Di dalam bisu yang menyelimuti dungeon tua, raungan batu dan jeritan menciptakan simfoni yang mencekam. Dia berdiri di atas genangan darah korban-korbannya, mayat-mayat tergeletak tanpa aturan, pemandangan mereka yang mengenaskan mencipta penglihatan suram.
Dia berdiri di sana, matanya yang dulunya hitam pekat, kini berubah, pupilnya berwarna biru yang menunjukkan kesadaran yang kembali meresap. Rambutnya yang hitam perlahan-lahan berubah menjadi emas, dan kulitnya yang dulunya hitam legam kini pulih, tidak lagi kelam seperti sebelumnya.
Setelah kesadarannya kembali, dia menoleh dan menatap sekeliling dengan pupil birunya, matanya menelusuri mayat demi mayat yang terhampar—satu, dua, lima, sembilan. Dia mengenali setiap wajah yang terbaring tak bernyawa di hadapannya. Kesadaran penuh ini membawanya pada kenangan pahit—kenangan akan tugas yang diemban dan rekan-rekan yang kini menjadi korban.
Dia mengingat dengan jelas sepuluh pahlawan dari berbagai benua yang telah dikumpulkan oleh Raja Tytoal-ba untuk menguasai dungeon kuno di Wetlands. Dunoa si Abu, Goria si Raksasa, dan Sophia the Second adalah tiga pahlawan pertama yang tiba di Tytoal-ba, disusul oleh Rushoa, Fiammie si kembar, Gargant, dan Tunoa, yang masing-masing datang dengan kapal yang berbeda.
Mereka terpikat oleh selebaran yang tersebar di papan guild atau ditugaskan oleh raja dari tanah air mereka sendiri.
Ke-8 orang itu berkumpul di aula kerajaan, dipersatukan dengan tujuan yang sama untuk menjarah dungeon kuno yang ditemukan oleh Kaleb, putra sulung Raja Tytoal-ba. Mereka dijanjikan kekayaan dan kehormatan, sebab legenda mengatakan dungeon itu telah ada sejak zaman pertama dan siapa pun yang berhasil menaklukkannya akan mendapatkan hadiah yang tak mereka kira.
Jika dia tidak salah menghitung, ada delapan orang pahlawan, ditambah Kaleb dan ajudannya, serta seorang pemandu bernama Fionn yang memasuki dungeon.
Alunan memorinya mendadak terputus, seakan-akan tabir kabut turun menyelimuti ingatannya yang lalu pelan-pelan terangkat saat dia memfokuskan pikiran. Tanpa diduga, dia menatap apa yang digenggamnya erat; pupilnya melebar saat ia menyadari bahwa yang ia pegang bukanlah senjata, melainkan sebuah tangan dan kaki yang terlihat diputus secara paksa. Refleks, dengan nafas yang tersengal, ia melemparkan keduanya ke tanah. Matanya bergerak cepat, menyisir sekeliling, mencari pemilik anggota tubuh tersebut. Ia memeriksa setiap detail, ornamen dan sobekan pada pakaian yang masih melekat pada kedua anggota tubuh itu—semuanya adalah tiruan sempurna dari apa yang biasa dikenakan oleh Kaleb.
Sesosok bayangan dalam ingatan tentang Kaleb, dengan pakaian serupa, mulai terbentuk kembali dalam benaknya. Pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab mulai berkecamuk dalam pikiran, mencoba memahami bagaimana dan mengapa bagian-bagian tubuh ini berakhir di tangannya.
Sadar akan keadaan dirinya sendiri, ia menyadari bahwa selama ini ia tak memakai sehelai pakaian pun, tangan dan tubuhnya penuh dengan darah. Sebuah rasa dingin menyelusup ke tulang-tulangnya, dan dalam kepanikan, ia bergegas mencari sumber air terdekat. Matanya menangkap kilauan cahaya pada genangan air yang tercipta dari sihir melalui pertarungan sebelumnya. Tanpa berpikir panjang, ia berjalan dengan sempoyongan, seolah-olah jiwanya belum kembali sepenuhnya, terpecah oleh kejadian mengerikan yang baru saja ia saksikan
Dia jatuh ke genangan air yang tersisa dari pertarungan, panik, ia mulai membersihkan setiap tetes darah yang menempel pada tubuhnya. Dari wajah hingga ke seluruh tubuh, ia tidak berhenti menyiram semuanya, mencoba menghapus bukti kekejaman yang belum ia mengerti.
