Mentari pagi menyinari koridor sekolah, menciptakan bayangan panjang di sepanjang lantai yang penuh coretan masa remaja. Ezra berjalan santai melewati lorong itu, menggantungkan tas selempangnya dengan malas. Hari ini, entah kenapa, suasana sekolah terasa berbeda, mungkin karena ini adalah hari terakhirnya di sini.
Selama tiga tahun, Ezra dikenal sebagai sosok yang santai, tidak terlalu memikirkan persaingan ataupun ambisi seperti siswa lainnya. Disamping hal itu, ada satu orang yang selalu tampak berusaha mengejarnya—Faustine. Gadis berambut panjang, lurus, dengan sorot mata yang tajam, selalu ingin membuktikan bahwa dia bisa lebih baik dari Ezra dalam segala hal.
Bagi Faustine, rivalitas mereka adalah bahan bakar untuk terus maju. Akan tetapi, tidak bagi Ezra, semua itu hanyalah permainan tanpa makna. Ia menikmati bagaimana Faustine selalu serius, bagaimana dia selalu berusaha keras untuk mengalahkannya di setiap ujian, kompetisi, bahkan hal-hal sepele seperti kecepatan menyelesaikan tugas.
Hari itu, di hari terakhirnya di sekolah. Angin sore berhembus pelan, membawa aroma daun kering yang berjatuhan, ketika ia tiba di halte bus. Matahari mulai tenggelam, menyinari langit dengan semburat jingga yang hangat.
Halte itu tampak sepi. Hanya ada dirinya yang duduk di sana, ditemani desiran angin yang membawa dedaunan kering berputar di atas aspal. Ezra menarik napas panjang, merasakan aroma hujan yang akan segera turun. Ia menunduk, memandangi sepatu hitamnya yang sedikit kotor.
Kemudian, sebuah bayangan melintas di sudut matanya. Ezra mendongak, dan di sana berdirilah Faustine.
Dia mengenakan dress putih yang sederhana, dengan cardigan tipis berwarna krem yang melapisi bahunya. Rok dress-nya sedikit bergoyang tertiup angin begitu pula dengan rambut cokelatnya yang panjang terurai lembut.
"Hai," sapa Faustine, suaranya sedikit bergetar. Ezra terdiam, matanya tidak lepas dari wajah Faustine yang tampak bersinar di bawah sinar matahari. Dia tampak lebih manusiawi, lebih dekat… dan lebih rapuh.
Faustine tidak langsung berbicara. Dia hanya berdiri di sana, memandang Ezra dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kelembutan di matanya, tampak begitu teduh.
"Ada apa? Mau tanding siapa yang bisa kabur dari sekolah lebih cepat?" canda Ezra, mencoba meredakan ketegangan.
Senyumnya segera pudar ketika ia melihat mata Faustine yang penuh dengan sesuatu yang tak pernah ia lihat sebelumnya—kesedihan.
Faustine menghela napas, lalu duduk di samping Ezra, menyisakan sedikit jarak di antara mereka. "Aku dengar kau tidak akan kembali ke sini… Tidak ada yang bilang apa-apa padaku. Kenapa, Ezra? Kenapa pergi tanpa pamit, huh?"
Ezra tertegun. Ia tidak pernah berpikir Faustine akan peduli sejauh itu. "Oh, aku tidak menyangka kamu bakal sampai sejauh ini," jawabnya.
"Tiga tahun, Ezra. Tiga tahun aku selalu mengejarmu, selalu merasa aku harus lebih baik darimu. Tapi, kau tak pernah benar-benar peduli, ya?" Faustine menunduk, suaranya mulai bergetar. "Aku sadar… mungkin aku hanya berkompetisi sendirian."
Saat itu juga terdengar suara gemuruh mesin mendekat. Sebuah bus perlahan berhenti tepat di depan halte. Pintu bus terbuka dengan bunyi desis hidrolik, tetapi tak ada seorang pun yang turun. Hanya mereka berdua yang berada di sana.
