Seorang pria bangkit dari kasurnya yang kusut, meski matahari belum muncul dari ufuk timur. Tapi pria itu sudah bangun untuk melaksanakan keseharian nya. Berawal dari bangkit, dia pun merenggangkan badan nya dan menguap seadanya. Dia turun dari kasurnya, mencoba membuka mata sembari menggosok nya secara perlahan. Mata nya terbuka namun penglihatannya tidak terlalu jelas, tapi dia mampu melihat sekitar dengan cukup baik.
Pria itu berjalan ke arah kamar mandi. Mencuci muka dan menggosok giginya, dengan sabun dan odol yang telah di siapkan. Setelah itu dia beranjak menuju dapur untuk mengisi perut nya yang sudah menggerutu sedari tadi. Memang sejak semalam dia belum makan, bagaimana bisa makan, uang saja tidak punya apalagi untuk makan. Bahkan kehidupan sehari-harinya pun tidak tercukupi.
Sesampainya disana, dia membuka lemari yang menempel di tembok bagian atas. Isinya kosong, hanya ada jaring laba laba yang belum dia bersihkan semenjak tahun lalu. Memang sudah nasib nya dia seperti ini. Namun dia harus tetap bersabar dan berusaha semampunya.
Karena tidak adanya makanan yang bisa ia santap, dirinya pun terduduk di kursi kayu terdekat nya. Menahan perutnya dengan tangan kanan nya. Keseharian inilah yang dimaksudnya, berharap makanan datang dari langit, tapi rasanya tidak mungkin.
Tidak menyerah begitu saja, dia pun bangkit lalu pergi ke kamar nya, hendak mengganti baju nya. Niat hati hendak mencari pekerjaan yang cocok untuknya. Tapi, tiba-tiba sebuah gempa bersekala besar mengguncang nya. Membuat pria itu terjatuh, untung saja tidak kehilangan kesadaran nya. Guncangan itu terus terjadi selama beberapa detik, lalu berhenti. Di waktu yang senggang itu, pria itu berusaha bangkit. Berjalan keluar untuk mencari tahu apa yang sebenar nya terjadi.
Hitungan detik kemudian, gempa bersekala besar itu terjadi lagi bahkan kali ini lebih besar di banding sebelumnya. Mengakibatkan pria itu terlempar menuju sisi tembok. Begitu pula dengan pisau yang tiba tiba menancap di hadapan nya, tepat di depan matanya. Sontak dirinya terkejut.
Tidak ada waktu untuk terkejut lebih lama, dirinya harus segera keluar. Menarik nafas yang cukup dalam, memfokuskan diri di hadapan nya. Memang jarak nya tidak jauh, tapi bila terjadi hal seperti itu lagi, mungkin kali ini nyawa nya yang akan melayang.
Mengambil posisi berlari. Tangan kanan di depan dan tangan kiri di belakangnya. Dia berhitung dalam hati sampai tiga hitungan, tepat di hitungan ketiga. Dirinya pun berlari, namun gempa itu terjadi kembali, sebuah kursi tergeser dari samping menghalangi jalur si pria itu. Dengan refleks yang kuat, dia melompati nya seperti tidak ada rintangan. Hal itu belum selesai, tinggal sedikit lagi.
Tepat depan pintu, pria itu memfokuskan sedikit tenaga nya pada bagian lengan kiri, dan mendorong nya dalam satu tarikan nafas. Sebuah pintu berhasil terdorong keluar, hingga rusak nya kayu tersebut, begitu pula dengan memar nya lengan pria itu. Tapi bukan itu masalahnya.
Tatapan matanya mengitari sekitar, silauan cahaya pertama menutupi kornea matanya. Detik berikutnya, dia mampu melihat sekitar dengan sedikit jelas. Banyak orang yang berhamburan lari kesana kemari, menggendong anaknya yang masih balita, membawa sebuah peralatan yang menurutnya penting. Dibanding itu semua, lebih parah nya, puluhan mayat tergeletak akibat jatuhnya puing-puing bangunan. Ada yang terbelah dua, dan ada pula yang seutuhnya tertimbun, sungguh naas.
Badan nya kaku melihat kejadian mengerikan di hadapan nya, tidak bisa bergerak sedikitpun, meski hati harus berkata 'gerak', tapi nyali tak kuat. Dia hanya mampu menggerakan kepalanya, dia melirik ke atas. Seakan-akan sebuah ledakan besar tepat di hadapan nya. Seketika itu pula dia menggerakan tangan nya untuk menutup kedua telinganya. Ledakan itu terjadi, sepersekian detik kemudian, dirinya terlempar akibat sebuah ledakan itu. Badannya terseret jauh, menyeret tanah sejauh seratus meter.
Dia berteriak. " arghhh" meski seisi punggung nya panas, namun benturan terakhir terasa empuk. Setelah dirasa aman, dia membuka mata perlahan. Melihat kebelakang nya, dia terselamatkan oleh seorang pria paruh baya, mengedipkan kedua matanya berkali-kali untuk memperjelas pandangan nya. Belum sempat kedipan itu selesai. Sebuah ledakan kembali terjadi mengakibatkan guncangan gempa seperti yang barusan ia rasakan.