"Apa yang terjadi?!" pikirnya dalam kebingungan. Ia tidak bisa mengingat kenapa ia memegang bagian tubuh Kaleb, mengapa tubuhnya penuh darah, atau mengapa ia tanpa busana. Setiap kali ia mencoba menarik kembali kenangan tersebut, ingatannya selalu gagal muncul.
Tangannya berhenti menyiram, riak di air masih terus bergerak. Tiba-tiba, sebuah pertanyaan muncul dalam benaknya, "Siapa aku?" Sungguh aneh, seharusnya ia tahu siapa dirinya, namun saat itu, semuanya terasa asing baginya.
Riak di air mulai mereda perlahan, ia mengusap wajahnya dengan air, mencari kejernihan dalam refleksi yang mulai terbentuk. Akhirnya, wajah yang ia kenal terpantul jelas di genangan itu.
Ia bangkit, sebuah rasa ketidakpercayaan menyergapnya. Ia yakin pernah melihat wajah itu, baru-baru ini, sangat baru. Tanpa menunggu lebih lama, ia berlari ke tempat terakhir ia ingat melihat wajah itu. Langkahnya cepat, hingga ia sampai di tujuan.
Nafasnya terengah saat ia berdiri di depan mayat yang ia kenali. Kondisinya tidak seburuk yang lain, tampaknya ia mati lebih damai meski lubang di dada kirinya begitu mencolok.
Mayat pria itu tampak muda, sekitar 16 tahun, dengan postur tubuh standar, rambut emas, dan mata biru. Ia terbaring telungkup, lantai dungeon terlihat melalui lubang di dadanya. Ia terdiam sejenak, tubuhnya gemetar dan dia mulai mundur perlahan, terguncang oleh realisasi yang mendalam.
"Bagaimana bisa!?" ujarnya dengan nada kebingungan. Sekali lagi, ia menyentuh wajahnya, lalu memperhatikan lelaki berambut emas di depannya.
Tak salah lagi itu Fionn, pria yang disewa oleh Kaleb untuk jadi pemandu di dungeon ini akan tetapi bukan itu yang membuatnya kaget. Nafasnya terengah dan tubuhnya masih gemetar.
Dia mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu. Perlahan, ia berjongkok, mendekatkan diri untuk memastikan apa yang mulai terasa sebagai kebenaran yang tidak terelakkan. Mata yang tajam menatap ke dalam wajah yang terbujur di hadapannya, mencari setiap tanda yang bisa membenarkan kecurigaannya.
"Tak salah lagi," gumamnya, suara bergetar saat ia menelan ludah. Orang yang tergeletak tak bernyawa di depannya memiliki fitur yang identik dengan yang baru saja ia saksikan dalam refleksi air—itu adalah wajah yang sama.
Wajah yang ia kenal, ingatan yang sekarang mulai terhubung kembali, dan semua fakta yang ia susun mengarah pada satu kesimpulan yang mengejutkan: dia, tanpa sadar, adalah Fionn sang Pemandu.
Dihantui oleh pertanyaan yang tidak ada habisnya, dia merasa seolah otaknya dipenuhi dengan teka-teki yang semakin membingungkan. "Bagaimana mungkin?" dia bergumam lagi, kebingungan murni tergambar jelas di wajahnya. Kenapa dia, yang memiliki wajah yang sama dengan mayat di depannya, berlumuran darah? Siapa yang asli dan bagaimana bisa dia lupa sampai sejauh ini tentang dirinya sendiri?
Gelombang informasi itu terasa begitu berat, membuatnya sulit untuk berpikir jernih. Satu-satunya pikiran yang jelas baginya saat itu adalah kebutuhan untuk meninggalkan tempat itu secepat mungkin.
