Orang mengatakan bahwa Memori bagaikan sarang laba-laba, menari dengan indah selagi memancarkan silaunya esensi kehidupan kita, membentang dan tersambung dengan kompleks tidak hanya di akal namun juga dengan emosi yang kita rasakan.
Layaknya laba-laba yang menari ketika menenun sarangnya, manusia juga menari ketika menenun memorinya. Setiap utas tipisnya menyimpan masa lalu, kenangan tersebut terkandung di tiap untaian yang kita rajut, seperti menulis keberadaan kita di dunia.
Di dalam jaring yang halus ini semua tergambarkan. Setiap helai membisikkan kisah, setiap helai mengandung tangis namun juga mengandung tawa, setap helai tidak hanya memperlihatkan kemenangan namun juga kekalahan. Semua hal tersebut yang tak terhitung jumlahnya di untai, diterkaitkan satu sama lain menjadi satu bahagian yang kompleks.
Akan tetapi layaknya sarang laba-laba yang bergetar ketika ditiup angin, ingatan juga rapuh, terkaburkan dengan kabut waktu sembari menanggung rasa takut akan dilupakan, memori bisa hilang ataupun terfragmentasi. Menunjukan hal yang indah seperti ini pun memiliki kecacatan tak terhindarkan.
Namun seperti laba-laba yang giat merawat sarangnya, kita juga tanpa lelah Melestarikan memori kita. Menangkap informasi, menenun untaian-untaian baru sembari memperluas bentangan kompleks memori kita dengan pengalaman yang kita dapatkan.
Pastinya seperti sarang laba-laba, memori bisa menipu, mempermainkan persepsi kita dengan informasi yang ia telan, memori akan selalu tumbuh menjadi lebih besar dan rumit.
Untaiannya akan menjadi berantakan, mengikat kita dalam ketidakpastian, lama kelamaan mendistorsi apa yang jelas dan nyata di akal kita, hingga tanpa kita sadari.
Memori memakan diri kita.