tertulis di atasnya. Tangannya sedikit gemetar saat membuka amplop itu, berharap mungkin ada kabar baik di dalamnya.
"Kalo dipikir-pikir aneh juga, perasaan barusan tak pesen..."
"....Wah jangan-jangan pesan hari ini datangnya kemarin? Siapa sangka."
Ia menarik napas dalam-dalam dan mulai membaca surat tersebut. Di dalamnya, terdapat selembar kertas dengan tulisan tangan yang rapi dan sisipan sebuah gambar :
---------------
Kepada Ezra,
Kami ingin memberitahukan bahwa permohonan Anda telah kami terima dan sedang diproses. Harap datang besok sebelum matahari terbit ke Klinik Sehat-sehat Saja untuk langkah selanjutnya. Siapkan diri Anda untuk instruksi lebih lanjut.
Alamat kami : kliniksehat2aja.png
Petunjuk : Carilah jalan yang menurut Anda paling lebar dan terbentang dari timur ke barat. Setelah menemukan jalan tersebut, lewati saat angin tidak berhembus. Setelah melintasi jalan itu, berdirilah menghadap ke Timur dan menundukkan kepala Anda. Jika bayangan Anda tidak mengarah ke Timur, berarti Anda berada di jalan yang salah. Jika ketentuan sudah benar Anda akan segera menemukan Klinik Sehat-sehat Saja dalam jangkauan pengelihatan Anda.
"Aku ingin mencari obat untuk menyembuhkan penyakit yang tidak dapat disembuhkan."
Terima kasih atas kepercayaan Anda.
Hormat kami,
Tim Administrasi
---------------
Ezra membaca kalimat tersebut berulang kali, merasa sedikit terkejut dan tidak percaya.
"Yang bener aja!?" gumamnya, merasa kaget dengan surat yang tidak biasa itu terlebih lagi sebuah nama klinik untuk dibuat bahan bercandaan.
"Sengaja ya cari masalah!? Ada masalah apa dengan nama kliniknya!? Klinik... Sehat-sehat Saja!?"
"Woi aku lagi butuh uang malah disasarin ke klinik gadungan gini, lucu kali hidupku ini wak. Waduhh... kacau ini."
Ezra menarik napas dalam-dalam, berusaha meredam kebingungan yang berkecamuk di benaknya. Kata-kata dari pesan yang diterimanya begitu absurd, seperti teka-teki yang tidak masuk akal. Ia menggelengkan kepala, merasa tidak ada gunanya memikirkan lebih jauh.
"Duh, ini pasti ada orang yang iseng atau apalah. Masa iya aku harus repot-repot mikirin hal gak jelas begini," gumamnya pada diri sendiri.
"Terus sekarang ada... sisipan gambar."
"Petunjuk macam apa pula ini? Jangan sampai saat aku kebingungan tiba-tiba disekap nih!?"
"Alah, jual umur buat uang? Yang bener aja, mending cus ke sekolah aja."
"Soal angkot mah gampang, nanti tinggal cari dah."
Ezra memutuskan untuk berfokus pada rutinitas yang lebih nyata dan berarti baginya. Masih setengah mengantuk, ia kembali ke kamar kosnya untuk mengambil peralatan mandi. Karena masih begitu pagi, ia tidak perlu berebut dengan penghuni kos lainnya.
Air dingin menyegarkan pikirannya yang masih kacau, dan setelah beberapa saat, Ezra mulai merasa lebih segar dan siap menghadapi hari. Setelah mandi, Ezra kembali ke kamarnya. Ia mulai merapikan ruangan kecilnya yang berantakan, mencoba membuatnya sedikit lebih nyaman, mempersiapkan jadwal hari ini lalu berangkat ke sekolah.
"Oke lengkap semua nih," katanya pada diri sendiri, berusaha mengusir sisa-sisa kebingungan barusan yang masih ada di pikirannya.
"Ezra... Ezra!" suara seseorang memanggilnya, terdengar samar di tengah-tengah mimpinya yang kabur.
"Ejrah, bangun!" kali ini suara itu lebih jelas dan disertai dengan sentuhan lembut di pundaknya.
Ezra terbangun dengan kaget, matanya membuka lebar melihat Faustine, teman sekelasnya, berdiri di sampingnya dengan ekspresi cemas.
"Loh... hah? Oh, Iya... Faustine?" tanya Ezra, masih setengah bingung.