"Aku harus pergi dari sini," katanya, suaranya lelah tapi tegas. Dia meraih baju milik 'Fionn' yang tergeletak tak jauh darinya, sebuah baju putih dengan rompi coklat tanpa kancing yang telah robek besar di dada, tembus dari depan ke belakang. Meskipun baju itu jauh dari kondisi sempurna, dia memakainya dengan sebuah kepercayaan diri yang didorong oleh kebutuhan untuk bertahan hidup. Dia juga mengambil celana kain abu-abu untuk melengkapi penampilannya, berusaha menutupi semua kulitnya yang terlihat.
Dia sadar bahwa mengambil pakaian para pahlawan mungkin bukan pilihan terbaik—kondisinya tidak lebih baik, dan hal itu bisa memancing kecurigaan lebih lanjut dari siapa pun yang mungkin ia temui di luar. Walau pakaian 'Fionn' yang ia kenakan juga jauh dari sempurna, setidaknya ini memberinya semacam kamuflase.
Memanfaatkan kenangan si pemandu yang terus muncul, Fionn merasa seolah-olah dia dipandu oleh naluri yang lebih tua dari dirinya sendiri. Langkahnya menjadi lebih pasti, semangatnya terbarukan dengan setiap detik yang berlalu. Ia berlari, mengikuti jejak para pahlawan yang telah melangkah sebelumnya, setiap belokan dan setiap lorong yang dia kenali membawanya lebih dekat ke kebebasan.
Ia belok ke kanan, larinya tanpa henti. Dari jantung dungeon sampai ke pintu masuk, hanya ada empat belokan lagi. Setiap langkah membawanya lebih dekat ke cahaya, dan dengan setiap hembusan napas, ia merasakan kelembapan dungeon yang menyesakkan berkurang.
"Akan tetapi harus kemana?" batin Fionn dalam dilema sementara dia mengejar kebebasan. Lorong-lorong gelap semakin terasa kering, dan udara menjadi lebih segar dengan setiap langkah yang diambilnya. Belokan terakhir terlampaui, dan ia tiba di pintu masuk.
Cahaya menembus kegelapan, membanjiri pandangannya setelah belokan terakhir itu. Fionn tidak memperlambat langkahnya, bahkan ketika cahaya mulai menyebar dari celah pintu, dan dinding energi transparan yang kental dan menghalangi jalan semakin terlihat. Semakin dekat ia mendekat, semakin jelas batas yang menghalanginya.
Tiba-tiba perasaan janggal menyelimuti Fionn. Ada yang tidak beres. Ia berusaha keras mengingat kembali detail-detail penting, memperjuangkan setiap fragmen memori yang mungkin memberikan petunjuk. Langkahnya berhenti tepat di pintu masuk, wajahnya hanya beberapa senti dari pintu transparan tersebut.
Menghitung kembali, Fionn menyadari ada ketidakcocokan yang mengerikan dalam ingatannya. Jika sembilan jenazah tergeletak di sana, dan dia ingat dengan jelas bahwa sepuluh orang—ditambah dirinya sebagai pemandu—masuk ke dalam dungeon ini, maka ada satu orang yang belum terhitung. Ia tahu ingatannya tak pernah berdusta, keputusannya sekarang adalah harus tetap berbalik atau keluar, semuanya hanya tersisa satu langkah.
"Tapi siapa?" gumam Fionn bingung. "Aku sudah menghitung semua, harusnya kesepuluh pahlawan ada di sana, termasuk Kaleb dan ajudannya, bahkan Fionn si Pemandu." Perasaan bahwa ada sesuatu yang sangat salah kian memperkuat genggaman kecemasan di hatinya.
"Jika aku kembali ke sana, ada kemungkinan keamanan kerajaan akan datang ke sini untuk mencari Kaleb," lanjutnya, sambil mempertimbangkan bahwa waktu adalah elemen yang tak bisa diprediksi. Bagaimana jika keamanan kerajaan sudah dalam perjalanan? Atau lebih buruk, bagaimana jika mereka sudah tiba?
Atmosfer menjadi semakin menyesakkan, seolah-olah udara itu sendiri berusaha mencegah dia bernapas. Ini bukan hanya karena lelah berlari, tapi ada sesuatu yang tidak menyenangkan yang mulai merasuk ke dalam benaknya.
