Terbaring nya seorang pria di atas sebuah kasur yang empuk. Rasa nyaman yang ia rasakan meningkat dibanding kan dari sebelumnya. Rasanya, dia mampu tidur untuk waktu yang lama. Ditambah pula angin sepoi-sepoi dari samping jendela yang terbuka. Selimutnya menutupi badan sehingga terlindungi dari dingin yang tidak sedap. Sebuah bantal pun yang sengaja di ganjel menjadi dua dan sedikit menaikan kepala, agar pernapasan nya menjadi lancar.
Sudah lama ia tidak merasakan nikmatnya istirahat. Ranriel lelah sekali akibat serangan yang mengejutkannya, ledakan yang tak hentinya menyerang hingga membuatnya terluka. Kelelahan itu megakibatkan pikiran nya menjadi runyam, hingga ia tak mampu lagi bertahan dan akhirnya terkapar di atas tanah.
Tanpa disadari, Ranriel mengigau. Dia menyebutkan nama Gicho berulang kali, badan nya pun bergerak dengan sendiri nya. Mulai dari kepala nya yang bergerak sendiri, menoleh ke kanan dan ke kiri secara bergantian. Tanpa membuka matanya. Tangan nya bererak layaknya kejang kejang, tapi mulutnya tidak mengeluarkan busa. Kaki nya merasakan keram bukan main. Gerakan itu perlahan-lahan menjadi lebih keras setiap detiknya.
Seorang gadis yang menjaga Ranriel mendengar sebuah erangan, serta suara pukulan-pukulan ringan layaknya pukulan ke kasur. Gadis itu segera bangun dari tempat tidurnya. Kamar nya tidak jauh dari pria tersebut. Tanpa pikir panjang dia pun bergegas ke ruangan di mana pria itu berada. Namun kini pria nya itu meronta-ronta tak karuan. Matanya langsung terfokus pada pasien nya, mau bagaimanapun gadis itu harus menenangkannya. Segera-lah ia mengambil sebuah handuk basah, di lihat dari kondisi si pasien. Badan nya mengucurkan keringat dingin hingga membanjiri pakaian nya. Lalu dia hendak membangunkannya, namun si pasien tetap meronta-ronta, bahkan erangan nya lebih besar dari sebelum nya. Suaranya terdengar hingga ke ruang utama, Yui langsung peka akan suara itu, tanpa menunggu yang lain beranjak. Dirinya sudah beranjak terlebih dahulu.
Gadis itu sedang menangani pasien pria itu, semua cara telah ia lakukan. Dari yang terhalus hingga hampir kasar. Tapi tidak membuat si pasien tenang atau sadar, bahkan lebih meronta lagi. Hingga sang pasien terpaksa di ikat. Gadis itu terpikirkan sebuah cara, ya… mungkin itu satu-satunya cara, yaitu menyuntik pingsan dengan dosis sedang. Sebuah serum telah ia siapkan di samping mejanya. Dia menekan pangkal nya, mengeluarkan sedikit cairan dari jarumnya.
Yui melihat si-gadis akan menyuntikan serum tersebut ke arah Pria itu. Namun dengan cepat, layakanya kilatan. Dia menghentikan nya dengan menggenggam tangan nya sedikit keras, tatapan nya berubah mengancam dan si gadis tidak mampu menggerakan tangan nya. Dari raut muka nya terlihat bahwa ia kesakitan.
" apa yang kau lakukan?!" sentak Yui. Meski gadis itu adalah salah satu kepercayaan nya, tapi mengambil keputusan dengan menyuntikan pingsan adalah hal yang harus di bicarakan terlebih dahulu.
" maaf nona Yui. Pria ini meronta terus menerus, saya tidak tau kenapa. Saya sudah coba segala hal, tapi dia tidak mau sadar ataupun kembali tenang, maka dari itu saya hendak menyuntik nya untuk sementara waktu" gadis itu menjelaskan, agar di percaya oleh Yui.
Kala itu pula, seorang gadis pirang dengan gagah serta keanggunan dari rambut bergelombang yang di gerai. Berwarna pirang cerah. Pakaian nya dilengkapi sepasang armor yang terdiri dari pundak nya hingga ke mata kakinya, tidak se utuhnya, tapi hanya sebagian yang ia kenakan. Gadis pirang itu melangkah maju, memperhatikan pasien lalu memegang tangan nya. Jemari nya melemas, dan meregangkannya.
Dia membaca beberapa mantra sihir. Seutas cahaya muncul dari telapak tangannya. Perlahan-lahan cahaya itu semakin kuat dan besar. Gerakan tangannya berputar secara menyeluruh tubuh si pria. Cahayanya menciptakan sedikit ketenangan bagi pria itu, hingga akhirnya benar-benar tenang. Kembali seperti semula. Mengetahui hal yang di lakukan si gadis pirang, semua merasa lega dan menghembuskan nafas secara bersamaan.
Tidak berselang lama, pria itu mengerang kecil. Ia terbangun dari tidurnya. mengedipkan mata berkali-kali. melihat sosok tiga perempuan yang tidak ia kenali. ia tidak sanggup untuk mengeluarkan suara, namun mampu mendengar dengan samar-samar apa yang dikatakan ketiga gadis tersebut.