"Aku tahu kau selalu penasaran," Ezra memulai, nadanya lebih serius dari biasanya. "Kenapa aku di sini, kenapa aku selalu diawasi. Aku tidak pernah memberitahumu karena aku tidak ingin kau terlibat, Faustine. Tapi sekarang aku pergi, jadi mungkin kau harus tahu. Aku dulu—"
"Tunggu." Faustine memotong, ekspresi wajahnya berubah menjadi lebih keras. "Jangan berpikir kau bisa pergi begitu saja setelah mengatakan hal itu. Kau berutang penjelasan padaku."
Ezra tertegun lalu tersenyum sembari perlahan berdiri. "Kalau begitu ikutlah denganku. Akan kuceritakan semuanya di perjalanan."
Faustine tertawa diantara air mata menggenang di matanya. "Kau bodoh sekali, Ezra."
Dan sebelum Ezra bisa menanggapi, Faustine mendekat dan memeluknya, menenggelamkan wajahnya. Sebuah pelukan yang penuh kehangatan, penuh dengan perasaan yang tak pernah terucapkan. Ezra bisa merasakan detak jantung Faustine yang cepat, napasnya yang tersengal di telinganya.
"Aku akan merindukanmu," bisik Faustine di telinga Ezra, suaranya penuh harap. "Dan, jangan lupakan diriku," sebelum akhirnya melepaskan pelukan itu dan melangkah mundur.
Supir bus, seorang pria tua dengan seragam lusuh, menatap mereka dari balik kaca, menunggu penumpang yang mungkin akan naik. "Sampun mas? Nek kelamaan tak tinggal."
Merasa ditunggu oleh supir bus, Ezra beranjak pergi. "Waduh, dah ditunggu tuh."
Ezra menatap Faustine dalam-dalam, seakan ingin mengingat setiap detail dari wajahnya. Hening sejenak menyelimuti mereka, hanya suara angin yang berbisik di antara dedaunan kering dan deru mesin bus yang terus berputar.
"Aku juga akan merindukanmu, Faustine," Ezra akhirnya berkata, suaranya lirih.
Faustine mengangguk pelan, meskipun matanya berkaca-kaca. Dia ingin menghentikan Ezra, ingin bertanya lebih banyak, tapi kata-kata terasa tertahan di tenggorokannya. Dia hanya bisa berdiri di sana, berjuang melawan air mata yang hampir jatuh.
Ezra melangkah menuju pintu bus, tapi sebelum ia naik, ia berhenti sejenak dan menoleh. "Kau benar, aku memang bodoh. Bodoh karena tidak pernah menyadari betapa berartinya dirimu selama ini."
Mata Faustine membulat, tak percaya mendengar pengakuan yang terlontar begitu saja. Sebelum dia bisa menjawab, Ezra sudah melangkah masuk ke dalam bus. Pintu bus tertutup dengan bunyi desis, seolah menjadi penanda akhir dari kisah mereka.
Bus perlahan mulai bergerak, meninggalkan halte yang kini terasa semakin sepi. Faustine hanya bisa berdiri terpaku, melihat Ezra yang duduk di bangku belakang, menatapnya melalui jendela kaca. Senyuman tipis terukir di wajahnya, senyuman perpisahan yang pahit.
Angin sore berhembus lebih kencang, membawa aroma hujan yang semakin dekat. Faustine melambai pelan, sebuah lambaian perpisahan yang terasa berat. Ezra membalas dengan anggukan kecil, dan kemudian bus berbelok, menghilang dari pandangan.
Kini hanya tersisa keheningan di halte itu, seolah semua kenangan yang mereka lalui selama tiga tahun di sekolah berputar di dalam benak Faustine.
Faustine menghela napas panjang, menutup mata sejenak, membiarkan setetes air mata jatuh di pipinya. "Selamat jalan, Ezra," bisiknya pelan, seakan angin akan membawa ucapannya pada pemuda itu.
Dan dengan itu, hari terakhir mereka berakhir. Faustine tetap berdiri di sana, dengan semua kenangan dan perasaan yang tak pernah terucap. Dalam hatinya, dia tahu bahwa meski mereka berpisah sekarang, kenangan ini akan terus hidup. Dia belajar untuk menghargai apa yang ada di hadapannya, sebelum semuanya terlambat.
Sebab terkadang, yang terpenting bukanlah siapa yang menang atau kalah, tapi bagaimana kita menghargai setiap detik yang kita miliki bersama seseorang.