Faustine mengambil duduk di bangku kosong depannya Ezra.
"Hebat banget ya kamu ketiduran selama jam pelajaran tadi," sindir Faustine.
Ezra mengusap wajahnya, mencoba sepenuhnya sadar. "Loh iyakah? Emangnya tadi mapel apa?"
"Matematika," jawab Faustine.
"Oh pantes," kata Ezra sambil menghela napas, lalu tersenyum lemah. "Matematika memang kadang bikin ngantuk."
Faustine tertawa kecil. "Iya, tapi kayaknya kamu ngantuk bukan cuma karena matematika deh. Kelihatan banget dari awal tadi kamu gak fit. Ada apa, Ezra?"
Ezra ragu sejenak, tapi melihat ekspresi tulus Faustine, ia merasa bisa berbagi sedikit. "Tadi malam aku dapat pesan aneh. Seperti teka-teki gak jelas. Aku jadi kepikiran terus."
"Pesan aneh? Teka-teki? Cerita dong, siapa tahu aku bisa bantu," ujar Faustine, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.
Ezra membuka tasnya dan mengeluarkan ponselnya. "Kayaknya aku bawa deh barangnya, nih coba lihat."
Faustine membaca surat itu dengan seksama. "Ini aneh banget, Jra. Maksudnya apa sih?"
"Entahlah, tapi kayaknya ini petunjuk ke suatu tempat. Aku bingung harus mengunjungi tempat itu atau enggak," jawab Ezra, tampak bimbang.
"Kamu serius mau ke sana? Ini bisa jadi bahaya, apalagi kalau sampai ada yang mau menipumu atau lebih buruk lagi," kata Faustine dengan nada khawatir.
"Tapi, Faustine, dengan uang itu aku bisa beli kamera baru buat memenuhi minatku dari dulu. Aku sudah lama pengen kamera itu, dan ini kesempatan yang mungkin gak datang dua kali," Ezra bersikeras.
Faustine menggelengkan kepala, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Ezra, kamu harus lebih bersyukur dengan hidupmu. Jual umur buat uang? Kamu denger diri kamu sendiri gak? Itu gila, Ezra!"
"Tapi aku gak bisa berhenti mikirin itu, Faustine. Ini bisa jadi jawaban dari semua masalahku. Aku bisa dapatkan kamera itu dan mulai mengejar impian fotografiku," Ezra tetap keras kepala.
Faustine semakin marah. "Ezra, kamu gak bisa ambil risiko segila itu cuma buat kamera! Hidup kamu jauh lebih berharga dari sekadar materi. Kamu gak tahu apa yang akan terjadi kalau kamu mengikuti petunjuk aneh ini."
Tanpa berpikir panjang, Faustine merebut surat aneh itu dari tangan Ezra dan melumatnya. Ezra terkejut dan berusaha mengambilnya kembali.
"Faustine, apaan sih kamu? Balikin itu!" Ezra berusaha merebut surat dari tangan Faustine, tapi Faustine lebih cepat. Ia menyimpan surat yang telah dilumatnya di dalam sakunya.
"Peraturan gak boleh ribut di kelas. Kita gak seharusnya tengkar karena hal begini." kata Faustine sambil menarik lengan Ezra.
Sesampainya di taman, Faustine menyerahkan sebuah kamera kepada Ezra. "Aku tahu kamu suka fotografi. Terus juga aku sengaja ngilangin kesempatan gilamu buat nuker umur buat nyawa, sebagai gantinya nih kameramu, aku balikin."
Ezra melihat kamera tersebut dengan penuh kebingungan. "Emangnya ini punyaku? Aku gak inget pernah punya kamera begini."
"Loh, udah lupa? Waktu itu kamu nawarin ke aku buat beli kamera ini. Kita sempat deal kan waktu itu?" jelas Faustine dengan nada ceria.
Ezra mengernyitkan dahi, bingung. "Waktu itu udah serah terima dan udah deal kan ya? Kenapa dibalikin?"
"Apaan dah maksudnya," Ezra menjawab, masih tidak mengerti.
"Ya, pegang kameranya, dengerin aku. Amati sekitarmu. Kamu harus lebih bersyukur," kata Faustine, sambil menarik Ezra menuju tempat yang lebih terbuka di taman.