"eh" gumam Yui.
" terima kasih Hokori. Dan kau, kali ini kumaafkan. Lain waktu berhati-hatilah." Seru Yui. Hokori A.K.A gadis pirang, hanya menganggukkan kepalanya. Hingga teringat ingin menanyakan sebuah hal, tangan kanan yang hampir terangkat sepenuhnya. Tapi Yui langsung memotong perkataan Hokori. " hmm. Bolehkah tinggal kan aku sendiri disini? Maksudku, dengan Pria ini, aku dan dia. Ya begitu."
Mereka berdua saling tatap, dan sedikit cekikikan mengenai hal yang di inginkan Yui. " ehh… kenapa? Apa ada sesuatu antara kau dan Pria itu, Yui?" Sedikit godaan dari Hokori dengan nadanya yang cukup mengejek. Mendengarnya membuat Muka Yui menjadi merah tomat. dia coba menahannya, dan menenangkannya. Mengatur nafasnya kembali dan berbicara dengan tegap.
" Tidak. Aku hanya ingin mengambil beberapa informasi darinya. Itu saja tidak lebih"
" ara-ara~, Nona Yui. Tidak perlu berbohong, di umurmu yang sudah cukup untuk menikah, tidak mungkin kau melepaskan kesempatan ini." Goda Hokori agar Yui terpengaruh.
" sudahlah… aku muak dengan pembahasan itu. Kalian cukup pergi, dan akan ku panggil jika memang ku butuh."
" cih gak seru… hehe.." meledeknya. " yaudah deh iya.." ngangguk-ngangguk sembari cekikikan.
Pintu terbuka, yang dibuka oleh Yui. Tampangnya begitu kesal di tambah malu. keluarlah kedua gadis itu. Bersamaan dengan tertutupnya pintu serta denyitan nya. Yui merasa sedikit lega, dia pun merebahkan badanya di sofa terdekat.
Sang perawat sengaja berdiri di depan pintu. Semenjak dia telah keluar. Dirinya merasa gugup dan bersalah. Tapi hal itu tidak terlalu menganggunya. Lalu, tangan nya mencoba mengenai pundak Hokori. Sang perawat meminta sedikit perhatiannya.
"Nona Hokori... aku ingin meminta maaf mengenai obat bius tersebut" sembari membungkuk. Tanda meminta maaf atas kesalahannya.
" oh ya.. tenang saja, itu bukan masalah besar. Salahku juga karena terlambat menyadari amukan pria itu" jawab Hokori . mencoba menenangkan salah satu muridnya
"tapi..."
"sudahlah... lagi pula itu sudah diatasi. Lebih baik kamu istirahat dulu. Setelah itu kembalilah ke rumah sakit"
"baik terima Nona Hokori. Saya lebih baik segera ke rumah sakit, membantu dokter-dokter lain"
Perawat itu pergi, setelah pamit ke Hokori. Hanya segelintir perawat yang mengetahui letak dimana markas Sotiras. Gadis perawat itu bernaungan di bawah Yui.
Di waktu yang sama. Seorang pria tersebut terbangun di hadapannya. Dia berusaha membangunkan tubuhnya, hendak turun dari kasur. Tapi sesegera mungkin Yui menahan nya, dengan dorongan pelannya kembali tidur.
" akhirnya kau sadar. Istirahatkan dulu, kuyakin itu berat." Pinta Yui, dengan wajah datarnya.
" dimana ini? Siapa anda?" tanyanya dengan wajah lugu. Yui menarik kursi kecil disampingnya lalu duduk santai. Dia tidak berniat menakuti lawan bicaranya ini, hanya ingin mengambil beberapa informasi darinya.
" tenanglah, kau aman disini. Sebelumnya, namaku Natsuka Yui, panggilah Yui. Boleh ku tahu namamu?" jelasnya serta tanya balik darinya.
" namaku… Ran…." Dia terdiam sepenuhnya. Mulutnya serasa tersedak, dan ia pun terbatuk. " uhk.. uhk.." sesegera Yui mengambil gelas disamping kirinya, yang sudah terisi air. Diapun memberikannya, tapi Ranriel menolak nya. " tidak apa apa…"
" maaf, namaku Ran.." mulutnya pun tersedak, dan terbatuk kembali. Kali ini sedikit lebih keras dari sebelumnya
" apa yang terjadi padaku?. " Gumamnya. " sebentar… aku tidak bisa menyebutkan namaku. Apakah wajahkupun menjadi aneh?". Pikir Ranriel, Yui dengan sabarnya menunggu sembari memiringkan kepalanya.
" anu.. maaf merepotkan, tapi sebelumnya bolehkah aku meminjam Kaca?" pintanya. Yui hanya mengangguk tanpa pikir panjang, dia pun beranjak pergi. Keluar ruangan tersebut, dan pintu itu tertutup dengan sendirinya.