Ledakan itu tepat berada di hadapan nya, tapi pria paruh baya itu dengan cepat memutari tubuhnya untuk melindungi pria itu dari ledakan. Hingga mereka berdua terlempar kembali, dan terjadi beberapa benturan keras hingga terpantul dari satu sisi ke sisi lain. Kali ini sakitnya bukan main, tak hanya punggung nya saja yang terasa terbakar, badan nya terbentur bebatuan berkali kali. Pria itu menggerang kembali. Suara serak nya lebih keras dari sebelumnya. Bahkan hampir kehabisan suara.
Mereka terlempar kurang lebih seratus lima puluh meter dan berakhir di sebuah gundukan batu, tepat ketika seretan nya berhenti, tepat pula mereka bersandar di batu tersebut, dan kepulan asap yang megikutinya. Kondisinya sangat mengenaskan, hampir membuat nyawa nya melayang, untung saja di bantu oleh pria paruh baya tersebut. " tolong.. hentikan ini" gumam pria itu memohon ampun. Mendengar gumam nya, si-pria paruh baya berusaha bangkit, tapi tidak bisa. Badanya tertusuk pedang 'buster sword' milik nya sendiri, dari perut dan hampir mengenai jantung nya.
Darah berceceran mengalir melewati besi pedang tersebut. Meneteskan darahnya ke arah muka pria itu. Dia membuka matanya, dan menyaksikan yang lebih ngeri dari sebelumnya. Tusukan pedang itu tepat berada di hadapan nya. Suara hembusan nafas berat dari keduanya, terdengar oleh empat telinganya. Pria itu menatap ke muka si penolong. Wajah nya tidak asing, namun tertutupi lumuran darah bersih yang mengalir dari kepalanya dan badannya. Menetes bercucuran ke arah pemuda tersebut. Dia tertegun ketika menyadari bahwa si penolongnya adalah paman nya sendiri.
" p-paman?" seru pria itu tegang.
" akhirnya… huhh huuhh" nafas berat yang ia keluarkan. Mencoba mengatur aliran darahnya agar tidak keluar terlalu banyak. " waktuku tidak banyak huhh huhh. Organisasi katasrofeas s-sedang menuju ke-kemari bhakk" cipratan darah bersih dari mulutnya mengenai baju dan leher nya. Wangi darah nya melesat langsung ke hidung nya. Rasa tegang nya masih menghantam dirinya. " hhh ambil pedang yang menusuk ini. Sam-pai jum-pa… Ran…riel…" matanya tertutup, tapi mulutnya mengangan, hitungan detik kemudian darah nya mengalir deras keluar dari sekujur tubuh nya yang penuh luka.
Hampir membanjiri badan Ranriel, dia berhasil menghindarnya saat itu pula badan Gicho tergeletak di atas bebatuan, tusukan pedang nya mendorong nya keluar. Tidak sempat untuk berpikir lama, tapi dia mengambil nafas terlebih dahulu. Mengatur nafas nya yang sedari tadi membuat nya tegang, akan ledakan-ledakan yang beruntun. Dia menatap kembali ke tubuh paman nya itu, sudah tidak bernyawa. Dia gagal menolong paman nya, wajahnya meneteskan air mata. Dia teringat kembali akan betapa di sayang nya dia, di latihnya dengan sabar, hingga di berinya tempat tinggal yang kini ia tinggali. Baginya paman Gicho adalah penyelamat ketika semua orang menjauhinya, namun kini sepertinya Ranriel harus mandiri.
Ranriel menyentuh dalam satu genggaman ke tangkai pedang tersebut. Kedipan mata berikutnya, pedang itu mengeluarkan sebuah cahaya yang sangat terang. Membuat mata terpaksa menutup oleh tangan kirinya, tapi itu saja tidak cukup. Silauan itu terasa menembus tapi juga terasa hangat. Tidak hanya Ranriel saja yang terkena silauan nya, sekitar nya pun terkena. Bahkan mengenai Shin dan Yui yang kala itu sejauh lima ratus meter. Mereka berdua pun terpaksa menutup matanya tapi tidak separah Ranriel.
Cahaya nya perlahan meredup, Ranriel hendak membuka matanya. Tapi dia tak sanggup lagi, emosi nya meluap begitu saja, ketika melihat keluarga satu-satunya nya tiada. kekuatan nya terkuras habis hanya untuk menghindar dan menghindar. Matanya terbuka, namun hanya warna putih yang ia rasakan, kepala nya pusing tak beraturan, kaki nya lemas tak mampu menopang dirinya. Akhirnya ia terjatuh pingsan hingga kedipan mata terkahirnya, memperlihatkan dua orang yang menuju ke arahnya. Seorang gadis dan pria bertudung
***
Shin dan Yui bergegas menuju terang nya cahaya yang menutupi kedua matanya. Mereka berusaha melihat dengan kedua matanya, tapi cahaya itu terlalu menyilaukan nya. Beberapa detik kemudian, akhirnya redup tapi tak sepenuhnya, tapi pandangan Shin yang mampu melihat dan cukup akurat untuk mengetahui apa yang ada di hadapan nya.
