Langkah-langkahku mengantarkanku pulang dalam senja yang mulai menggelap. Rasa lega bercampur dengan kekhawatiran saat aku mendekati rumah. Pintu depan terbuka dan cahaya hangat menyambutku dari dalam.
"Joon-ho, kamu sudah pulang?" suara ibuku terdengar dari dapur, sebuah nada yang selalu membuatku merasa kembali ke tempat yang aman.
"Ya, Umma," jawabku seraya melepas sepatu dan menggantungkan tas sekolahku. Aku melangkah menuju dapur, menemukan ibuku sedang sibuk dengan persiapan makan malam. Aroma masakan khas rumah mengisi udara, mengingatkanku pada masa-masa yang lebih sederhana, sebelum aku terjebak dalam perangkap waktu.
"Bagaimana hari di sekolah?" tanyanya, sambil menoleh untuk memberikan senyumnya yang lembut.
"Biasa saja," jawabku, mencoba menyembunyikan hal yang sebenarnya aku rasakan. Aku tidak ingin membuatnya khawatir atau terlibat dalam masalah yang kini kuemban. "Aku menghabiskan waktu dengan Min-ji setelah sekolah, dia mengajariku menggambar."
"Oh, itu bagus. Aku senang kamu membuat teman," kata ibuku, namun matanya menyelidik, seolah mencari sesuatu yang mungkin aku sembunyikan. Ibu selalu bisa merasakan jika ada sesuatu yang menggangguku.
"Umma, apakah pernah ada kejadian aneh di taman dekat sekolah yang sering kita lalui?" tanyaku, mencoba mencari informasi tanpa mengungkapkan terlalu banyak.
Ibuku berhenti sejenak, matanya mengerut seakan menggali memori. "Taman itu? Hmm, tidak banyak yang aku dengar, tapi memang beberapa tahun yang lalu, ada beberapa kejadian yang tidak menyenangkan. Mengapa kamu tanya?"
"Hanya penasaran saja," jawabku, berusaha terdengar se-ringan mungkin. "Min-ji bilang dia merasa tempat itu agak menyeramkan."
Ibuku mengangguk, tampak mengerti. "Tempat-tempat tertentu memang bisa memberikan perasaan seperti itu. Tapi selama kamu berhati-hati, semuanya akan baik-baik saja."
Makan malam berlangsung dengan obrolan ringan lebih lanjut tentang hari itu dan rencana untuk besok. Namun, pikiranku terus melayang ke Min-ji dan misi yang harus aku selesaikan. Setiap petunjuk kecil dari ibuku tentang masa lalu, setiap detail tentang taman bisa menjadi penting.
Setelah makan malam, aku naik ke kamarku, merasa berat dengan semua yang harus kupikirkan. Di kamar, aku duduk di meja belajarku, mengeluarkan buku catatan kecil dan mulai menulis apa yang telah aku ketahui dan apa yang masih harus aku cari tahu. Setiap detail tentang hari ini, setiap kata yang Min-ji ucapkan, setiap ekspresi wajahnya semua mungkin menjadi kunci.
Keesokan harinya, aku bangun dengan perasaan yang berat, tetapi bertekad untuk melanjutkan pencarianku akan jawaban. Sekolah hari itu tampak seperti biasa, namun setiap gestur dan percakapan kini terasa memiliki bobot yang lebih.
Setelah pelajaran terakhir, aku memutuskan untuk mengunjungi taman yang telah menjadi subjek perbincangan kemarin. Hati-hati, aku berjalan melewati jalan-jalan yang sama yang kami lewati, mencatat perubahan suasana tanpa kehadiran Min-ji di sisiku.
Sesampainya di taman, aku duduk di bangku yang menghadap ke semak-semak yang Min-ji tunjukkan kemarin. Mengambil buku catatanku, aku mulai mengamati dengan lebih detail, mencari sesuatu yang mungkin terlewat oleh mata biasa. Apakah ada tanda-tanda yang bisa membantuku memahami mengapa tempat ini terasa menyeramkan bagi Min-ji?