Tiba-tiba, Fionn menangkap bayangan di sudut matanya. Ada pergerakan—samar, tapi nyata. Mungkinkah ini penjaga atau salah satu pahlawan lain yang belum ia sadari sebelumnya? Jantungnya berdegup kencang, menghitung risiko untuk melangkah lebih jauh ke luar.
"Harus ada yang terlewat," bisiknya, berbicara kepada refleksi dirinya yang tercermin di pintu. "Ada seseorang lagi... atau sesuatu yang belum terhitung."
Dia mengambil langkah mundur, hati-hati menoleh kembali, seakan menyiapkan diri untuk segala kemungkinan. Namun, apa yang terlihat membuatnya menghentikan langkahnya seketika, terpaku oleh pemandangan yang mengerikan.
Di depannya, seorang pria berdiri dalam kondisi menyedihkan. Luka-luka parah menghiasi tubuhnya, tangan kirinya terkulai tidak berdaya, tampak hancur. Wajahnya hampir tak bisa dikenali lagi—terlalu banyak luka—tetapi warna rambutnya, yang seakan bermandikan darah, sama persis dengan warna yang Fionn familiar dalam memorinya.
Fionn menatap, matahari kelegaan menyinari wajahnya seiring dia mengenali sosok yang tergeletak di depannya. "Kau... Kembaran Fiammie..." ujarnya perlahan, suara penuh dengan rasa terkejut yang bercampur lega. "Bagaimana mungkin? Syukurlah, masih ada yang selamat."
Rasa tegang yang sempat membelenggu tubuhnya mulai mereda, postur tubuhnya menjadi lebih santai daripada sebelumnya, dan napasnya kembali teratur.
Naas semua itu cepat sirna
Fionn, yang tadinya merasa lega menemukan Fiammie masih hidup, tiba-tiba merasakan ketegangan mengalir kembali ke dalam tubuhnya. Atmosfer di sekitarnya berubah, udara menjadi lebih berat, dan ia mulai kesulitan untuk bernapas lagi. Aura amarah yang nyata mengisi udara di sekeliling mereka, dan sumbernya berasal dari...
"JANGAN MENDEKAT!!!" teriak Fiammie, sambil mengarahkan tangannya yang memancarkan sedikit aura merah di sekitar telapaknya.
Jantung Fionn nyaris melompat keluar mendengar teriakan itu. Di hadapannya, Fiammie masih mengangkat tangannya, menunjukkan ketakutan dan pertahanan. "Fiammie, ini aku! Fionn, pendampingmu... Kau mengenaliku, bukan?" kata Fionn, suaranya mencoba menembus kepanikan yang jelas terlihat di wajah Fiammie.
Seulas senyum tipis muncul di wajah Fiammie, namun kata-katanya penuh dengan kebencian yang mendalam. "Monster yang berlagak seperti manusia," katanya dengan nada sinis. "Aku melihat apa yang telah kau lakukan, bajingan. Fionn yang sebenarnya sudah mati saat kau menghabisi pahlawan lain."
"Kau hanyalah monster yang mengambil kulitnya," lanjut Fiammie, marah. Aura panas mulai berkumpul di tangannya, membentuk bola energi seukuran tinju orang dewasa yang semakin padat dan semakin panas, mirip miniatur matahari, mengambang tepat di depan tangannya.
Memori terus bergulir di benak Fionn, tapi ia masih tidak bisa memahami atau mengingat apa yang dituduhkan Fiammie padanya. Dia yakin pada identitasnya—dia adalah Fionn yang sebenarnya.
"Apa kau tidak salah mengira orang yang telah mati di sana adalah monster tersebut dan aku adalah Fionn yang asli?" tanya Fionn, berusaha menjernihkan kesalahpahaman. "Tolong, turunkan tanganmu, akan kubawa kau ke dokter yang kutahu dan akan kuantar kau ke Tytoal-ba."
Namun Fiammie tidak bergeming, tangannya masih terangkat, dan bola energi miniatur matahari yang ia ciptakan semakin padat dan semakin panas. Aura merah yang sebelumnya hanya berkumpul di depan tangannya kini mulai menyelimuti seluruh lorong, mengubah suasana menjadi semakin menegangkan.