Sementara menunggu, Ranriel mencoba berpikir. Apa yang terjadi dengannya. Dia hanya mengingat tentang kematian Gicho, dan seorang pria bernama Creske. Tapi menyebutkan namanya-pun sulit sekali. Bila dipaksakan, tenggorokannya akan terasa sakit.
Lima menit terlewati, Ranriel habiskan hanya untuk berpikir. Mengingat kembali tentang masa lalunya, tapi rasa pusingnya yang menjalar ketika ia memikirkan atau mengingatnya. Dia mencoba berhenti sekejap untuk mengatur nafasnya, dan rasa pusingnya kini ikut mereda. Mencoba kembali untuk yang kedua kalinya dia memfokuskan ingatan nya, bermula dari kematian Gicho dan…
Ketukan pintu terdengar ke telinganya. Seketika ingatan nya ia lupakan lalu pandangannya melihat ke arah ketukan itu berasal. Terbukalah pintu tersebut, tanpa kata permisi atau apapun. Seorang gadis masuk. Rambut kucir kudanya yang berwarna coklat. Menjadikan terlihat anggun, dan ber-aura di mata Ranriel Pakaian nya terlihat familiar baginya, atau mungkin saja ia bermimpi?
Gadis itu kembali duduk di sampingnya. Kini ia membawa sebuah tas mungil bercorak bunga warna biru. Bunga itu terpadukan dengan warna dasar pada tas nya sehingga terlihat lucu bila di gunakan oleh gadis feminim. Dia merogoh-rogohkan isinya, pandangannya ke atas. Seolah meraba sebuah hal yang ada di otaknya. Raut mukanya seketika berubah, tanda dia mendapatkan apa yang dicarinya. Ditariknya keluar, gadis itu mengeluarkan sebuah benda kecil berbentuk bulat.
" apakah itu semacam alat rias?" tanya Ranriel memastikan.
" yap, ini adalah bedak, di dalam nya ada kaca. Mungkin kau bisa gunakan." Jelas Yui. Menyerahkan benda itu ke telapaknya. Ranriel menerimanya, membuka nya. Menampakan wajah dirinya yang sangat berbeda dari yang pernah ia lihat. Pipi nya sangat tirus. Terdapat bercak merah disekitar pipinya. rambutnya menjadi panjang. Jika diperkirakan mungkin sepunggung panjangnya
ia terdiam. mematung seakan shock melihat dirinya yang berbeda.
" kau! Kenapa?" tanya Yui. Memiringkan kepala nya menunggu sebuah jawaban. Pertanyaan nya di hiraukan begitu saja. Dia bertanya kembali dengan nada yang lebih tinggi. " hei! Apa kau dengar ga sih?" serunya. Wajahnya merah, Yui merasa terabaikan.
Hitungan detik kemudian. Lamunan Ranriel terbuyarkan, dia memetikan jari tangan nya dengan spontan. Lalu menatap ke mata Yui, disebelah. Wajahnya makin merah dan terkejut. Saking terkejutnya, Yui spontan menampar Ranriel hingga suara antar kulit terdengar cukup keras. Akibatnya pipi Ranriel merah dan sedikit memar. Ke-sepontanan itu mengejutkan Yui kembali, dia menutup mulutnya dengan penuh perasaan malu. Ranriel menahan sakitnya, tangan nya sudah meraba bekas tamparan tersebut.
" maaf, maafkan aku." Katanya penuh bersalah. Yui beranjak berdiri dan mengampirinya. " apa kau... tidak apa apa?" tanya nya penuh khawatir
" tidak, tidak apa apa." Menarik nafas dalam dalam, mengatur nafasnya. Hendak menjelaskan sebuah hal. Tapi.. pikirnya lebih baik ini di urungkan. " namaku, panggil saja Darkness." Rasanya lega, tapi suaranya seperti terpaksa. Ranriel tahu apa yang sebenarnya terjadi, hanya keluarganya yang paham akan hal ini. Artinya Ranriel harus mencari salah satu keluarga nya. Lalu melepaskan kutukannya. Tapi saat ini bukan waktu yang tepat
" apa?" tanya Yui ,kurang jelas. " maaf tolong ulangi".
" panggil saja Darkness. Dan kumohon jangan tanyakan kenapa" jawabnya.
Yui memasang telinga nya baik baik. " apa tidak salah namanya Darkness… nama yang aneh, mungkin ada sesuatu. Tapi yasudahlah" Gumam nya. Dia terheran, tapi sebenarnya dia tidak peduli. mau apapun namanya pasti ada maksud dari namanya tersebut.
Bantingan pintu dengan keras terbuka secara tiba tiba. Oleh seorang pria mengenakan jubah, kepalanya tertutupi oleh tudung. Meski ujung tudung pendek namun anehnya, Ranriel tidak mampu melihat mata orang yang mengenakan tudung tersebut. Matanya tertutupi oleh bayangan hitam pekat, menutupi hingga cuping hidungnya.
Wajahnya sangat asing bagi Ranriel, tapi ada hawa aneh yang dibawa oleh pria itu. Ada sedikit perasaan yang menyatukan mereka berdua. Seperti sebuah ikatan, tapi Ranriel tidak tahu apakah itu.