Sementara aku tenggelam dalam pemikiran, sebuah suara halus membuyarkan konsentrasiku. "Joon-ho? Apa yang kamu lakukan di sini sendirian?" Suara itu milik Min-ji, yang tampaknya pulang lewat taman juga.
"Oh, aku...," aku berusaha mencari alasan yang masuk akal, "...aku hanya sedang menikmati udara segar setelah hari yang panjang di sekolah."
Min-ji mendekat, duduk di sampingku di bangku taman. "Aku sering merasa taman ini memiliki aura yang aneh. Mungkin karena itu aku merasa tidak nyaman kemarin," ucapnya, matanya memandang ke arah semak yang sama.
"Mungkin ada hal yang belum kita ketahui tentang tempat ini," sahutku, hati-hati dengan kata-kataku. "Kamu pernah mendengar cerita apa pun tentang taman ini?"
Min-ji menggeleng pelan. "Tidak, hanya... hanya perasaan saja. Tapi, kadang perasaan itu kuat sekali. Kamu tidak pernah merasakannya?"
Aku mengangguk, mencoba menunjukkan empati. "Ya, terkadang tempat-tempat tertentu memang bisa memberikan kita perasaan yang kuat. Mungkin kita bisa mencari tahu lebih lanjut. Mungkin ada yang tertinggal atau tersembunyi."
Min-ji tampak berpikir sejenak sebelum menanggapi. "Mungkin. Aku hanya berharap tidak ada yang buruk yang terkait dengan tempat ini."
Kami berdua duduk dalam diam sejenak, merenungkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. Kemudian, dengan keberanian yang tumbuh, aku memutuskan untuk mengajak Min-ji berjalan-jalan di sekitar taman, mencari tahu lebih lanjut tentang setiap sudut dan celah yang mungkin menyimpan cerita atau petunjuk.
Min-ji dan aku mulai berjalan mengelilingi taman, memerhatikan setiap detail dari lingkungan sekitar. Taman ini, dengan pohon-pohon tuanya dan semak-semak yang lebat, menyembunyikan lebih dari yang terlihat.
"Mungkin kita bisa memulai dengan mencari tahu sejarah taman ini," usulku saat kami berjalan perlahan. " Kemungkinan di perpustakaan kota ada catatan tentang tempat ini."
Min-ji mengangguk. "Itu ide yang baik. Aku sering lupa bahwa kadang jawaban bisa ditemukan di buku-buku tua atau arsip berita."
Kami terus berjalan, mencapai bagian taman yang lebih sepi. Di sini, jauh dari jalur utama, suasana menjadi lebih hening, suara-suara kota yang ramai mulai meredup. Di sebuah sudut yang tertutup oleh pohon-pohon besar, kami menemukan sebuah patung tua, ditutupi lumut dan tampak terlupakan.
"Kamu pernah melihat ini sebelumnya?" tanya Min-ji, suaranya berbisik, seolah takut mengganggu ketenangan yang ada.
"Aku tidak yakin," jawabku, mendekat untuk memeriksa lebih dekat. Patung itu menggambarkan seorang wanita dengan ekspresi sedih, tangannya memegang sebuah jam pasir. "Tapi ini menarik. Lihat, dia memegang jam pasir. Mungkin simbol waktu?"
"Sepertinya ada sesuatu yang lebih tentang patung ini," kata Min-ji, matanya mempelajari setiap detail. "Lihat, di dasarnya ada semacam plakat. Tapi sulit dibaca karena lumutnya."
Kami berdua berjongkok, menggosok-gosok permukaan plakat itu dengan hati-hati, berusaha mengungkap apa yang tertulis. Setelah beberapa saat, kata-kata mulai terlihat lebih jelas, "Wanita yang Menunggu – diresmikan untuk mengenang mereka yang hilang tanpa jejak."
"Menunggu? Mengenang yang hilang?" Min-ji terdengar bingung dan sedikit ngeri. "Joon-ho, apakah kamu pikir ini ada kaitannya dengan apa yang kita cari?"