Dinding lorong yang awalnya basah mulai kering dan kemudian mulai mencair karena panas yang luar biasa dari bola energi. Ketakutan nyata tergambar di wajah Fionn; dia bisa saja memilih untuk mundur dan keluar, tetapi dia tahu bahwa ia tidak bisa membawa Fiammie jika ia pergi.
"Makhluk mengerikan sepertimu tidak boleh sampai bisa keluar dari dungeon ini," teriak Fiammie, suaranya menggema dengan tekad. "Sudah tugasku sebagai pahlawan yang tersisa untuk membalaskan dendam rekan-rekan ku."
「Insolo」—mantra tersebut keluar dari mulut Fiammie. Miniatur matahari itu meluncur cepat ke arah Fionn. Jarak antara mereka tidak lebih dari 10 meter, dan bola panas itu meluncur dengan kecepatan yang menakutkan menuju Fionn.
Dalam detik-detik yang kritis itu, Fionn terpaku di lorong, merasa seolah kakinya tidak bisa bergerak. Dia ingin berbalik dan melompat keluar, namun terasa mustahil untuk melarikan diri. Miniatur matahari 「Insolo」 yang semakin mendekat menambah tekanan, tetapi tiba-tiba, aliran memori yang tak terduga membanjiri pikirannya.
Secara instinktif, tangannya bergerak. Tangan kanannya terulur ke depan, sementara telapak tangan kirinya menyangga telapak kanan, sebuah gerakan yang seolah sudah lama ia kenal. Dengan kecepatan yang mengejutkan, sebuah massa energi hitam padat mulai terkumpul di depan telapak tangan kanannya, mengambang dan semakin membesar, membentuk bola yang pekat dan gelap sebesar bola kasti.
Jarak antara Fionn dan 「Insolo」 yang mematikan semakin menipis, dan tanpa pilihan lain, ia menutup tangan kanannya dan kemudian membukanya lagi, seolah mendorong bola hitam itu keluar dari telapak tangannya. Bola hitam itu meluncur dengan kecepatan tinggi, menciptakan gelombang kejut yang membuat Fionn terpental sedikit.
Bola hitam itu bertabrakan dengan 「Insolo」 dan meledak menembusnya. Miniatur matahari yang tadinya mengancam sekarang pecah berantakan, meledak menjadi debu tanpa meninggalkan apapun yang mengarah ke Fionn.
Sementara itu, Fiammie terkejut melihat serangan balik Fionn yang tiba-tiba itu. Ekspresi kaget tergambar jelas di wajahnya saat bola hitam tanpa halangan meluncur cepat menuju dirinya. Dalam sekejap, bola hitam itu menembus dada Fiammie, yang hanya bisa menatap dengan mata terbelalak tanpa bisa bereaksi.
Ketika Fiammie meraba-raba lubang di dadanya dengan tangan kanan, ekspresi kebingungannya berubah menjadi tatapan tajam yang menyentuh Fionn di seberang sana. "Dasar monster," ucap Fiammie dengan senyum licik yang tersungging di wajahnya, menandakan suatu kepuasan sinis sebelum tubuhnya ambruk beberapa detik kemudian. Bunyi tubuhnya terjatuh menggema dalam kesunyian, menusuk telinga Fionn yang hanya bisa terpaku menatapnya dengan rasa tak berdaya.
"TUAN FIAMME!!!" teriak Fionn, lari mendekat dan segera memeluk tubuh Fiammie yang tergeletak. Panik dan ketakutan terpancar jelas di wajahnya saat dia mencoba mengerti apa yang baru saja terjadi. "Oh tidak, maafkan aku, aku tidak tahu apa itu tadi," ucapnya dengan suara gemetar,
Cahaya di mata Fiammie perlahan menghilang, tetapi ia masih mampu tersenyum lemah, menyaksikan Fionn yang berada di sisinya dalam keadaan panik. "Apa yang dilakukan monster ini?" gumam Fiammie dalam pikirannya saat-saat terakhirnya. Upaya terakhirnya untuk membalas dendam atas pahlawan lain gagal, dan ia mati di tangan pemandu yang ia anggap musuh.