" Yui, bergegaslah. Lima belas derajat ke arah timur di hadapan mu." Seru Shin. Yui mengangguk, dalam hitungan detik dia melesat maju dengan kecepatan yang di luar nalar manusia. Meskipun Shin adalah penyihir, tapi dalam hal kecepatan, Yui lah orangnya.
Yui berlari sesuai perkataan Shin, tidak berselang waktu lama. Ternyata benar, Yui menemukan dua orang dengan kondisi yang sangat berbeda dari satu sama lain. Pria berpakaian yang terlapisi armor, badan nya tergeletak di atas bebatuan. Perutnya berlubang bekas tusukan sebuah pedang besar, darahnya masih mengalir perlahan. Menuju ke orang yang ada di sebelah nya. Darah itu meresap ke bajunya dan merubah pakaian nya menjadi merah. Menyisakan bau amis yang cukup membuat hidung kesakitan.
Yui menarik badan orang itu, memperlihatkan wajah nya yang tak begitu di kenal nya. Dirinya terdiam memikirkan hal yang paling di takutinya. " itu berarti…." Spontan dia menutup kedua mulut nya dengan tangan nya. Air mata nya mulai berlinang dari ujung matanya, mengalir ke pipinya. Mau bagaimana pun Yui adalah manusia, dan menangis adalah hal yang wajar. Melihat sosok yang dihormatinya telah terbunuh dengan tusukan pedang buster sword miliknya mengalirkan darah yang banyak dan tebal
Shin menghampiri nya kala itu juga. Dirinya memelankan lari nya, dan berjalan. Melihat Yui yang sudah menangis. Tapi tidak ada rasa iba di dalam dirinya, dia pun bertanya.
" kenapa?" tanya nya dengan segan.
" Gicho…" Yui menunduk, tak mampu menjelaskan apa yang terjadi. Melihat keadaannya, Shin harus membuktikan nya sendiri. Dia melihat orang yang mengenakan pakaian lumuh dan berlumuran darah. Menyentuh darah lalu ia mengendusnya. "darah ini, bukan dari anak ini… lantas…" seketika Shin pun terkejut. Dia melihat orang yang ada di samping nya, badan penuh luka dan memar serta lubang di dadanya. Bahkan darahnya masih tetap mengalir.
Shin membalikan tubuhnya. Dari ujung kepala hingga ujung kaki, dia tidak percaya ini. Wajah yang di dapati nya ialah ketua nya sendiri. Hal itu diketahui pula oleh Yui, dia menangis lebih banyak dari sebelumnya, hampir berteriak. Tapi, Shin langsung memeluknya. Membiarkan air matanya membasahi baju nya.
Tiba tiba sebuah teriakan terdengar dari kejauhan. Suara serak yang tak asing di telinga, Creske. Ketua dari katastrofeas. " ha...ha...ha…" tawa nya laksana pangeran. " akhirnya... kesomobongan ketua kalian membawa karma! segitu sajakah kekuatan dari Sotiras? Kukira akan lebih menyenangkan." Shin mendengarnya kesal. Muka nya memerah, tangan nya terkepal penuh Dia mesti membalaskan dendam ketua nya. Dekapan Yui mereda, kini dia menatap Shin dari dada nya. Wajah Shin tidak tampak sama sekali, bahkan dilihat tepat dibawah nya. Tapi bukan itu masalahnya, melainkan Creske yang datang menghampiri mereka.
Shin paham maksud Yui, genggaman nya melemas. Kemudian terangkat, jemarinya terangkat semua menandakan kekalahan nya. " Katastrofeas!, di izinkan untuk mengambil wilayah pos bagian Gicho, yaitu pusat kota. Dan, kali ini Sotiras menyatakan mengalah dikarenakan kematian Gicho Hideyoshi " Suara Shin dengan lantang, terdengar jelas pada telinga orang-orang sekitar.
Creske tersenyum gentir, wilayah pusat kota di butuhkan untuk menggancurkan organisasi Sotiras. Se-isi pusat kota di kuasai Katastrofeas, yang berarti. Creske di perbolehkan memonopoli seluruh kegiatan di pusat kota. Tak hanya itu, ia juga berhak mengambil informasi secara penuh di pusat kota tersebut. Hal ini sangat menguntungkan nya, bagi Creske dan anggota Katastrofeas.
Yui dan Shin memutuskan untuk mundur dari pertarungan. Shin mengangkat kedua pria itu menggunakan sihirnya. Namun dibalik hati-nya yang sedih, mereka tetap berusaha berpikir jernih tentang bagaimana nasib pria yang di selamatkan oleh ketuanya. Dan kenapa ketua nya hanya menyelamatkan pria ini saja.