"Mungkin," jawabku, perasaan aneh mulai menyelimutiku. "Mungkin taman ini dulunya tempat untuk mengenang orang-orang yang menghilang secara misterius. Dan mungkin, hanya mungkin, ini terkait dengan alasan mengapa kamu merasa tidak nyaman di sini."
Kami memutuskan untuk lebih banyak mencari tahu tentang patung itu dan taman secara keseluruhan. Menyadari bahwa hari sudah mulai gelap, kami sepakat untuk kembali keesokan harinya dengan peralatan yang lebih baik untuk membersihkan plakat dan mungkin menemukan lebih banyak petunjuk.
"Jangan beritahu siapa-siapa tentang ini," pesanku pada Min-ji saat kami berpisah di gerbang taman. "Kita tidak tahu apa yang bisa terjadi."
Min-ji mengangguk serius, matanya bertemu pandanganku. "Aku percaya padamu, Joon-ho. Kita akan mencari tahu ini bersama."
Pagi berikutnya, aku bangun dengan tekad yang membara. Setelah menyiapkan tas dengan beberapa alat yang mungkin diperlukan seperti sikat kecil, kamera, dan catatan, aku berangkat lebih awal ke sekolah. Rencanaku adalah bertemu dengan Min-ji setelah sekolah dan langsung pergi ke perpustakaan kota untuk mencari informasi tentang patung tersebut dan taman tempat kami menemukannya.
Sekolah berlalu lambat hari itu. Aku hampir tidak bisa berkonsentrasi pada pelajaran, pikiranku terus melayang ke patung misterius dan plakat yang hampir tidak bisa dibaca itu. Akhirnya, bel sekolah berbunyi menandakan hari sudah selesai, dan aku bergegas menemui Min-ji di pintu keluar.
"Siap?" tanyaku begitu melihat Min-ji sudah menunggu dengan tasnya juga.
"Siap," jawabnya dengan semangat. Kami berdua berjalan cepat menuju perpustakaan kota, sebuah bangunan tua dua lantai yang terkenal dengan koleksi arsipnya yang luas.
Di perpustakaan, kami meminta bantuan pustakawan untuk menemukan informasi tentang taman dan patung yang kami temukan. Setelah beberapa waktu mencari melalui katalog digital dan beberapa arsip lama, kami menemukan beberapa artikel lama tentang pembukaan taman tersebut.
"Taman ini dibuka pada tahun 1954, dan patung itu didirikan untuk mengenang mereka yang hilang selama perang," aku membaca nyaring dari salah satu artikel berdebu. "Tampaknya ini adalah tempat peringatan bagi keluarga yang tidak pernah mengetahui nasib orang-orang terkasih mereka."
Min-ji menyimak dengan serius. "Itu menjelaskan aura sedih yang aku rasakan di sana. Tapi, mengapa aku merasa ada yang lebih?"
Kami terus membaca, mencari lebih banyak detail yang bisa menghubungkan patung itu dengan peristiwa-peristiwa aneh atau mungkin kejadian supernatural lainnya yang mungkin tercatat dalam sejarah lokal.
Setelah beberapa jam mencari, kami menemukan referensi tentang seorang seniman yang membuat patung tersebut. "Seniman ini, menurut catatan, terobsesi dengan konsep waktu dan keabadian," aku membacakan bagian itu. "Dia meninggal dalam keadaan misterius tak lama setelah patung itu diresmikan."
Min-ji dan aku saling pandang, merasa bahwa kami mungkin mulai mengikis permukaan misteri yang lebih dalam. "Kita perlu kembali ke patung itu," usul Min-ji. "Kita perlu melihat apa lagi yang bisa kita temukan."
Malam itu, kami berdua pulang dengan kepala penuh pertanyaan tapi juga dengan harapan. Ada banyak yang belum kami ketahui, tapi langkah yang kami ambil sudah membawa kami lebih dekat pada jawaban yang mungkin bisa menjawab semua kegelisahan Min-ji dan juga rasa penasaran yang tumbuh di hatiku.