Fionn merasakan berat tubuh Fiammie yang semakin ringan di pelukannya, sebuah tanda tak terbantahkan bahwa nyawa telah meninggalkan tubuh kawannya itu. "Apa itu tadi..." bisiknya dengan suara yang tercekat, sementara air mata mulai menetes deras di pipinya, membasahi wajah Fiammie yang kini pucat dan dingin. "Refleks, benar, hanya refleks. Aku tidak sengaja mengeluarkan itu." Suaranya terdengar hampa, seolah-olah ia sendiri tidak yakin dengan kata-katanya.
Ia mengangkat kedua tangannya ke udara, seakan mencari pemahaman atau pengampunan dari kekuatan yang tak terlihat, rasa sakit dan penyesalan memenuhi suaranya, "Dia menyerangku duluan, jadi aku membela diri." Namun, saat katanya itu terucap, ia merasa seolah berbicara ke ruang kosong, mencoba meyakinkan diri sendiri lebih dari siapa pun.
Sambil memandang tubuh Fiammie yang tak lagi bernyawa, Fionn terus meyakinkan dirinya. "Benar, aku membela diri," ucapnya, suaranya gemetar mencoba meyakinkan hati dan pikirannya yang kalut. Kenangan tentang waktu-waktu yang dihabiskan bersama Fiammie, sebelum dan sesudah mereka memasuki dungeon, mulai membanjiri pikirannya.
Dia mengingat saat-saat konyol yang mereka bagikan—seperti ketika ia secara tidak sengaja membuat Fiammie terpeleset di depan Kaleb, atau saat ia menyemburkan air ketika Dunoa, tanpa sengaja, membuat wajah lucu. Kenangan-kenangan itu, meski ringan dan lucu, kini terasa pahit di lidahnya, mengetahui bahwa dia secara tidak sengaja telah membawa kematian kepada teman sejawatnya.
Dan sekarang, dengan teriakan terakhir Fiammie yang mengklaim bahwa semua pahlawan telah terbunuh di tangannya, Fionn mulai meragukan segalanya. Dia berusaha keras mengingat kembali kejadian-kejadian itu, mencari memori yang mungkin bisa menjelaskan segalanya, namun tidak ada yang muncul. Keinginan untuk berteriak muncul, sebuah ungkapan dari rasa frustrasi dan kebingungan yang mendalam, tapi ia menahannya dengan sekuat tenaga.
Berdiri dengan sempoyongan, Fionn membulatkan tekadnya. Dalam keputusasaan, ia berkata pada dirinya sendiri, menyusun sebuah narasi yang mungkin membawa beberapa kenyamanan, atau setidaknya, alasan untuk terus berjalan: "Fionn di sana yang palsu, dia yang membunuh semua pahlawan itu. Tragedi ini terjadi karena dia menyamar, dan aku, Fionn sang pemandu, harus keluar hidup-hidup dari sini."
"Tak ada yang salah, para pahlawan mati karena monster dungeon ini, aku bangun dan tahu monster itu telah mati, aku membela diri dan Fiammie mati." Fionn mengulangi kalimat itu berulang kali, menarik nafas dalam-dalam, berusaha menyakinkan dirinya sendiri bahwa tindakannya dibenarkan.
Sekarang, ia berdiri dengan lebih yakin, tubuhnya tegak. Ia melirik sekilas ke arah mayat Fiammie yang tergeletak di hadapannya, air mata menggenang di pelupuk matanya, namun ia menahannya dengan susah payah. Mayat Fiammie terduduk, rambut merahnya yang selaras dengan darah di sekitarnya memberikan pemandangan yang suram. Semua detail fisiknya masih sama seperti saat ia hendak menyerang Fionn, hanya saja sekarang ada lubang besar yang menembus jantungnya, bahkan bisa terlihat dinding dungeon di balik lubang tersebut.
Mengusir semua gambaran itu dari benaknya, Fionn berbalik dan melangkah menuju pintu keluar dungeon, berusaha kembali ke perannya sebagai Fionn sang pemandu.