Ezra mengambil kamera dari tangan Faustine dan mulai mengecek fitur-fiturnya. Ia mengatur posisi dan mulai memotret berbagai objek di sekitarnya—pohon, bunga, dan langit yang biru. Kamera ini terasa lebih familiar daripada yang ia duga, dan Ezra merasa sedikit nostalgia saat menggunakan lensa ini.
"Saat aku nulis, aku suka merangkai kata-kata buat menuangkan perasaanku. Kamu bisa lakukan hal yang sama dengan foto-foto ini. Coba lihat taman ini, apa yang kamu rasakan?" tanya Faustine sambil tersenyum.
Ezra mulai menekan tombol shutter, memperhatikan detail-detail kecil dari taman. Sambil memotret, ia mulai merasakan ketenangan yang belum lama ini hilang. "Aku... rasanya lebih tenang sekarang. Taman ini indah dan bikin aku lupa sejenak tentang kekacauan."
"Kan, aku bilang juga apa. Kadang kita butuh berhenti sejenak, menikmati hal-hal sederhana, dan melepaskan beban di hati," kata Faustine sambil melanjutkan menulis. "Kalau kamu lagi merasa terbebani, kadang cuma perlu waktu untuk diri sendiri, dan hal-hal kecil kayak gini bisa bikin perbedaan."
Sementara ia sibuk memotret, ia tidak sengaja melihat Faustine berdiri di sudut frame kameranya. Faustine sedang memandang ke arah lain dengan ekspresi yang tenang dan alami. Ezra merasa harus untuk mengabadikan momen itu, meskipun ia awalnya berniat mengabaikannya.
Ezra mengarahkan kamera ke Faustine dan menyesuaikan fokus. Faustine menyadari bahwa Ezra sedang memotret dan secara spontan, dirinya berpose dengan senyum lembut yang menawan.
Ezra terus memotret Faustine dari berbagai sudut, menikmati keindahan dan keceriaan yang terpancar dari wajahnya. Ia merasa beruntung bisa menangkap momen ini dan merasa lebih tenang dengan semua yang terjadi.
"Eh, Faustine, kamu sadar aku motret?" tanya Ezra sambil menekan tombol shutter.
"Lagian kamu gak dengerin apa yang aku omongin barusan loh ya," jawab Faustine dengan senyum yang semakin lebar.
"Yamaap," kata Ezra sambil tertawa kecil, senang melihat senyum Faustine.
Setelah beberapa saat memotret, Ezra menatap hasil jepretannya di layar kamera dan merasa puas dengan hasilnya. Ia kemudian melihat ke arah Faustine dengan raut wajah serius penuh rasa terima kasih.
"Eh, Faustine, aku pikir udah saatnya aku balikin kamera ini ke kamu. Lagian, kamu juga udah banyak bantuin aku," kata Ezra, sambil mengulurkan kamera ke Faustine.
Faustine menatap kamera yang diulurkan Ezra, lalu dengan lembut menolak tangannya Ezra dan menggeleng. "Gak usah, Ezra. Kamu tetap pegang aja, aku lebih suka liat kamu ngetes kameranya daripada cuma simpan di tas."
"Yakin nih?" tanya Ezra, sedikit ragu.
"Iyap, yakin dong. Tapi ada syaratnya," jawab Faustine.
"Apa syaratnya?" Ezra bertanya, penasaran.
Faustine tersenyum manis. "Sering-sering berangkat ke sekolah ya, Oiya biar kamu gak lupa kamu harus janji ke aku kalo jangan sampai mimpi kamu redup."
"Kalo gitu ya kamu harus janji yang sama juga dong."
"Iyakah? Oke deh... Janji ya, jangan sampai mimpi kita berdua redup."
"Udah janji loh ya! Gak boleh ingkar."
"Iya deh iya, kamu harus rangkai kata-kata terus sampai punya pustaka karyamu sendiri yang nantinya bakal tak baca loh."
"Kamu juga dong, harus terus mengabadikan moment-moment indah sampai ada banyak album."
Mereka saling tersenyum, seakan-akan satu janji sudah terucap di antara mereka. Tatapan mereka masih tetap saling terhubung.
Sesaat sebelum menyudahi karangan ceritanya. Diakhir kata Faustine mengutip, "Kau abadi dalam aksara, sastra, dan prosaku. Menjadi tokoh utama yang tak tergantikan oleh siapapun, meski sebatas fatamorgana."