Galen turun membawa helm full face di tangan nya dan juga dia telah memakai jaket hitam kebanggaan nya. Jaket berlogo burung elang dan ular yang melingkar di bawah elang yang membentangkan sayap nya dengan gagah di punggung nya. Dia melangkah dengan angkuh dan bossy. Ia juga tak lupa memakai slayer hitam untuk menutupi setengah wajahnya. Lalu dia juga tak lupa memakai sarung tangan kulit berwarna hitam.
Beberapa cowok menyapanya dari yang di kelas tiga sampai junior pun menyapa nya. Tidak ada yang merasa tidak segan pada Galen. Karena Galen adalah panutan setiap cowok di sekolah itu maka karena itu rata-rata mereka segan dan hormat pada Galen.
"Halo kak Galen. Gimana kabar kakak?" tanya seorang cowok yang di telinga kirinya ada sebuah anting berbentuk salib.
Cowok itu menyeringai menyapa Galen yang hanya menatap cowok itu sekilas. "Ya!." meskipun begitu Galen tetap menjawab walaupun hanya singkat dan teramat dingin.
"Kak.... "
"Len! Bisa bicara sebentar?"
Seorang cowok dengan setelan seragam rapi dan kacamata bulat dengan rantai yang terpasang di sisi-sisi tangkai nya menyapa Galen begitu saja tanpa membiarkan cowok yang beranting salib melanjutkan perkataan nya.
Galen menoleh dan melihat ketua osis menghampiri nya. Riko nama ketua osis tersebut. "Mau ngomong apa?"
"Ini serius, ikut gue ke ruang osis sebentar." ajak Riko yang berjalan mendahului Galen yang mau tidak mau mengikuti cowok itu dari belakang.
Melihat ekspresi Riko yang serius sepertinya ada masalah genting yang membuat si ketua osis memutuskan untuk membawa-bawa dirinya.
Cowok beranting salib yang hanya ada di telinga kirinya terlihat memasang ekspresi marah. Terlihat jelas dengan ekspresi wajahnya dan kepalan tangan nya. 'sialan.'
Perjalanan memakan waktu sekitar 10 menitan lebih. Riko segera bergegas masuk ke ruang osis yang terlihat kosong dengan Galen yang juga turut masuk dan duduk di kursi yang biasa di tempati Riko sebagai ketua osis.
Cowok itu meletakkan helm nya di atas meja dan duduk santai dengan kaki di silangkan menatap Riko lurus dengan tatapan datar nya.
"Jangan berbasa-basi, to the point aja."
Galen begitu tak sabaran, mengingat ini adalah waktu pulang dan seharusnya dia sudah berada di rumah nya bertemu dengan kesayangan nya tapi sekarang dia malah tertahan di sini bersama Riko cowok yang selama ini tidak pernah sekalipun berurusan dengan nya. Sebenarnya masalah genting apa sampai ketua osis meminta waktunya seperti ini, ia jadi sangat pensaran sekarang.
Riko berjalan mendekat dan berdiri di hadapan Galen yang duduk santai. Tangan kanan dan kirinya ia silangkan di atas paha nya.
"Baru-baru ini sekolah akan menghadiri lomba basket tingkat nasional. Dan basket kita yang terbaik di sini adalah milik lu, gue harap lu bersedia untuk mewakili sekolah untuk maju di perlombaan."
"Gue mohon, bantuan lu kali ini." pinta Riko di iringi dengan badan Riko yang setengah membungkuk.
Galen diam menatap Riko yang membungkuk kepadanya. Sebenarnya sekolah ini punya dua tim basket. Tim milik sekolah sendiri yang di anggotai anak-anak siswa kelas satu dan dua. Lalu ada tim milik Galen yang di anggotai ke tiga sahabatnya dan sisanya adalah kelas 3 lain.
Dan tim basket yang lebih unggul di sekolah ini adalah tim basket milik Galen. Meskipun tim yang di pimpin Galen itu tidak pernah mau mewakili sekolah karena mereka memang membuat tim itu di luar sekolah alias tidak berhubungan sama sekali dengan sekolah. Dan seharusnya perlombaan yang Galen dengar akan di lakukan minggu depan seharusnya di lakukan oleh tim basket yang langsung di pimpin oleh sekolah itu sendiri maksudnya tim basket yang di dibangun oleh pihak sekolah sendiri. Tapi nyatanya tim basket milik Galen lah yang lebih unggul setiap kali kedua tim itu meluangkan waktu bertanding di lapangan basket.
"Apa keuntungan gue ikut lomba itu?" tanya Galen masih dengan ekspresi datarnya. Seakan-akan dia sama sekali tidak tertarik dengan permintaan langsung dari ketua osis.
Melihat ketua osis langsung memohon kepadanya seperti ini, sepertinya dia sama sekali tidak yakin dengan tim basket sekolah. Mengingat tim itu memang sangat jelek di bandingkan dengan tim yang di ketuai Galen langsung.
Tentu saja tarafnya berbeda karena tim yang di ketuai Galen di bawahi langsung oleh pelatih yang berbakat. Itu semua berkat koneksi yang di miliki Galen ya walaupun koneksi milik keluarganya sudah sangat berpotensi. Tapi pelatih tim Galen memang seseorang yang di kenal oleh Galen sendiri. Maka karena itu Galen bisa membangun tim itu dengan mengajak ketiga sahabatnya yang sedari dulu sudah belajar dan suka dengan basket di tambah lagi beberapa lainnya Galen ambil dari beberapa teman-teman sekelasnya atau teman yang ia kenal di kelas lain yang memiliki keunggulan di bidang basket ia tarik untuk bergabung di tim nya. Anggota yang berbakat di tambah pelatih yang ahli, cakap dan mumpuni membuat tim itu naik begitu pesat hingga beberapa kali memenangkan juara tingkat cabang dan tingkat nasional.
"Ada undian uang yang akan kalian dapatkan sedangkan sekolah akan mendapatkan nama itu."
Yang di maksud dengan nama oleh Riko adalah nama harum yang di bawakan oleh tim Galen nanti tentu saja jika mereka menang.
"Lu tau kan gue dan tim-tim gue masih sangat cukup soal materi."
Galen berucap dengan begitu dingin. Tangan kirinya ia angkat dan ia ketuk-ketukkan jari nya di meja besar dan panjang itu yang biasa di gunakan untuk rapat osis.
Riko kembali menegakkan tubuh atas nya dan menatap Galen yang juga sedang menatap Riko.
"Gue tau seberapa banyak yang kalian dapetin dengan prestasi-prestasi kalian di luaran sana, tapi ini menyangkut nama baik sekolah." ujar Riko dengan wajah yang memohon berharap Galen mau dan menerima permintaannya.
Galen diam sedang menimbang-nimbang sesuatu. "Gak ada untung dan rugi nya gue ikut atau gak nya di perlombaan ini. Gue juga gak terlalu perduli kalau nama sekolah ini jelek karena tim basket mereka memang berada di bawah kualivikasi. Tapi... "
Galen menjeda sejenak ucapan nya. Memang ada nada yang menyindir di kalimatnya. Dan ada pula nada tidak pedulinya terhadap sekolahnya sendiri. Sikap seperti inilah yang membuat Riko ragu apakah Galen mau menerima permohonannya ini atau tidak. Dia begitu bimbang. Tapi mengingat ini adalah terakhir kalinya dia membantu sekolah setelah dia akan melepaskan semua tanggung jawab osis ke ketua osis yang baru. Setidaknya dia harus melakukan sesuatu untuk terakhir kalinya untuk sekolah yang telah memberinya ruang untuk menjadi murid di dalamnya.
Galen sendiri sedang memikirkan segala hal di otaknya. Dengan mengiyakan permohonan Riko, teman-teman nya yang lain tidak akan memarahinya karena ini adalah keputusan dia dan teman-teman nya harus menuruti. Tapi Galen tidak mau jika nanti anggotanya malah berpaling darinya karena keputusan sepihak dari Galen tanpa diskusi dengan yang lain. Walaupun Galen adalah ketua tapi anggota nya tentu saja punya tempat untuk memberikan pendapat mereka dan Galen tidak mau merenggut itu dari mereka.
"Kenapa lu?"
Riko menatap Galen bingung karena pertanyaan Galen yang kurang jelas. "Maksudnya?"
"Kenapa lu yang memohon? Kenapa gak sekolah? Ah apa harga diri sekolah begitu tinggi? Sampai-sampai untuk nama baik mereka pun mereka malah melemparkan anjing setianya untuk membungkuk."
Pernyataan tajam dan sindiran yang keras itu membuat Riko tertegun sejenak dan hanya bisa diam dalam waktu yang lama. 'Ucapan Galen memang ada benarnya, tapi bukankah dia terlalu kelewatan memaki sekolah?'
"Lucu sekali sekolah ini, memang mereka punya hak apa menyuruh anjing mereka hanya untuk kepentingan mereka sendiri. Dan lu harus tau, gue udah pernah bilang kan kalau gue gak akan mau ikut-ikutan dengan urusan sekolah, apapun itu." tekannya dengan begitu dingin.
Perlu di ingat meskipun Galen berprestasi dalam akademik atau non akademik tapi Galen tidak pernah sekalipun mau terjun untuk ikut ke dalam hal-hal yang menurutnya tidak perlu. Ntah itu perlombaan atau apapun itu Galen sama sekali tidak ingin ikut. Semua orang tau akan hal itu. Meskipun prestasinya bisa, dan sangat bisa membuat nama sekolah harum di mata semua orang tapi Galen sama sekali tak berniat melakukan hal itu. Kalau kata Galen mah buang-buang waktu saja dan mending suruh orang lain yang melakukan hal merepotkan itu.
"Lebih baik begini, suruh kepala sekolah dan guru lainya meminta langsung ke tim gue. Kalau harga diri mereka masih tidak mau mereka turunkan! Itu urusan mereka karena tidak mau meminta langsung." putus nya dengan cepat dan penuh pertimbangan.
Riko sedikit tercenggang dengan keputusan Galen. Tapi ia merasa keputusan Galen memang ada benarnya mengingat sekolah hanya mau mengandalkan dirinya sedangakan pihak sekolah hanya mau menunggu hasilnya, sangat tidak adil bukan.
"Karena urusan kita sudah selesai, gue pulang." ujarnya singkat dan tanpa menunggu persetujuan dari Riko.
Galen berdiri dari duduknya membawa helm nya dan keluar dari ruang osis itu meninggalkan Riko yang menatap punggung Galen yang mulai menghilang dari pandangan nya.
....
"Maksud kalian apa ngepung kita? Berani-berani nya bocah ingusan kayak kalian nantang kita hah!"
Di sisi lain Diego terlihat marah menatap segerombolan siswa dengan seragam sama dengan yang di pakai Diego dkk.
"Ya tentu saja berani dong, kalian kan cuma cecunguk kacung nya Galen yang gak ada apa-apanya sama kita-kita."
Ucapan sombong dan songgong seorang cowok dengan tongkat besbol di tangan kirinya membuat emosi Diego semakin terpancing.
"Sialan lu bangsat... "